Mongabay.co.id

Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah dinilai Menyalahi Kebijakan Pengelolaan Sampah di Bali

 

Sejumlah lembaga lingkungan yang tergabung dalam Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) mengkritisi ide pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah (PTSa) yang kini dipopulerkan dengan istilah berbeda, Pengolah Sampah jadi Energi Listrik (PSEL) di Bali. Proyek ini dinilai akan mengganggu rencana pengelolaan sampah berbasis sumber selain ancaman polusinya.

Bali sudah pernah membuat proyek waste to energy ini namun gagal. Badan Pengelola Kebersihan wilayah Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan) pernah menjamin semua akan sepenuhnya bisa dimusnahkan pada 2012. PT Navigat Organic Energy Indonesia (PT. NOEI) menjadi satu-satunya investor pengolahan sampah di TPA Suwung saat itu. Pemerintah empat kabupaten/kota itu membuat kerjasama penanganan sampah sejak 2007 lalu. Salah satu klausul adalah investor bisa mengolah sampah jadi listrik namun tak terpenuhi dan sudah putus kontrak.

Denpasar, Bali adalah salah satu daerah dari 12 kota di Indonesia yang terpilih, sesuai amanat Peraturan Presiden No.35/2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah jadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Kota lain adalah DKI Jakarta, Tangerang, Tangerang Selatan, Bekasi, Bandung, Semarang, Surakarta, Surabaya, Makassar, Palembang, dan Manado.

Presiden Joko Widodo sudah meresmikan satu PSEL di Kota Surabaya pada April 2021 lalu.

Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan uji materi pembatalan Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Semarang, Surakarta, Surabaya, dan Makassar.

baca : PLTSa Benowo dan Listrik 12 Megawatt Hasil Pengolahan Sampah di Surabaya

 

Tabung pembakaran sampah PLTSa Benowo, Surabaya. Foto : Anik Mukholatin Hasanah/RRI

 

Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PTSa) juga tercantum dalam Peraturan Gubernur Bali tentang Bali Energi Bersih. Bahkan sampah kota dan desa dimasukkan sebagai EBT. Pembangkit Listrik Berbasis Sampah Kota yang selanjutnya disingkat PLTSa adalah pembangkit listrik yang menggunakan energi terbarukan berbasis sampah kota yang diubah menjadi energi listrik.

Pemerintah Provinsi Bali membuat beberapa kali pertemuan untuk rencana PSEL ini. Tujuannya untuk mengurangi TPA yang sudah overload.

PSEL ini terletak di TPA Suwung dengan kapasitas sedikitnya 1.000 ton sampah per hari yang akan dibakar menggunakan teknologi termal. Dalam beberapa pertemuan yang dilaksanakan, perkembangan saat ini masih dalam persiapan market sounding untuk persiapan lelang dan rilis Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan.

Perpres ini dinilai malah menghambat kemajuan pengelolaan sampah di Indonesia karena membuat pemerintah kota dan kabupaten lengah melaksanakan minimalisasi, pengurangan, pemilahan dan meningkatkan pengangkutan sampah di wilayah mereka sesuai amanat UU No.18/2008 tentang Pengelolaan Sampah.

Apalagi, hampir semua TPA sampah kota-kabupaten di Indonesia masih dioperasikan dalam bentuk open dumping, bukan controlled landfill ataupun sanitary landfill. Open dumping adalah penumpukan sampah tanpa pengeloaan atas limbahnya. Sementara sanitary landfill mewajibkan pengurangan polusi misalnya dengan melapisi sampah dengan tanah dan mengeluarkan gas methan.

Sistem pengelolaan sampah di saat ini masih menggunakan sistem kumpul-angkut-buang ke tempat pembuangan sementara (TPS) atau tempat pembuangan akhir (TPA). Sistem ini disebut hanya menyelesaikan permasalahan sampah pada bagian hilir, yaitu dengan mengandalkan sarana dan prasarana TPA dan mimpi pembangunan fasilitas PSEL.

baca juga : Pembangkit Listrik Tenaga Sampah, Peluang di Balik Masalah

 

Sebuah truk melintasi tempat pembuangan akhir sampah (TPA) Suwung, yang terbesar di Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

“Seharusnya pemerintah Provinsi Bali menyampaikan kepada Presiden, pembelajaran dari kegagalan 2004-2016 agar tidak terulang lagi,” ujar Yuyun Ismawati, Senior Advisor Nexus3, anggota AZWI, pada diskusi media, 20 Juni 2021 di Denpasar.

Hal yang dinilai kerap diabaikan para pengusung PSEL adalah limbah B3 yang dihasilkan dari kegiatan pembakaran sampah dengan teknologi termal. Di setiap kota yang memiliki PSEL harus ada TPA khusus limbah B3. Jika tidak ada, harus diangkut ke kota lain atau ke Pulau Jawa dengan biaya dan transportasi khusus limbah B3.

AZWI menilai, dengan biaya investasi PSEL dapat dicapai pemilahan sampah dan pengomposan di sumber atau di kawasan. Asumsinya peningkatan persentase pengangkutan sampah sampai 80%, dan pengoperasian TPA dengan teknologi sanitary landfill selama 15 tahun.

AZWI mengkampanyekan program Zero Waste Cities, sebagai solusi dan inisiatif warga memilah sampah dari rumah. Diskusi media menghadirkan tiga narasumber, yaitu Yuyun Ismawati (Nexus3 Foundation), IB Mandhara Brasika (Griya Luhu) dan Catur Yudha Haryani (PPLH Bali).

Dalam UU Pengelolaan Sampah Pasal 29 ayat 1 butir (g) dinyatakan bahwa, setiap orang dilarang membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah. Ini artinya komposisi sampah dan metode pembakarannya harus sesuai dengan persyaratan teknis. Sampah di Indonesia dinilai tidak memenuhi persyaratan teknis karena rata-rata nilai kalor berkisar antara 2.000-6.000 kJ/kg, lebih rendah daripada standar nilai kalor terendah (low heating value/LHV) yaitu 10.000 kJ/kg.

Selain tak layak dalam aspek lingkungan, pembangunan PSEL juga disebut berpotensi merugikan negara dan pemerintah daerah. Karena biaya yang digunakan untuk pembangunan dan operasional PSEL sangat tinggi dibandingkan penanganan secara sanitary landfill. Pembiayaan pembangunan dan pengoperasian PLTSa akan menggunakan dana APBN/APBD yang dananya terbatas, sehingga akan mengandalkan investasi asing berbagai negara maupun lembaga keuangan.

perlu dibaca :  Setelah Gagal, Pembakaran Sampah Jadi Listrik Kembali Dilakukan di Bali

 

Salah satu fenomena tahunan, terdamparnya sampah laut ke pesisir di kawasan wisata selatan Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Siaran pers AZWI menyebut, berdasarkan kajian proyek PSEL oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), proyek ini membebani pemerintah daerah karena biaya Layanan Pengelolaan Sampah (BLPS) yang bersumber dari APBD hanya berdasarkan volume per ton yang dikelola. Biaya itu tidak termasuk biaya pengumpulan, pengangkutan, dan proses akhir.

Proyek ini berpotensi merugikan kas daerah, terutama apabila pemerintah daerah tidak mampu memasok sampah ke fasilitas PSEL, maka investor akan mengenakan denda kepada pemerintah daerah. Perlu diingat bahwa kontrak kerjasama pembangunan dan pengoperasian fasilitas PSEL ini akan mengikat Pemerintah Daerah selama 20-30 tahun ke depan.

Timbulan sampah Indonesia berkisar antara 0,5-0,8 kg/hari, atau sekitar 38-40 juta ton per tahun. Rata-rata nilai kalor sampah kota rendah antara 2,000 – 4,000 kCal/kg dengan kelembaban sekitar 40-70%, dan abu sekitar 30-40%.

Rantai makanan sudah terkontaminasi dioksin akibat pembakaran sampah atau insinerator seperti hasil riset di Lucknow, Kenya, Tropodo, Bangun, dan Lakardowo. Telur ayam yang diambil dari dekat fasilitas insinerator ditemukan mengandung konsentrasi dioksin cukup tinggi.

Ada juga dugaan berdampak pada berat badan bayi rendah dan kasus kanker. Selain baku mutu dioksin yang harus dikontrol rutin, tantangan PLTSa adalah limbah debunya harus dibuang ke TPA Limbah B3 Kelas 1.

perlu dibaca : Ketika MA Batalkan Perpres Pembangkit Listrik Sampah, Selanjutnya?

 

Instalasi pengolahan sampah pada Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Foto : pemkab Bandung/universaleco.id

 

Kemunduran kebijakan sampah di Bali

PSEL diyakini akan menjadi jalan mundur dalam pengelolaan sampah di Bali. Padahal Bali sudah berkomitmen mengelola sampah di sumber dengan regulasi Pergub No.97/2018 dan Pergub No.47/2019.

Pembangunan PSEL ini ditakutkan akan membuat masyarakat berhenti memilah, dan desa adat dan desa dinas akan gagal mengelola sampah di sumber karena sampah akan dibawa ke PSEL.

IB Mandhara Brasika, pendiri platform bank sampah online Griya Luhu mengatakan teknologi PSEL membutuhkan sampah besar dan terus menerus. Artinya harus membakar sampah tidak hanya sampah dari residu. “Tapi ini bertentangan dengan dua Pergub di Bali yang mendekatkan pemilahan sampah di masyarakat,” sebutnya.

Mengutip hasil penelitian 2019, volume sampah di Bali sekitar 4281 ton atau 1000 truk sampah per hari. Sekitar 50% terpusat di 3 kabupaten dan Kota Denpasar, Badung, dan Gianyar. Inilah yang dibuang ke TPA Suwung, dan sebagiannya organik. Sekitar 20-25% sampah nonorganik yang layak didaur ulang dan 5-10% sampah residu (popok bayi, pembalut, dll). Ia mengingatkan PSEL akan menjadi langkah mundur Bali jika diterapkan

Sedangkan Catur Yudha Hariani dari Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali mengingatkan kegagalan pembangkit listrik dari sampah. Seperti mesin yang harus diberikan makan, dan mangkrak ketika makanannya tidak ada. Karena itu, ia mendorong pemerintah konsisten mengelola sampah dari sumbernya.

Program percontohan Zero Waste Cities (ZWC) di PPLH Bali telah dimulai sejak tahun 2018 di dua lokasi Banjar Tohpati, Desa Kesiman Kertalangu melibatkan 1200 KK dan Gang Sari Dewi Banjar Tegehsari, Kelurahan Tonja, Denpasar dengan 80 KK.

baca juga : Memilah Sampah di Gang Sari Dewi Kala Pandemi

 

Cara komposting sampah di TPST Kertalangu, Denpasar, Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Mongabay Indonesia menulis pengalaman dua wilayah ini mengaplikasikan pemilahan sampah di sumber. Desa Kesiman Kertalangu dan Gang Sari Dewi, Denpasar, Bali.

Penanganan sampah di dua tempat itu sebelumnya hanya kumpul angkut buang. Bahkan tak sedikit yang masih bakar sampah karena tak berlangganan angkut sampah.

Dari pemantauan volume sampah di Sari Dewi, Tonja, Denpasar periode Januari – Februari 2021, dari 65 KK (216 jiwa) yang tercatat, sampah dominan adalah organik keras 53%, anorganik bernilai 27%, lalu residu 13%, dan organik lunak 6%.

Setelah dikelola, sampah organik keras diolah menjadi kompos (2.056,8 kg), organik lunak diolah dalam tong komposter dan sebagian kecil dijadikan pakan ternak (241,8 kg).

Sedangkan anorganik bernilai dijual melalui bank sampah (1.074,8 kg). Setelah pemilahan, residu yang dibuang ke TPA tersisa 518 kg (13%).

Tantangannya adalah warga masih ada yang malas, belum terbiasa memilah sampah karena baru ujicoba selama pandemi ini. Berikutnya, pembiayaan awal cukup tinggi untuk penyediaan sarana pemilahan dan pengelolaan sampah, serta penguatan sumberdaya manusia.

 

Exit mobile version