Mongabay.co.id

Terumbu Karang Perairan Tuing, Potensi Laut Menjanjikan yang Harus Dilindungi

 

 

Terumbu karang di Perairan Tuing, Desa Mapur, Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, merupakan terumbu karang yang menyatu dengan Pulau Bangka yang masih bertahan.

Terumbu karang yang berada di wilayah utara Pulau Bangka ini, merupakan habitat cumi-cumi terbesar di Pulau Bangka. Tentunya, sebagai sumber ekonomi ribuan keluarga di Desa Mapur, Dusun Pesaren, Desa Bedukang, dan Desa Matras, yang merupakan keturunan Suku Lom dan Suku Maras.

Saat ini, belum ada data luasan terumbu karang tersebut. Sementara panjang garis pantai Perairan Tuing, dari Dermaga Tuing hingga Pantai Tengkalet, sekitar 18,22 kilometer.

Terumbu karang yang menjadi lokasi penangkapan cumi-cumi dan ikan, dipahami warga sebagai karang keliding, karang kenuse, karang pengael, karang kayu bulan, karang rom, karang batu sula, karang punggur, karang kualo, karang batu kebo, dan karang pelabuhan dalem. Lokasinya di sekitar Dermaga Tuing, Tanjung Tuing, Pulau Punggur, hingga Pantai Tengkalet.

“Saat saya kecil, para orang tua berkata mencari cumi dan ikan di Pulau Bangka yang paling mudah itu di Tuing. Ternyata benar, sejengkal kita dari pantai Tuing, sudah mendapatkan ikan atau cumi,” kata Sukardi [51], tokoh masyarakat adat Dusun Tuing, Minggu [11/7/2021].

Para leluhurnya [Suku Mapur atau Lum] menjaga terumbu karang tersebut. Banyak aturan adatnya. Tidak boleh merusak dan mengambil terumbu karang dan dilarang menggunakan jaring.

“Hanya mancing. Menjaring boleh dilakukan di wilayah laut yang tidak ada terumbu karang,” lanjutnya.

Baca: Perairan Tuing yang Dijaga Suku Lom, Kini Terancam Tambang Timah

 

Terumbu karang dari keluarga Acroporidae berada di sekitar Perairan Tuing. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Cumi-cumi didapatkan sepanjang tahun di Perairan Tuing. Ada dua jenis yang menjadi tangkapan utama nelayan: Loligo chinensis dan Sephia Sp atau sotong.

“Kalau cumi-cumi hampir sepanjang tahun ada. Tapi kami tidak berani melaut ketika musim angin utara [Desember-Januari] karena gelombang dan anginnya besar.”

Semalam melaut, warga yang menggunakan perahu di bawah 5 PK sedikitnya mendapatkan lima kilogram cumi-cumi, dengan harga jual kisaran Rp70 ribu per kilogram. Modal melaut [BBM] sekitar Rp50 ribu. Dalam sebulan, melaut sekitar 20 hari.

“Pendapatan Rp6-7 juta per bulan. Bisa lebih,” kata Sukardi.

“Kalau nelayan bagan bisa lebih banyak lagi, sekitar 30 hingga 40 kilogram dalam satu malam,” kata Butak [40], nelayan di Perairan Tuing juga.

Jumlah warga Desa Mapur yang mencari ikan dan cumi-cumi di Perairan Tuing sekitar 173 orang dan 10 bagan.

Baca: Suku Lom dan Legenda Akek Antak yang Menjaga Perairan Tuing Ratusan Tahun

 

Soft coral berwarna hijau berada di sekitar Perairan Tuing. Foto: Nopri Ismi/ Mongabay Indonesia

 

Penelitian yang dilakukan Irra Putri Aliani yang berjudul “Struktur Komunitas Terumbu Karang di Perairan Tuing Kabupaten Bangka” pada 2018, menunjukkan dua tipe terumbu karang di sini. Yaitu, terumbu karang tepi [Fringing Reefs], yang berada di sepanjang pantai dengan kedalaman tidak lebih dari 40 meter. Jaraknya dari bibir pantai sekitar 100 meter.

Berikutnya, terumbu karang penghalang [Barrier Reefs]. Letaknya, jauh dari bibir pantai yang dipisahkan gobah [lagoon] dengan kedalaman 40 hingga 70 meter. Umumnya, terumbu karang ini memanjang, menyusuri pantai.

Berdasarkan Dokumen Antara Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil [RZWP3K] Kepulauan Bangka Belitung, analisis citra tahun 2017, ekosistem terumbu karang hidup seluas 12.474,54 hektar. Sementara, luas karang mati sekitar 5.270,31 hektar.

Dr. Arief Febrianto, Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, menyebutkan luasan terbaru terumbu karang di Bangka Belitung, sekitar 17.210 hektar.

Baca: Geopark, Jejak Manusia Purba, dan Legenda Akek Antak di Bangka

 

Terumbu karang keluarga Acroporidae di sekitar Perairan Tuing. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pemijahan dan pembesaran cumi-cumi

Penelitian yang dilakukan oleh Dwi Febrianti, Indra Ambalika dan Ahmad Fahrul Syarif dari Universitas Bangka Belitung, dengan judul “Pengembangan Budidaya Cumi-Cumi [Urotheutis chinensis] di Perairan Tuing Pulau Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung” menyatakan bahwa terumbu karang di Perairan Tuing merupakan daerah pemijahan [spawning ground] dan pembesaran [nurseryground] cumi-cumi.

“Kondisi Perairan Tuing yang alami, membuat cumi-cumi lebih sering bertelur di perairan ini daripada pesisir lainnya di Pulau Bangka,” kata Indra Ambalika, Dosen Ilmu Kelautan Universitas Bangka Belitung, saat dihubungi Mongabay Indonesia, Senin [12/7/2021].

Masa bertelur cumi-cumi biasanya antara Oktober-November, atau di antara sebelum dan sesudah musim angin barat.

Hinggat saat ini, cumi-cumi di Bangka belum bisa dikawinkan skala laboratorium. Pengadaan telur dan benih cumi menjadi kendala. Dengan kata lain, sumber telur cumi-cumi masih berasal dari alam.

Baca: Ampak, Kearifan Masyarakat Melayu di Bangka Melawan Tambang Timah

 

Terdapat dua tipe terumbu karang di Perairan Tuing, yakni terumbu karang tepi dan terumbu karang penghalang.Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Penelitian yang sama menyebutkan, pada puncak musim barat [Januari–Februari] dan puncak musim timur [Agustus-September], kondisi gelombang yang kuat dan besar dengan kondisi air laut yang keruh, menyebabkan sulitnya telur cumi menempel pada rumpon yang telah dibuat dan ditenggelamkan.

“Kalau pun telur sudah terkumpul dan diinkubasi, larva cumi yang menetas rentan stres dan mati. Hanya mengonsumsi pakan alami tunggal berupa Artemia, diestimasi salah satu penyebab tingginya tingkat kematian larva, akibat ketidakseimbangan asupan nutrien bagi larva.”

Pengamatan Mongabay Indonesia yang bermalam di sekitar Pantai Kenuse, Dusun Tuing, pada Minggu [11/7/2021], saat air laut mulai surut, di hamparan terumbu karang ini dengan mudah ditemukan biota laut eksotik. Sebut saja jenis teripang hitam [Holothuria edulis], teripang [Holothuria hilla], bulu babi [Diadema setosum], beragam jenis udang, dan kepiting pasir.

Baca: Terancamnya Tujuh Suku Melayu di Teluk Kelabat Bangka, Akibat Tambang Timah Ilegal

 

Teripang dari keluarga Holothuria di sekitar karang Perairan Tuing. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Terancam penambangan timah

Indra Ambalika yang pernah tergabung Tim Ekspedisi Terumbu Karang UBB [2008- 2013], mengatakan hamparan terumbu karang di Perairan Tuing merupakan satu-satunya karang yang menempel di daratan Pulau Bangka. Kondisinya masih baik. “Yang lainnya ditemukan di pulau-pulau kecil, jauh dari Pulau Bangka,” katanya.

Adanya aktivitas penambangan timah di sekitar Perairan Bedukang -berbatasan dengan Perairan Tuing- berpotensi memberikan dampak negatif terhadap terumbu karang di Perairan Tuing. Terutama, memasuki musim angin tenggara, yang artinya arus bergerak dari selatan menuju utara di perairan timur Pulau Bangka [Perairan Tuing].

“Bisa jadi, sisa hasil penambangan timah terbawa hingga ke Perairan Tuing. Namun, itu butuh kajian, apakah benar bisa berdampak hingga ke Perairan Tuing yang berada di sekitar Pulau Punggur, karena bisa saja terhalang tanjung di Tuing [Tanjung Tuing],” ujarnya.

“Harus dihitung seberapa banyak sedimentasi limbah tambang, sebaran, tingkat kekeruhan, intensitas pembuangan sisa hasil penambangan timah, hingga seberapa kuat arus di sekitar perairan tersebut,” lanjutnya.

Aktivitas penambangan timah di sepanjang pesisir timur Pulau Bangka, harus memperhatikan pola arus laut. Saat memasuki angin utara [Januari-Maret], arus laut akan bergerak dari utara menuju selatan Pulau Bangka. Sebaliknya, saat memasuki angin Tenggara [Juli-September], arus laut akan bergerak dari selatan Pulau Bangka.

“Sepengetahuan saya, limbah tambang timah tidak pernah terbawa ke arah laut lepas, pasti tersedimen di sepanjang pesisir timur Pulau Bangka,” katanya.

 

Teripang hitam [Holothuria edulis] di Perairan Tuing. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Konservasi

M. Rizza Muftiadi, Dosen Manajemen Sumberdaya Perairan Universitas Bangka Belitung, menyatakan, “Kalau kita berbicara jangka panjang, jelas melestarikan karang lebih menguntungkan. Karena, kita menjaga feeding ground, nursery ground, spawning ground ikan-ikan yang terdapat di terumbu karang,” katanya kepada Mongabay Indonesia.

Selain itu, dengan melestarikan karang, kita ikut menjaga sistem rantai makanan di alam. “Hal tersebut akan sangat berpengaruh ke hasil tangkapan nelayan sekitarnya, juga terkait jarak, waktu melaut, dan hasil tangkapan,” lanjutnya.

Karang itu unik. Salah satu hubungan simbiosis mutualisme hewan-tumbuhan, ya karang ini. Karena bersimbiosis dengan zooxanthellae [polip sebagai hewan, zooxanthellae sebagai tumbuhan alga]. Hewan karang butuh asupan makanan dari hasil fotosinthesis [oksigen, gula]. Hewan karang menghasilkan kerangka kapur yg tersusun atas CaCO2.

“Nah, CaCO2 inilah yg dimanfaatkan zooxanthellae sebagai energi berfotosintesis,” katanya.

 

Hamparan karang mati [dead coral] di Perairan Tuing. Foto: Nopri Ismi/ Mongabay Indonesia

 

Dijelaskan Indra Ambalika, sejak 2014 Perairan Tuing diupayakan sebagai kawasan konservasi perairan oleh Pemerintah Kabupaten Bangka. Namun, saat penerbitan SK Kawasan Konservasi oleh Pemerintah Kabupaten Bangka, hadir UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan kewenangan terkait laut dengan jarak 0-12 mil menjadi kewenangan pemerintah provinsi.

Perumusan Perairan Tuing sebagai kawasan konservasi dilanjutkan Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, pada 2018. Perairan Tuing ditetapkan sebagai kawasan konservasi perairan [suaka perikanan khususnya perlindungan cumi-cumi Bangka] dengan luas 9.809,56 hektar.

Hingga saat ini, SK penetapan kawasan konservasi perairan untuk Perairan Tuing belum ditandatangani kepala daerah [Gubernur Bangka Belitung].

 

Cumi-cumi hasil tangkapan nelayan langsung dilelang di pinggiran pantai Tuing. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia Mongabay Indonesia

 

Menolak KIP

Ratusan warga [nelayan] Desa Mapur, khususnya Dusun Tuing, bersama warga Matras, Bedukang dan Pesaren, melakukan aksi penolakan kehadiran kapal isap produksi [KIP] atau kapal isap pasir timah di Perairan Matras, Bedukang, dan Perairan Tuing.

Aksi dimulai Minggu [11/7/2021]. Pada Senin [12/7/2021] hingga Rabu [14/7/2021], mereka menduduki satu kapal, yakni KIP Citra Bangka Lestari, yang sudah masuk Perairan Bedukang.

Tuntutan mereka adalah segera cabut SPK seluruh Kapal Isap Produksi yang beroperasi di Perairan Matras, Revisi Perda RZWP-3-K Bangka Belitung, dan hapus zona tambang dari perairan Matras sampai Pesaren. Tak kalah penting adalah menuntut Menteri ESDM mencabut Izin Usaha Pertambangan [IUP] di perairan Matras sampai Pesaren.

Anggi Siahaan, Kabid Komunikasi Perusahaan PT. Timah Tbk, menyayangkan aksi menduduki kapal mitra yang bekerja di dalam wilayah IUP PT Timah Tbk itu. Sebab, operasi produksi sudah dilaksanakan mengikuti aturan.

Menurut dia, PT. Timah Tbk sudah melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Telah dijelaskan bahwa perusahaan sebagai pemilik IUP akan melaksanakan operasi produksi, agar pemanfaatannya lebih maksimal, serta mengedepankan sinergitas.

 

 

Exit mobile version