Mongabay.co.id

Masyarakat Adat, Krisis Iklim dan Konflik Pembangunan. Bagaimana Solusinya?

 

Masyarakat adat yang mengusung norma hidup menjaga kelestarian sumber daya alam dan keanekaragaman hayati, merupakan garda terdepan dalam pemenuhan target Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada tahun 2030 guna mencegah krisis iklim.

Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) hutan adat di Indonesia telah berkontribusi menjaga karbon sebesar 32,7 Gigaton.

Presiden Joko Widodo pada pidatonya di COP21 Paris menyatakan pelibatan masyarakat adat penting dalam mengatasi perubahan iklim karena hutan adat menyimpan 20 persen karbon hutan tropis dunia.

Sayangnya, saat ini eksistensi mereka justru terancam, banyaknya upaya penjarahan sumber daya alam dan pengalihan fungsi hutan telah menyingkirkan hak-hak masyarakat adat.

Sebagai penjaga alam terbaik, suara masyarakat adat penting didengar oleh publik dan para pengambil kebijakan.

Kondisi ini mendorong Kemitraan bekerjasama dengan Koprol (Komunitas Pemuda Pemudi Pro Keadilan Iklim) memfasilitasi diskusi dengan anak muda perwakilan masyarakat adat yang telah memiliki inisiatif nyata dalam upaya penyadaran publik terkait krisis iklim.

Dalam rilis yang diterima Mongabay Indonesia Sabtu (2/10/2021) disebutkan diskusi dihadiri oleh Roberto Yekwan dari Perkumpulan Papua Voice dan Sumarni Laman selaku Programming Committee Kalimantan International Indigenous Film Festival.

Turut terlibat Kesiadi dari Barisan Pemuda Adat Nusantara Kalimantan Tengah, Muhammad Arman dari AMAN, dan Abimanyu Sasongko Aji dari Kemitraan.

baca : Pelibatan Masyarakat Adat Bisa Jadi Jurus Ampuh Atasi Perubahan Iklim

 

Hutan adalah sumber kehidupan masyarakat adat Dayak Tomun yang harus dilestarikan. Foto: Indra Nugraha/Mongabay Indonesia

 

Libatkan Masyarakat Adat

Roberto Yekwan dari Perkumpulan Papuan Voice mengatakan, masyarakat di Papua mencari makan di hutan. Selama ini orang Papua melindungi dan menyebut hutan dengan julukan ‘Mama’ yang berarti sumber kehidupan masyarakat.

Tapi sejak masuknya perusahaan-perusahaan sawit, masyarakat sekitar menjadi tersisihkan.

“Perusahaan-perusahaan tersebut datang dengan janji membangun sekolah dan lingkungan yang lebih baik, namun pada kenyataannya tidak. Masyarakat sekitar sendiri semakin terpinggirkan karena para pekerja bukan berasal dari Papua.” sesalnya.

Kondisi yang dialami masyarakat adat Papua juga terjadi di belahan Indonesia lainnya, salah satunya Kalimantan.

Di tengah posisi yang semakin terjepit, Sumarni Laman selaku Programming Committe Kalimantan International Indigenous Film Festival percaya pemuda mempunyai kekuatan besar dalam menanggulangi krisis iklim dan diskriminasi, salah satunya melalui film.

“Melalui film saya berusaha mengadvokasi dan mengampanyekan peran aktif pemuda adat dalam menjaga lingkungannya, misalnya dengan membuat dokumentasi kehidupan lokal masyarakat adat,” ucapnya.

Sumarni percaya, dengan kearifan lokal dan pengelolaan tradisional, kita akan mampu melindungi hutan.Ia menyebutkan bahwa anak muda merupakan agen perubahan.

“Saya percaya, kita anak muda dapat melakukan perubahan. Sekecil apapun hal yang kita lakukan pasti akan bermakna, yang terpenting kita tidak hanya diam,” kata Sumarni.

baca juga : Kontribusi Masyarakat Adat dalam Pembangunan Berkelanjutan Tak Bisa Diremehkan

 

Ilustrasi. Masyarakat Kasepuhan Karang, Kabupaten Lebak, Banten dengan latar bangunan rumah adat berbahan kayu dan beratap injuk. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Muhammad Arman selaku Direktur Advokasi Hukum dan HAM AMAN menegaskan perlunya memastikan hak masyarakat adat terpenuhi, salah satunya dengan melakukan pemetaan wilayah adat.

Arman katakan pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat akan semakin mengoptimalkan upaya-upaya pencegahan terhadap perubahan iklim. Masyarakat adat adalah kunci mencegah perubahan iklim.

“Oleh karena itu, kita harus mengakui, melindungi hak masyarakat adat. Kolaborasi antar pemerintah, CSO, masyarakat khususnya anak muda seperti inilah satu-satunya jalan untuk bisa memperjuangkan hak-hak masyarakat adat,” sarannya.

Abimanyu Sasongko Aji selaku Program Manager Kemitraan berharap kegiatan ini dapat mendorong pemerintah dalam meningkatkan pengakuan wilayah dan hak-hak mayarakat adat.

Aji juga mengharapkan diberikannya ruang dan kesempatan yang lebih luas bagi para pemuda adat untuk menjadi pemimpin-pemimpin yang selalu peduli terhadap kelestarian alam guna memperkuat ketahanan masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim.

 

Dampak Pemabngunan

Dalam konferensi pers AMAN Nusa Bunga terkait Tanggapan “AMAN Terhadap Persoalan Masyarakat Adat Di Flores-Lembata”, Jumat (1/10/2021) Ketua AMAN Nusa Bunga, Philipus Kami berbicara persoalan masyarakat adat.

Philipus menyebutkan, pihaknya sangat prihatin terhadap kejadian-kejadian yang mengatasnamakan pembangunan.

Ia sebutkan masyarakat adat yang ada di seluruh daratan Flores dan Lembata saat ini sedang mengalami banyak persoalan sebagai akibat dari dampak pelaksanaan pembangunan.

“AMAN mendorong pemerintah daerah dan DPRD di Flores dan Lembata untuk melibatkan masyarakat adat sebagai salah satu kekuatan dalam perencanaan pembangunan di masing-masing kabupaten,” ungkapnya.

baca juga : Begini Tantangan AMAN Nusa Bunga Terkait Lingkungan, Hutan dan Tanah Ulayat. Seperti Apa?

 

Mikael Omi Mbulu (83) Ria Bewa kampung adat Toba desa Roga kecamatan Ndona Timur kabupaten Ende yang memiliki kekuasaan atas tanah dan hutan adat yang juga masuk dalam kawasan Taman Nasional Kelimutu (TNK). Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Philipus menegaskan masyarakat adat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam mempertahankan dan mewarisi nilai-nilai luhur kepada generasi nanti serta mejadi kekuatan untuk membentengi pengaruh budaya luar.

AMAN Nusa Bunga menyoroti beberapa kasus yang menimpa masyarakat adat diantaranya kasus tanah di Golo Mori, Kecamatan Komodo, Manggarai Barat, NTT, yang berbuntut penahanan terhadap 21 anggota masyarakat adat.

Selain itu, kasus geothermal Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat; tambang batu gamping dan pembangunan pabrik semen di Luwuk dan Lingko Lolok, Desa Satar Punda, Kabupaten Manggarai Timur, NTT.

“Juga kasus geothermal Ulumbu di Poco Leok, Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai. Ada juga kasus Geothermal di Dorotei, Mataloko, Kabupaten Ngada,” ungkapnya.

Philipus menyoroti masalah pembangunan Waduk Lambo di Rendu Butowe, Kabupaten Nagekeo, kasus HGU Nangahale, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka dan HGU Hokeng, Kecamatan Wulangitang, Kabupaten Flores Timur.

perlu dibaca : Warga Tetap Menolak Proyek Geothermal Wae Sano, Kenapa?

 

Aksi masyarakat adat menolak pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat, NTT. Foto: Sunspirit for Justice and Peace

 

Tawarkan Lokasi Alternatif

Terkait pembangunan waduk Lambo, kata Philipus, masyarakat adat Rendu, Ndora dan Lambo sesungguhnya tidak menolak pembangunannya, namun menolak lokasi pembangunannya.

Masyarakat adat, sebutnya, memberikan solusi lokasi alternatif dari Lowo Se ke Malawaka dan Lowo Pebhu yang juga masih dalam wilayah adatnya.

Alasannya, di Lowo Se terdapat pemukiman warga, berbagai indentitas budaya, padang perburuan adat, kuburan leluhur, sarana publik, lahan pertanian potesial dan padang penggembalaan.

“Sejak awal proses rencana pembangunan waduk, masyarakat adat pemilik lahan tidak dilibatkan secara penuh. Tidak ada transparansi dari pemerintah sehingga terjadi perlawanan dari masyarakat adat,” tegasnya.

Menurut Philipus, sangat tidak benar kalau pemerintah mengabaikan hak-hak konstitusi masyarakat adat yang telah diatur dalam UUD 1945 pasal 18 (B) ayat 2 dan pasal 28 UUD 1945.

Dia katakan pemerintah dan BWS Nusra II juga telah melanggar hak-hak asasi manusia dari ratifikasi ekososbud tentang hak-hak masyarakat adat internasional.

Masyarakat adat sudah berkali-kali menyampaikan aspirasi kepada pemerintah kabupaten, provinsi bahkan pusat. Pada Agustus 2017 utusan masyarakat adat Rendu, Lambo dan Ndora telah bertemu Menteri PUPR.

“Menteri PUPR mengatakan jangankan 100 orang, satu orang saja masih menolak maka waduk ini tidak jadi dibangun. Namun kenyataan yang terjadi di lapangan aktivitas BWS Nusra II tetap berjalan sampai saat ini,” sesalnya.

baca juga : Masyarakat Menolak Lokasi Pembangunan Waduk Lambo, Kenapa?

 

Demo masyarakat adat Rendu,Ndora dan Lambo di Kantor Bupati Nagekeo menolak lokasi pembangunan Waduk Lambo di Kabupaten Nagekeo, NTT. Foto : AMAN Nusa Bunga

 

Dampaknya, masyarakat adat pemilik tanah ulayat melakukan aksi penolakan termasuk menghadang BWS Nusra II, tim survei beserta aparat Brimob yang hendak memasuki wilayah adatnya.

“Kepala BWS Nusa Tenggara II diduga tidak aspiratif dan tidak menghormati hak-hak  masyarakat adat. Juga tidak menghiraukan pernyataan Mentri PUPR tersebut,” ucapnya.

Philipus meminta kepada pemerintah pusat hingga daerah serta stakeholder lainnya untuk segera menghentikan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan kegiatan rencana pembangunan Waduk Lambo di lokasi yang ditolak warga.

“Mari kita menjaga adat istiadat dan seluruh kekayaan yang ada sebagai kekuatan dan potensi daerah yang harus dijaga, dilindungi dan dihormati,” pintanya.

 

Exit mobile version