Geopark, Jejak Manusia Purba, dan Legenda Akek Antak di Bangka

 

  • Masyarakat Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, sangat akrab dengan legenda Akek Antak [Kakek Antak]. Jejak yang terkait beragam batu granit. Apakah legenda tersebut sebagai penanda geopark atau jejak kehidupan manusia purba?
  • Jejak Akek Antak di Pulau Bangka beragam. Mulai telapak, bandar batu, tudung batu, dan lainnya.
  • Legenda Akek Antak dapat dinilai sebagai penanda manusia di masa lalu yang terkagum dengan kekayaan batu beserta flora dan faunanya. Dan jika dikaitkan dengan temuan gambar cadas peninggalan manusia purba di geopark Gunung Permisan, kemungkinan besar jejak batu Akek Antak terkait kehidupan manusia di masa megalitikum.
  • Masyarakat yang kuat hubungannya dengan Legenda Akek Antak dapat dikatakan sangat arif dengan lingkungan.

 

Baca sebelumnya: Geopark Gunung Permisan Bangka dan Jejak Manusia Austronesia

**

Legenda Akek Antak [Kakek Antak] sangat populer di masyarakat Bangka, Kepulauan Bangka Belitung. Akek Antak merupakan tokoh sakti yang pernah hidup di masa lalu. Hampir semua jejaknya terkait dengan keberadaan batu granit. Apakah legenda tersebut sebagai penanda geopark dan jejak kehidupan manusia manusia purba di Bangka?

Kulul Sari, pegiat sejarah dan budaya Bangka, kepada Mongabay Indonesia, Minggu [02/5/2021], menjelaskan ada sejumlah batu yang dikaitkan dengan legenda Akek Antak. Misalnya telapak kaki, tudung atau caping, dan lainnya.

“Telapak kaki ditemukan di empat lokasi. Jejak itu ada pada batu granit. Misalnya di Desa Puput, Simpang Katis [Kabupaten Bangka Tengah], Tanjung Samak, Pesisir Pantai Tuing [Kabupaten Bangka], Pantai Sampur [Pangkalpinang], dan Hutan Mangkak, antara Desa Bakam dan Mabat [Kabupaten Bangka]. Semua jejak itu diakui warga sebagai milik Akek Antak,” terangnya.

Sementara batu yang dipercaya sebagai bandar Akek Antak berada di Desa Namang, Kabupaten Bangka Tengah.

Di Desa Permis, selain ditemukan batu yang menyerupai tudung atau caping yang disebut tudung Akek Antak, juga ditemukan kapak batu. “Tapi kapak batu sudah hilang,” kata Kulul Sari.

Jejak lainnya adalah persinggahan. Misalnya, pada sebuah kekelak [kebun] durian yang berada di gugusan bukit Gunung Permisan di Kecamatan Simpang Rimba [Bangka Selatan].

“Persinggahannya antara lain Gunung Maras [Kabupaten Bangka], Bukit Pelawan, Desa Paku [Kabupaten Bangka Selatan], Gunung Pading di Desa Nadi [Kabupaten Bangka Tengah], Gunung Menumbing [Kabupaten Bangka Barat], serta Belinyu,” katanya.

Dikutip dari penelitian Jamilah Cholillah, Tim Jarlit Kebudayaan Bappeda Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tentang “Pengelolaan Hutan Berbasis Budaya Lokal di Dusun Pejam Kabupaten Bangka” disebutkan bahwa jejak Akek Antak di Tanjung Samak, terdapat di empat situs. Sebut saja batu telapak kaki, batu pare, batu sabek, dan batu gendang.

Baca: Hutan Wisata Pendidikan Itu Bernama Geosite Bukit Penyabung

 

Tanjung Punai, Desa Belo Laut, Mentok, merupakan geosite yang berada di pesisir pantai Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Geopark dan manusia purba

Berdasarkan titik pengembangan geopark nasional Pulau Bangka oleh Pemerintah Kepulauan Bangka Belitung, tercatat ada sembilan wilayah yakni Bukit Penyabung, Pantai Bembang, Pantai Jerangkat, Pantai Penganak, Tanjung Tengkalat, Pantai Punggur Puing, Gunung Permisan, Sungai Olin, dan Pantai Tapak Dewa.

“Dari peta tersebut, yang terkait legenda Akek Antak yakni Pantai Penganak, Pantai Punggur Puing, Gunung Permisan, dan Pantai Tapak Dewa,” kata Kulul Sari.

Syabaruddin, geologis dari Yayasan Maraspala Indonesia mengatakan, sangat mungkin legenda Akek Antak terkait geopark di Bangka. Sebab, itu bagian dari cultural diversity. Misalnya keberadaan kekayaan batuan beserta kekayaan flora dan faunanya yang membuat manusia tertarik untuk hadir di sana.

“Tapi tetap butuh kajian mendalam. Sebab, sebuah geopark harus memenuhi unsur geodiversity, biodiversity, dan cultural diversity,” katanya kepada Mongabay Indonesia, Kamis [06/5/2021].

Jadi, metode penelitiannya boleh dimulai dari geologi, arkeologi, maupun ekologi. Yang jelas, sebuah geopark merupakan kumpulan geosite yang mencirikan kekayaan dan keunikan batuannya, flora dan faunanya, dan adanya kebudayaan tumbuh dan berkembang di sekitarnya.

“Saya pikir legenda Akek Antak mencerminkan hal tersebut. Tapi perlu dikaji lebih mendalam, terkait nilai-nilai di balik legenda tersebut, bukan sebatas dipahami sebagai manusia sakti. Perlu melibatkan banyak pihak, berbagai disiplin ilmu, untuk menentukan sebuah geopark,” katanya.

 

Batu yang menyerupai kepala kura-kura di Bukit Batu Kepale. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Sigit Eko Prasetyo, arkeolog dari Balar Sumsel, kepada Mongabay Indonesia, yang melakukan penelitian gambar cadas [Rock Art] di Bukit Batu Kepale, Gunung Permisan, Bangka Selatan, mengatakan sangat mungkin legenda Akek Antak terkait masa megalitikum di Pulau Bangka.

“Gambar cadas itu menandakan adanya kehidupan manusia purba di Pulau Bangka. Keberadaan batu-batu yang dikaitkan legenda Akek Antak sangat mungkin terhubung dengan kehidupan manusia di masa megalitikum,” katanya, Kamis [06/5/2021]

“Kami sendiri, kemungkinan besar pada tahun 2022 akan melakukan penelitian di sekitar Bukit Batu Kepale. Informasi terkait legenda Akek Antak sangat kami butuhkan sebagai dasar penelitian,” jelasnya.

 

Gambar cadas di puncak Bukit Batu Kepale ini, menunjukkan Pulau Bangka pernah didiami manusia purba. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Arif terhadap lingkungan

Teungku Sayyid Deqy, sejarawan dan budayawan muda Bangka, kepada Mongabay Indonesia, Senin [03/5/2021], mengatakan bahwa masyarakat yang memiliki hubungan kuat dengan legenda Akek Antak dikenal sebagai masyarakat yang arif terhadap lingkungan. Misalnya, Suku Mapur [Lom], Jerieng, dan Suku Melayu di sekitar Bangka Kota [Lanskap Gunung Permisan].

Deqy yang menulis buku “Korpus Mapur Dalam Islamisasi di Bangka” menjelaskan sosok Akek Antak bukan tokoh fiktif. Perkiraan dia, Akek Antak hidup sekitar abad ke-10.

Deqy memperkirakan, Akek Antak seorang sufi atau ahli tasawuf dari Arab. “Sebab dalam cerita masyarakat Bangka, sosok Akek Antak itu putih, tinggi besar, dan sering disebut Arab Putih,” katanya.

Sebagai seorang sufi, Akek Antak lebih mengutamakan upaya penyucian jiwa dan menjernihkan akhlak. Dan dapat dikatakan tidak mengutamakan ritual. “Merusak alam tentu saja bertentangan dengan upaya menyucikan jiwa dan menjernihkan akhlak,” kata Deqy.

Jejak ajaran ini dapat dibaca dari falsafah masyarakat asli Bangka yang memiliki hubungan kuat dengan legenda Akek Antak, yakni “Hidup lurus, bengkok mati”. Artinya manusia akan mencapai hidup sempurna jika lurus atau tidak menyusahkan manusia dan makhluk hidup lain [alam semesta].

Kemudian, saat masuk hutan, sungai dan laut, atau ketika memetik daunan, akar, kulit pohon, maupun menebang pohon, serta menangkap ikan, mereka meminta izin atau membaca doa.

Berdasarkan sejumlah penelitian dan penelusuran Mongabay Indonesia, beberapa kelompok masyarakat yang kuat hubungannya dengan legenda Akek Antak memang sangat arif dengan lingkungan. Misalnya hubungan masyarakat Suku Lom dengan hutan. Hubungan masyarakat Suku Jerieng dengan pangan lokal dan sebagainya. Hutan diposisikan sebagai supermarket dan apotek.

 

Batu di Bukit Penyabung ini usianya jutaan tahun. Suku Jerieng arif menjaganya. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Jauh sebelum hadirnya sosok Akek Antak, pada abad ke-7, Kedatuan Sriwijaya menguasai Pulau Bangka. Ini ditandai dengan Prasasti Kota Kapur tertanggal 28 April 686 Masehi yang dikeluarkan Dapunta Hyang, pendiri Kedatuan Sriwijaya.

Saat dikuasai Kedatuan Sriwijaya, di Kota Kapur sudah ada kelompok masyarakat yang memeluk agama Hindu. Temuan arkeologis berupa arca Wisnu dan Lingga berbentuk bulat telur, menunjukkan, mereka pemuja Dewa Wisnu dan Siwa.

Dilihat dari ajaran tersebut, diperkirakan para penganutnya sangat melindungi alam, atau tidak merusaknya karena merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

“Jadi, sangat mungkin, manusia awal yang menetap di Pulau Bangka ini sangat arif terhadap lingkungan. Baik di masa sebelum Kedatuan Sriwijaya maupun di masa hidupnya Akek Antak,” papar Kulul Sari.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,