Mongabay.co.id

Hari Sungai Nasional: Kita Bangga Punya Banyak Sungai, tapi Tidak Merawatnya

 

 

Setiap 27 Juli diperingati sebagai Hari Sungai Nasional. Peringatan ini sangat penting, sebab di Indonesia terdapat sekitar 330 sungai besar. Sebagian sungai yang telah membangun peradaban bangsa Indonesia, saat ini mengalami kerusakan. Baik karena illegal logging, pertanian, perkebunan, permukiman, penambangan, hingga limbah industri dan sampah rumah tangga.

Dampaknya luar biasa. Mulai dari krisis air bersih, banjir, kekeringan, kehilangan sumber pangan, punah dan kritisnya populasi ikan [ikan belida dan lainnya], konflik manusia dengan satwa [buaya], serta hilangnya beragam tradisi kebudayaan bahari yang terkait sungai.

Hubungan manusia Indonesia dengan sungai sudah berjalan sejak belasan abad lalu. Hubungan ini membuat sejumlah sungai melahirkan kerajaan besar di Nusantara. Misalnya, Sungai Batanghari dengan Kerajaan Melayu, Sungai Cisadane, Ciliwung dan Citarum yang melahirkan Kerajaan Tarumanegara, Sungai Musi dengan Kedatuan Sriwijaya, serta Sungai Brantas yang melahirkan Kerajaan Majapahit.

Namun, hari ini dalam memeringati Hari Sungai Nasional, sungai-sungai itu kondisinya terus memprihatinkan, meskipun sejumlah sungai mulai membaik seperti Sungai Citarum. Tapi, sebagian sungai lainnya di Indonesia justru mengalami kerusakan.

Baca: Rumahku Tidak Mampu Meninggalkan Sungai Musi

 

Seorang nelayan melintasi anak Sungai Musi, di Desa Danau Cala, Sumatera Selatan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan catatan Mongabay Indonesia, ada dua bentuk kerusakan sungai tersebut. Di bagian hulu sungai, kerusakan disebabkan oleh aktivitas penebangan liar, pertanian, perkebunan, serta penambangan. Baik penambangan emas, batubara, hingga timah.

Kerusakan seperti ini, terutama dirasakan sejumlah sungai di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Misalnya kerusakan di hulu Sungai Batanghari di Jambi dan Sumatera Barat, yang disebabkan penambangan emas liar, dan perkebunan sawit.

Yang sangat parah dialami Sungai Musi. Kerusakan hulu [delapan anak sungainya], bukan hanya oleh penebangan liar, pembukaan lahan pertanian, tetapi juga adanya aktivitas perkebunan sawit, pertambangan batubara [Sungai Lematang dan Sungai Enim], serta penambangan emas [Sungai Rawas dan Sungai Rupit].

Sementara di hilirnya [Palembang], berbagai limbah industri dan rumah tangga, setiap hari memenuhi sungai sepanjang 750 kilometer ini.

Baca: Kisah Sungai di Sumatera, dari Kejayaan Menuju Kerusakan

 

Suasanan tenang tergambar di Sungai Mendo di Desa Kota Kapur yang bermuara ke Selat Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kondisi yang sama dirasakan Sungai Air Bengkulu di Bengkulu. Akibat penambangan, pembukaan lahan untuk perkebunan dan pertanian, menyebabkan banyak DAS [Daerah Aliran Sungai] Air Bengkulu, tidak lagi mampu menampung dan menahan laju air pada saat musim penghujan.

Dampaknya, belasan orang meninggal dunia, ratusan rumah dan fasilitas umum menjadi rusak [jalan, jembatan, parit dan gorong-gorong], ribuan orang mengungsi, dan berbagai kerugian lainnya akibat peristiwa banjir dan longsor pada 2019 lalu.

Sementara bagian hilir, kerusakan sungai diakibatkan oleh limbah, khususnya sampah plastik dan limbah beracun dari industri, rumah sakit, mall, dan rumah tangga. Kerusakan juga disebabkan oleh pembangunan, yang menyebabkan sebagian atau seluruh badan sungai ditimbun.

Dampaknya, sejumlah kota yang berada di hilir sungai, seperti Palembang [Sungai Musi], Jambi [Batanghari Sembilan] atau DKI Jakarta [Ciliwung dan Citarum] menjadi langganan banjir.

Bahkan, sejumlah pihak memperkirakan, jika tidak segera dilakukan perbaikan, di masa mendatang kota-kota itu akan tenggelam, seperti Palembang, Sumatera Selatan.

Baca: Banjir dan Longsor Bengkulu, Ada yang Salah dengan Pengelolaan Bentang Alam?

 

Aktivitas penambangan emas terlihat di sekitar Sungai Kulus, Desa Napalicin, Sumatera Selatan. Hulu sungai ini di kaki Bukit Barisan dan terhubung ke Sungai Musi. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Konflik buaya dengan manusia

Sejak tahun 2000-an, ketika maraknya penambangan timah rakyat atau tambang inkonvensional, secara berangsur kegiatan itu merusak puluhan sungai yang ada di Pulau Bangka. Pulau yang luasnya 1.169.354 hektar dengan 67 sungai.

Dampak kerusakan tersebut, selain masyarakat kehilangan sumber air bersih, menghadirkan banjir dan kekeringan, juga terjadinya konflik manusia dengan buaya.

Septian Wiguna, Kepala Resort Konservasi Wilayah XVIII [Kepulauan Bangka Belitung] BKSDA [Balai Konservasi Sumber Daya Alam] Sumatera Selatan menuturkan, “Sejak tahun 2016 hingga 17 Juli 2021, tercatat 100 konflik manusia dengan buaya di Kepulauan Bangka Belitung,” ujarnya, Selasa [27/7/2021].

Tahun 2016 [8 kasus], 2017 [5 kasus], 2018 [21 kasus], 2019 [28 kasus], 2020 [19 kasus], dan 2021 [19 kasus]. “Dari konflik tersebut sebanyak 17 orang meninggal dunia, dan 26 individu buaya mati. Sebanyak 93 buaya hidup, dan 37 orang selamat,” katanya.

Baca: Mimpi Pulihkan Citarum, Berharap jadi Inspirasi bagi Pengelolaan Sungai Lain di Indonesia

 

Rusaknya sungai di Pulau Bangka semakin mempersempit habitat buaya muara, sehingga menyebabkan terjadinya konflik dengan manusia. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Konflik buaya dan manusia tersebut tersebar di Kabupaten Bangka [26 kasus], Belitung Timur [19 kasus], Pangkalpinang [18 kasus], Bangka Tengah [15 kasus], Bangka Barat [10 kasus], Bangka Selatan [9 kasus], dan Belitung [3 kasus].

Sementara wilayah [kecamatan] yang paling banyak mengalami konflik di Puding Besar [19 kasus], Gantung [9 kasus], dan Bukit Intan [7 kasus].

“Konflik paling sering terjadi pada Januari [17 kasus], Febuari [10 kasus], Maret [13 kasus], April [11 kasus], serta Juni [10 kasus].”

Septian setuju jika konflik manusia dengan buaya disebabkan karena rusaknya sungai dan daerah aliran sungai seperti rawa.

“Misalnya, konflik yang sering terjadi di Puding terkait keberadaan Sungai Kayu Besi, atau di Bukit Intan dengan Sungai Kepoh,” katanya.

Baca: Sering Terjadi, Konflik Manusia dengan Buaya di Bangka Belitung

 

Seorang warga Desa Upang Ceria menunjukan udang satang yang didapatnya di Sungai Demang Lebar Daun, anak Sungai Musi, Sumatera Selatan, yang akan dijadikan lokasi wisata sejarah dan ekowisata. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Dijelaskan Septian, di Pulau Bangka terdapat 24 kantong [habitat] buaya. Semua habitat itu sebagian besar berada di sungai. Sisanya berada di rawa atau kolong [eks tambang], dan muara [pelabuhan nelayan].

Di Kabupaten Bangka, habitat tersebut berada di Sungai Selindung, Sungai Baturusa, Sungai Kampung Pasir, Sungai Sinar Jaya, Kulong Baye, Kolong Air Jukung, Jembatan Perimping, Sungai Banyuasin, Sungai Mancung, Pelabuhan Kayu Arang, dan Sungai Kayu Besi.

Untuk Kabupaten Bangka Tengah, tersebar di Sungai Air Lempuyan, Sungai Tebok Kurau, Sungai Air Gunting, Sungai Berok, Sungai Munggu, Sungai Selan dan Sungai Pangkalraya.

Selanjutnya di Kabupaten Bangka Selatan, yakni Sungai Kepoh, Sungai Gusung, Sungai Nyireh, Sungai Ulim, Sungai Kelubi, dan Sungai Bangka Kota.

Baca: Remis dan Keseriusan Masyarakat Sukorejo Merawat Sungai Megang

 

Remis, sejenis kerang yang hidup di sungai dan danau ini, banyak didapatkan di Sungai Megang wilayah Desa Sukorejo, Kecamatan Suku Tengah Lakitan Ulu [STL] Terawas, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Konflik manusia dengan buaya juga terjadi di Sumatera Selatan, seperti di kawasan gambut dan mangrove [pesisir] di Banyuasin, Ogan Komering Ilir [OKI]. Termasuk pula di Jambi, Riau, dan daerah lainnya di Indonesia.

Semua konflik tersebut terjadi di kawasan sungai dan rawa gambut, serta mangrove, yang mengalami kerusakan akibat perkebunan, pertambakan, permukiman, dan penambangan.

“Perlu ada lokasi habitat buaya yang clean and clear dari kegiatan manusia. Ini yang susah diwujudkan, tapi ideal. Lokasi tersebut menjadi sentra pelepasliaran buaya,” kata Septian, sebagai solusi mengatasi konflik buaya dengan manusia.

Jangka pendeknya, dibuatkan penangkaran. “Tempat tersebut secara sementara dijadikan relokasi, namun penangkapannya berdasarkan kajian sehingga muncul kuota tangkap untuk indukan,” lanjutnya.

Baca juga: Ketika Kaum Perempuan Tergerak Menjaga Sungai Musi

 

Hadirnya kelompok perempuan peduli Sungai Musi merupakan kabar baik yang harus didukung semua pihak demi kelestarian sungai tersebut. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Puncak persoalan

Konflik manusia dengan buaya merupakan puncak berakhirnya hubungan harmonis manusia dengan sungai.

“Sejak dulu, mungkin jauh sebelum hadirnya manusia, pada sungai-sungai di Indonesia sudah hidup ribuan buaya. Manusia dengan buaya hidup harmonis. Ini ditandai adanya tradisi, seperti sedekah sungai, dan kawasan larangan [hutan dan rawa] di sekitar sungai,” kata Conie Sema, pekerja seni dari Palembang.

Hingga kini, di masyarakat Indonesia masih dikenal atau dipahami adanya dukun [pawang] buaya, atau manusia siluman buaya. Namun, akibat maraknya aktivitas ekonomi ekstraktif, dan berubahnya peradaban dari sungai ke daratan, menyebabkan hubungan harmonis tersebut terputus atau hilang.

“Jadi, konflik manusia dengan buaya merupakan penanda hilangnya tradisi atau budaya bahari pada masyarakat Indonesia,” katanya.

Apa yang harus dilakukan?

“Semuanya kita sudah tahu. Ya, jangan lagi rusak sungai, dari hulu hingga hilir. Perbaikan kondisi sungai secara alami harus dilakukan. Dan, hidupkan kembali tradisi terkait sungai,” kata Conie, Ketua Teater Potlot.

Teater Potlot beberapa kali memproduksi karya seni yang terkait dengan sungai. Salah satunya dengan koreografer Sonia Anisah Utami dengan judul “Rahim Sungai Musi” pada 2020 lalu.

 

 

Exit mobile version