Mongabay.co.id

Pajak Karbon dan Harapan Pembangunan Indonesia Berkelanjutan

Belakangan ini, warga Indonesia yang peduli akan lingkungan dan perubahan iklim, dimanjakan dengan harapan manis bahwa Indonesia akan akan segera beralih ke pola pembangunan yang rendah emisi gas rumah kaca (GRK, atau biasa kita sebut sebagai emisi karbon). Artinya kita akan melihat udara yang lebih bersih, kesehatan yang lebih baik, sumber daya alam yang dikonsumsi secara hemat, dan (semoga) penguasaan teknologi hijau oleh anak negeri.

Harapan tersebut dilatarbelakangi setidaknya dua perkembangan, pertama bahwa pemerintah tengah mengembangkan kebijakan penyelenggaraan instrumen carbon pricing atau Nilai Ekonomi Karbon (NEK)[1]. Instrumen kebijakan ini akan memberikan nilai ekonomi untuk emisi GRK sehingga perilaku beremisi sembarangan akan bisa diminimalisir. Kedua, bahwa pemerintah tengah mengembangkan, atau setidaknya mendiskusikan, kebijakan pembangunan jangka panjang menuju Indonesia yang nir emisi secara netto[2]. Kedua kebijakan ini akan bekerja beriring tangan membawa Indonesia yang lebih baik untuk generasi mendatang.

Terlepas dari bermacam unek-unek dan kontroversi dalam pengembangan dua kebijakan di atas, yang sayangnya masih berpusat pada gaya pengembangan kebijakan publik yang kontinentalis djadoel, tulisan ini akan mengulas salah satu instrumen carbon pricing atau NEK yang kabarnya akan tercakup pula dalam kebijakan yang tengah disusun, yaitu pajak karbon.

Instrumen dari carbon pricing atau NEK tersebut sebenarnya bukan hanya pajak karbon, tetapi juga crediting dan cap and trade (atau dikenal juga dengan nama ETS/Emission Trading Scheme). Tiga instrument tersebut saling melengkapi untuk penurunan emisi karbon dengan biaya yang lebih ekonomis.

Crediting prinsipnya adalah berjual beli hasil penurunan emisi yang dihasilkan oleh suatu proyek atau instalasi yang menerapkan teknologi rendah emisi. Dengan mengikuti skema tertentu seperti CDM (Clean Development Mechanism), VCS (Voluntary Carbon Standard), atau yang lain, hasil penurunan emisi kemudian divalidasi dan diverifikasi untuk kemudian diterbitkan kredit karbonnya. Kredit karbon inilah yang kemudian diperjualbelikan.

Beda crediting beda pula cap and trade. Cap and trade biasanya dilakukan oleh negara atau wilayah tertentu, dan dikenakan pada objek industri, transportasi, atau bahkan bangunan, tergantung mana yang kemudian disepakati. Setiap entitas objek tersebut kemudian mendapatkan cap atau batasan melakukan emisi. Entitas yang kemudian tidak mampu untuk menurunkan emisi sesuai batas atas yag diberikan akan dikenai denda per ton emisi setara CO2 nya. Sementara entitas yang mampu untuk mengurangi emisi di bawah batas atas, akan dibolehkan untuk menjual “hak untuk beremisi” kepada entitas yang melebihi batas atas. Dan kemudian terjadilah perdagangan emisi karbon.

baca : Target Netral Karbon Lemah, Indonesia Bisa Lebih Ambisius, Caranya?

 

Pembangkit listrik tenaga batubara Suralaya di Kota Cilegon, Banten. Foto : Ulet Ifansati/Greenpeace

 

Apa Itu Pajak Karbon?

Instrumen yang kemudian akan diperkenalkan di Indonesia adalah pajak karbon. Pajak (atau cukai) karbon secara taksonomi dapat dikatakan sebagai turunan dari Pigouvian Tax (pigouvian adalah jenis pajak dari setiap aktivitas pasar yang menghasilkan eksternalitas negatif).

Dengan kata lain, pajak karbon adalah pajak yang dikenakan atas emisi dan bahan bakar dari fosil. Pajak ini pada awalnya dirancang untuk mengubah perilaku untuk mengurangi emisi/polusi GRK yang ditimbulkan oleh perusahaan dalam proses produksi, dan juga untuk mengurangi jumlah bahan bakar fosil yang digunakan oleh individu dan perusahaan.

Untuk itu, maka “Pajak Karbon” biasanya diterapkan atas (a) kandungan karbon, seperti misalnya pajak karbon yang dikenakan untuk bahan bakar, atau (b) emisi gas rumah kaca yang dilepaskan langsung (direct emission). Dengan kata lain, subjek pajak akan membayar pajak berdasarkan jenis dan jumlah bahan bakar yang ia produksi/konsumsi atau berdasarkan jumlah emisi GRK yang ia lepaskan sesuai hasil pengukuran dan verifikasi.

Sebagai ilustrasi pajak karbon jenis pertama, pemerintah menetapkan tarif pajak karbon untuk bahan bakar berdasarkan jumlah emisi GRK yang akan otomatis terlepas bila satu satuan energi bahan bakar digunakan, misalnya dalam satuan gram karbon dioksida per joule[3]. Dengan kebijakan ini, bahan bakar yang kandungan karbonnya tinggi, seperti batubara, akan dikenai tarif pajak karbon yang lebih tinggi daripada gas alam misalnya. Atau misalnya pajak karbon dikenakan dengan acuan gram karbon dioksida per liter BBM, maka bisa jadi akan membuat bensin premium jadi lebih mahal harganya dibanding pertamax.

Untuk pajak karbon jenis kedua, pemerintah menetapkan tarif pajak karbon (misalnya dalam satuan Rp / ton karbon dioksida) untuk emisi GRK yang dilepaskan subjek pajak. Dengan model ini, suatu pembangkit listrik yang menggunakan batubara akan membayar pajak karbon yang relatif tinggi, sedangkan pembangkit yang menggunakan energi terbarukan tidak akan membayar pajak karbon karena emisi GRK-nya nol.

baca juga : Indonesia dan Wacana Netral Karbon

 

Kebakaran hutan dan lahan di Pulau Sumba, NTT. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Untuk pajak karbon jenis pertama, pemerintah dapat langsung memungut pajak karbon berdasarkan jumlah bahan bakar yang dibeli dengan mengintegrasikannya ke harga bahan bakar. Sedangkan untuk pajak karbon jenis kedua, subjek pajak harus menghitung dan melaporkan jumlah emisi GRK dan besaran pajak karbon yang harus dibayarkan di akhir tahun pajak.

Contoh negara-negara yang menerapkan pajak karbon atas bahan bakar (jenis pertama) adalah Denmark, India, Jepang dan Meksiko. Sedangkan yang menerapkan pajak atas emisi GRK (jenis kedua) adalah Chile dan Afrika Selatan.

Dalam pembiayaan pajak karbon, pemerintah harus memiliki catatan jejak karbon perusahaan atau database perusahaan penghasil emisi, karena dokumen ini akan menjadi dasar penghitungan pajak karbon. Oleh karena itu setiap perusahaan harus didorong untuk memiliki atau melaporkan emisinya. Pengungkapan karbon sangat penting untuk mengetahui berapa banyak emisi yang digunakan oleh setiap perusahaan, sehingga pada akhirnya pemerintah akan memiliki database yang kuat dalam melakukan implementasi pajak karbon atau bahkan untuk digunakan di dalam kepentingan “carbon pricing” yang lain, contohnya adalah cap and trade.

 

Penerapan Pajak Karbon

Total telah ada 30 skema pajak karbon nasional/subnasional yang telah diimplementasikan atau dijadwalkan untuk diimplementasikan[4] dengan skema, tingkat tarif dan cakupan yang bervariasi. Sebagai contoh, Finlandia memungut pajak untuk produksi panas dan listrik serta transportasi dan bahan bakar pemanas, sementara di Swiss, semua bahan bakar fosil kecuali yang digunakan untuk produksi energi, tercakup oleh pajak karbon.

Pajak karbon Denmark mencakup semua bahan bakar fosil dengan ketentuan pengecualian atau restitusi untuk sektor-sektor yang dicakup oleh instrumen NEK lain. Pajak karbon Chile adalah pajak karbon pertama yang diterapkan di negara Amerika Selatan, dan mencakup semua sumber emisi stasioner dengan kapasitas termal lebih besar dari 50MW, dengan tingkat pajak sebesar US$5/tCO2e.

Intervensi pemerintah melalui kebijakan perpajakan diperlukan untuk mendorong perubahan perilaku pelaku kegiatan ekonomi (produsen dan konsumen). Pemungutan pajak tidak hanya dimaksudkan untuk mengoptimalkan penerimaan negara, tetapi juga dapat digunakan sebagai instrumen untuk mempengaruhi pola perilaku ekonomi dan sosial masyarakat.

Sebagai instrumen kebijakan fiskal, kebijakan perpajakan dapat berupa instrumen insentif dan juga dapat berupa instrumen disinsentif. Pajak sebagai instrumen disinsentif dapat digunakan untuk mengoreksi kegagalan pasar seperti munculnya eksternalitas negatif termasuk meminimalkan dampak negatif industri karbon tinggi.

Pajak karbon adalah instrumen NEK dengan “harga pas”, kontras dengan perdagangan karbon dimana harga karbon berfluktuasi sesuai kondisi pasar, suplai dan permintaan. Bagi pemerintah, pajak karbon adalah sumber pendapatan yang lebih pasti, relatif mudah dipungut (khususnya untuk jenis pajak karbon yang pertama), serta dapat pula mempengaruhi pola dan perilaku emisi GRK masyarakat.

Di sisi lain, pelaku usaha biasanya lebih memilih perdagangan karbon karena sifatnya yang bisa memberikan insentif berupa pendapatan dari berjualan karbon bagi mereka yang tingkat emisi karbonnya rendah. Perdagangan karbon adalah topik yang lain lagi, tetapi dapat dibayangkan bahwa dalam skema pajak karbon, insentif bagi mereka yang telah “bersih” hanyalah pembayaran pajak karbon yang lebih rendah, bukan pendapatan tambahan. Kurang menarik untuk buku akuntansi pelaku usaha.

Di berbagai negara, kombinasi antara pajak karbon dengan instrumen pasar karbon lain banyak dilakukan. Di Korea Selatan misalnya, pajak karbon yang dikenakan selama satu tahun pada industri dengan kapasitas dan jenis tertentu sebenarnya lebih ditujukan untuk dapat mengumpulkan data dan informasi emisi pada industri-industri tersebut, untuk kemudian diimplementasikan perdagangan karbon jenis cap and trade.

Pada beberapa kasus lain, contohnya di negara Portugal, Perancis, dan Swedia, pajak karbon dikenakan pada objek industri dan transportasi yang tidak terkena kewajiban untuk masuk dalam cap and trade. Sementara di Swiss, industri wajib pajak mempunyai pilihan untuk ikut dan berpartisipasi di dalam pajak karbon atau mengikuti program cap and trade.

Di Indonesia sendiri pajak karbon rencananya akan diimplementasikan secara mandiri, sementara cap and trade baru diberlakukan secara sukarela untuk pembangkit listrik berbahan bakar batubara. Bukan tidak mungkin di masa depan akan ada upaya untuk melakukan penggabungan antara dua sistem tersebut guna tujuan pengurangan emisi nasional.

perlu dibaca : Konsekuensi Ekonomi dari Strategi Net Zero Emission Indonesia

 

Seorang petugas mengamati instalasi gardu listrik tegangan tinggi. Foto : Shutterstock

 

Analisis SWOT dari Pajak Karbon

Pajak karbon di dalam penerapannya mempunyai kelemahan, kekuatan, kesempatan, dan juga tantangan tersendiri. Berdasar dari pengalaman negara lain, maka beberapa hal ini harus diperhatikan.

Kekuatan dari pajak karbon dibanding dengan jenis instrument NEK lainnya adalah pajak karbon membantu untuk bisa meraih target penurunan emisi secara jelas. Pajak karbon juga merupakan suatu instrumen fiskal yang bisa menambah keuangan negara, memiliki kepastian akan pendapatan atas pungutan, serta akan memicu terjadinya upaya-upaya konservasi energi.

Sementara kelemahan dari pajak karbon ini adalah akan menyebabkan pelemahan ekonomi di tahap awal implementasi, meski pun kemudian akan segera terkoreksi setelah adanya implementasi secara konsisten. Kelemahan lain adalah apabila kemudian negara terlalu terfokus pada pendapatan pajak saja maka biasanya tujuan awal untuk penurunan emisi jadi terabaikan.

Kesempatan yang akan terbuka di dalam implementasi pajak karbon justru adalah hasil pungutan pajak akan dapat digunakan sebagai modal pembiayaan rendah karbon dengan prinsip revenue recycling. Pendapatan pajak akan dipergunakan dalam berbagai inovasi di dalam sektor yang sama guna penurunan emisi CO2. Kesempatan lain adalah pajak karbon akan membuat perusahaan lebih efisien dan produk yang dihasilkan akan lebih rendah jejak emisinya, terutama akan sangat berguna di iklim persaingan global seperti sekarang.

Dan tantangan yang kemudian selalu menyertai implementasi pajak karbon ini adalah kemungkinan adanya carbon leakage atau kebocoran dari target pencapaian karbon. Tantangan lain adalah infrastruktur serta aturan tata laksana dari pajak karbon yang relatif sangat berbeda dengan pajak yang konvensional.

baca juga : Target Netral Karbon, Indonesia Bakal Setop Bangun PLTU?

 

Asap pekat dari bus kota di kota Jakarta. Foto : istimewa

 

Catatan untuk Implementasi Pajak Karbon di Indonesia   

Beberapa hal perlu Indonesia pertimbangkan bila ingin menerapkan pajak karbon.

Pertama, pajak karbon jangan dipandang sebagai peluang penambahan pendapatan negara semata. Karena dasar implementasinya adalah untuk penyelamatan lingkungan, maka pendapatan pajak karbon sebenarnya adalah dikhususkan untuk pembangunan rendah karbon. Untuk itu, pendapatan pajak jangan masuk ke kantong besar pendapatan pajak negara, tetapi harus dibuat kantong khusus sehingga sebagian besar dari pendapatan pajak karbon dikhususkan untuk pembangunan yang juga rendah karbon, misalnya untuk subsidi energi terbarukan, riset teknologi hijau, insentif industri hijau, dan lain-lain. Dan ini harus dilakukan secara transparan dan akuntabel bagi publik.

Kedua adalah risiko ekonomi dan politik karena sumber emisi terbesar kita adalah di sektor energi dimana harga energi diatur oleh negara dan pelaku usaha terbesarnya juga negara. Dengan demikian pelaku usaha (BUMN energi) tidak dapat serta merta meneruskan biaya pajak karbon untuk dibayar oleh konsumen, namun positifnya bahwa pelaku usaha akan “dipaksa” untuk lebih efektif dan efisien untuk menekan biaya produksi mereka.

Dalam skenario harga energi bisa diubah, maka sangat mungkin akan ada kenaikan harga produk yang ujungnya harus dibayar masyarakat. Perlu studi mendalam untuk menentukan cakupan dan memperkirakan seberapa besar tarif pajak karbon yang ideal agar tujuan lingkungan dapat tercapai tanpa mematikan industri dan merugikan ekonomi. Risiko ini dapat juga dimitigasi dengan melakukan revenue recycle seperti pertimbangan pertama di atas.

Ketiga adalah risiko carbon leakage, dimana emisi GRK sebenarnya tidak berkurang tetapi hanya pindah ke tempat lain yang tidak ada pajak karbon. Investasi mungkin akan pindah ke negara yang belum menerapkan pajak karbon. Risiko ini juga terkait dengan pertimbangan kedua dan umumnya bisa dimitigasi dengan menerapkan pajak karbon secara bertahap dan diawali untuk subjek pajak yang tidak dapat atau sulit pindah ke “lain hati”, misalnya industri energi dan manufaktur yang tidak berorientasi ekspor.

Keempat, menerapkan pajak karbon di Indonesia memerlukan perubahan undang-undang yang kemungkinan besar akan memakan waktu lama. Kita tentunya tidak ingin momentum yang ada sekarang hilang tergilas waktu. Oleh karena itu beberapa pihak menyarankan untuk memperkenalkan cukai karbon, bukan pajak karbon.

Di atas kertas, cukai karbon akan lebih mudah diperkenalkan tetapi itu pun bukannya tanpa tantangan khususnya yang terkait kesiapan pemantauan, pelaporan dan verifikasi (MRV), karena cukai umumnya diterapkan atas suatu obyek secara menyeluruh, artinya tidak boleh ada suatu pihak yang membayar cukai karbon namun ada pihak lain yang sama-sama beremisi tapi tidak membayar.

Kelima, pajak karbon karena merupakan suatu instrumen yang baru, akan membutuhkan serangkaian infrastruktur yang bukan saja berdasar model keuangan, tetapi lebih ke arah model pengukuran perubahan iklim. Perlu disiapkan target yang jelas, pengukuran yang jelas serta transparan dan menggunakan standar yang diberlakukan (sedapat mungkin) internasional, serta model evaluasi dan monitoring yang terukur serta transparan.

Tak kalah penting adalah penyiapan sumber daya manusia yang akan membutuhkan pelatihan khusus, terutama pada saat-saat awal implementasi. Pengetahuan akan pentingnya mitigasi perubahan iklim akan selalu menjadi dasar yang bagus bagi para karyawan dan petugas yang terlibat.

perlu dibaca : Setop Bangun Pembangkit Batubara, Saatnya Ramah Bumi dengan Energi Terbarukan

 

Seorang pekerja di PLTS Kayubihi, Bangli, Bali. PLTS ini merupakan yang pertama dibangun di Indonesia pada 2012. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Rekomendasi untuk Implementasi Pajak Karbon di Indonesia

Dari tinjauan sederhana di atas, disimpulkan beberapa rekomendasi langkah ke depan terkait penerapan pajak karbon di Indonesia.

Pertama, memulai dengan mengakui biaya pengurangan emisi GRK sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Hal ini dapat dilakukan dengan cepat melalui peraturan menteri namun akan memberikan sinyal kepada pelaku usaha bahwa pemerintah serius dalam upaya pengurangan emisi dan nilai ekonomi karbon. Kekurangannya, opsi ini mungkin tidak menarik bagi pemerintah karena tidak menghasilkan pendapatan tambahan malah mengurangi pendapatan dari pajak penghasilan perusahaan. Namun bila memperhitungkan biaya eksternalitas seperti biaya kesehatan dan kerusakan lingkungan maka pemerintah secara netto mungkin masih untung.

Kedua, memperkuat kesiapan pemantauan, pelaporan dan verifikasi emisi GRK oleh pelaku usaha dan pihak terkait. Hal ini akan sangat penting untuk pemanfaatan pajak karbon jenis kedua ataupun bila dipilih variasi lain seperti cukai karbon ataupun pengenaan pajak karbon secara selektif (misalnya hanya untuk perusahaan yang tingkat emisinya di atas suatu batas tertentu). Pemerintah dapat memfokuskan penguatan kesiapan pada sektor industri energi dan manufaktur yang tidak berorientasi ekspor.

Ketiga, melakukan studi pemodelan mendalam untuk penerapan pajak karbon. Program partnership for market readiness pernah mengembangkan model dampak penerapan pungutan untuk setiap emisi GRK yang melebihi batas tertentu di beberapa sektor. Namun skenario ini bukanlah pajak karbon seperti yang umum dipahami sehingga perlu ada studi khusus untuk pajak karbon di Indonesia. Studi ini sebaiknya dilakukan seiring konsultasi publik dengan pemangku kepentingan sehingga suara masyarakat dapat ditangkap bahkan dari tahapan studi yang di Indonesia sering kali tidak match dengan kebijakan yang dibangun.

Keempat, melakukan proses pengembangan kebijakan pajak karbon secara inklusif. Kita semua sepakat bahwa pajak adalah alat pembangunan bukan alat pemerasan. Dan pajak sebagai produk kebijakan publik harus memperjuangkan kepentingan publik. Oleh karena itu, keterbukaan dan keterlibatan masyarakat dalam pengembangan kebijakan pajak karbon tidak boleh dinafikan. Ini juga berlaku untuk pengembangan instrumen kebijakan NEK yang lain.

Memang di beberapa negara terdapat kasus dimana kebijakan NEK tidak lolos proses politik, tapi keterbukaan dalam proses pengembangan kebijakan NEK di negara-negara tersebut sangat bermanfaat bagi masyarakat dalam menerapkan hak politik dan demokrasi mereka di kemudian hari. Yakinlah bahwa kebijakan yang gagal diambil tapi dengan proses yang terbuka adalah lebih baik daripada kebijakan yang “jadi” tapi tidak efektif atau tidak dapat dilaksanakan.

 

****

 

*Dicky Edwin Hindarto dan **Andi Samyanugraha. Penggiat perubahan iklim yang aktif di Yayasan Mitra Hijau

 

 

[1] Siaran Pers Menteri LHK : Presiden Setuju Segera Diatur Nilai Ekonomi Karbon. http://ppid.menlhk.go.id/siaran_pers/browse/2551

[2] Terdapat beberapa skenario yang dipublikasikan secara tidak resmi oleh beberapa lembaga pemerintah tentang Indonesia, nasional maupun sektoral, yang nir emisi secara netto di tahun 2050 dan setelahnya. Namun belum diketahui bagaimana skenario ini kelak akan dilembagakan sebagai kebijakan pemerintah.

[3] Joule adalah satuan energi yang dapat digunakan secara universal untuk semua jenis bahan bakar, tidak seperti satuan kuantitas seperti liter, ton, dan lain-lain, yang berbeda-beda tergantung jenis bahan bakar.

[4] State and Trends of Carbon Pricing 2020, World Bank

 

 

Exit mobile version