Mongabay.co.id

Situs Mangrove Bangko Tappampang Takalar Terancam Industri Arang

 

Dengan menggunakan perahu katinting kami melintasi sebuah kawasan yang dipenuhi mangrove. Angin yang sejuk menerpa wajah menyisakan rasa tenang, terik matahari siang tak terasa. Katinting melaju cepat menyisakan riak-riak air yang besar, sesekali kami berpapasan dengan katinting nelayan yang datang dari pulau sebelah. Terdengar kicau burung dari berbagai arah.

“Itu yang disebut Bangko Tappampang,” tunjuk Haris, nelayan yang membawa kami menuju Dusun Lantampeo, Desa Maccini Baji, Kecamatan Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, akhir Oktober 2021 lalu.

Ia menunjuk sebuah kawasan yang dipenuhi mangrove yang kami lintasi. Sekilas terlihat papan informasi di bagian depan kawasan itu. Dari luar, terlihat situs mangrove itu begitu lebat. Belakangan kami ketahui kondisi bagian dalam sudah banyak yang bolong akibat aktivitas penebangan liar.

Hutan mangrove Bangko Tappampang merupakan situs mangrove alami yang diyakini telah tumbuh sejak ratusan tahun silam di Kepulauan Tanakeke.

Warga menjelaskan, hutan mangrove di kawasan ini berkurang karena penebangan liar untuk keperluan kayu bakar dan bangunan, juga konversi lahan menjadi tambak era 1980-an. Kala tambak tak produktif lagi, ditinggalkan begitu saja. Tahun 2013, kawasan ini seluas 51,55 hektar, namun terus berkurang akibat aktivitas penebangan dari warga.

Menurut Rabbasiah Nutta, warga di Desa Tompotana, sejak dulu kawasan ini dikenal sebagai hutan mangrove yang dilindungi, dimana penebangan harus seizin pemerintah lokal yang disebut gallarang, atau setingkat pemerintahan kecamatan saat ini. Dulu, penebangan mangrove di tempat ini hanya bisa pada kondisi-kondisi tertentu. Ada yang disebut pajak jiwa atau sima, yang wajib dibayarkan setiap orang ke gallarang. 

Warga miskin yang tidak sanggup membayar sima, diberi alternatif mengambil kayu mangrove di Bangko Tappampang untuk diserahkan ke gallarang sebagai ganti pembayaran sima,” katanya.

baca : Womangrove, Para Perempuan Penyelamat Mangrove di Tanakeke

 

Perjalanan melintasi sekitar situs mangrove Bangko Tappampang, Tanakeke, Takalar, Sulawesi Selatan, menggunakan katinting. Kawasan seluas 51,55 hektar ini terancam antara lain oleh industri arang. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Dulu, aturan penebangan hanya boleh di bagian tengah dan menyisakan bagian pinggir. Dengan metode ini, bagian tengah yang sudah ditebangi mudah ditumbuhi tunas baru, karena terjaga mangrove yang mengelilinginya.

Dalam perkembangan, eksploitasi mangrove di Bangko Tappampang menjadi tidak terkendali. Warga yang tidak memiliki lahan kemudian mengambil mangrove di Bangko Tappampang ini.

Tahun 2012, atas inisiasi dari program Restoring Coastal Livelihood (RCL) Oxfam difasilitasi Mangrove Action Project (MAP) yang kini bernama Blue Forests, 5 desa di sekitar Kepulauan Tanakeke membentuk sebuah Forum Pemerintah Desa yang kemudian menyepakati menjadikan Bangko Tappampang sebagai kawasan konservasi.

Ada tiga zona yang disepakati, yaitu zona inti, penyangga, dan rehabilitasi. Lahirlah Peraturan Desa tentang Mangrove pada 2012, yang awalnya efektif menghambat laju deforestasi kawasan mangrove di kepulauan ini.

Forum ini melakukan pertemuan tiap tiga bulan di lokasi yang disepakati bersama melalui apa yang mereka sebut Safari Tanakeke. Di pertemuan ini, mereka membicarakan berbagai hal, baik tentang perkembangan penanaman mangrove di desa masing-masing ataupun masalah-masalah lintas desa. Forum ini secara efektif menjadi perekat bagi warga dari berbagai desa.

baca juga : Wah! Ratusan Hektar Mangrove di Kepulauan Tanakeke Terancam Hilang

 

Penebangan mangrove yang masif oleh warga untuk kebutuhan industri arang, jika dulunya hanya pada lahan pribadi kini mulai masuk ke situs mangrove Bangko Tappampang yang dilindungi. Foto: Blue Forests

 

Sayangnya, seiring dengan berakhirnya program RCL Oxfam pada 2015, koordinasi dan peran pemerintah desa dalam menjaga Bangko Tappampang mulai berkurang dan bahkan hilang. Aktivitas penebangan liar mulai marak tanpa bisa dicegah, meskipun aktivitas itu dilakukan secara diam-diam. Beberapa pelaku yang sempat diketahui melakukan penebangan malah balik mengancam warga.

Awal Nompo, salah seorang tokoh pemuda setempat mengakui kondisi Bangko Tappampang memburuk karena lemahnya peran pemerintah desa dan community organizer (CO) atau warga yang dulunya menjadi penggerak komunitas.

“Aturan-aturan yang dulu disepakati tidak lagi efektif. Warga kembali menebang mangrove seperti sebelum-sebelumnya karena tidak adanya perhatian dari pemerintah desa. Secara fisik kita bisa lihat tidak ada perubahan yang berarti setelah program berhenti.”

 

Bisnis Kayu Arang

Tantangan lainnya adalah ketika mangrove makin bernilai ekonomis untuk dijadikan kayu arang dan dijual ke Makassar. Kalau sebelumnya hanya 4 pelaku industri pembuatan arang, sejak 2020 jumlahnya bertambah menjadi 12 buah. Warga yang awalnya hanya menebang di wilayah pribadi kemudian merambah ke kawasan Bangko Tappampang yang tak bertuan.

Menurut Awal, untuk mencegah terjadinya kerusakan yang lebih besar, solusinya adalah intervensi program dengan menitikberatkan pada penguatan pemerintah desa, berupa evaluasi program dan penganggaran terkait evaluasi tersebut. Bukan lagi pada penguatan kelembagaan seperti yang dilakukan melalui program RCL Oxfam.

“Program lain yang bisa diberikan terkait menggali potensi pemanfaatan kawasan selain mengambil kayunya, bisa dengan budidaya ataupun wisata, sehingga ada alternatif mata pencaharian.”

Hal lainnya, dengan mengundang pemerintah daerah atau provinsi untuk melakukan penanaman mangrove di kawasan Bangko Tappampang.

“Kalau Bupati atau Gubernur melakukan penanaman dan disaksikan dan diikuti warga, maka warga yang dulunya melakukan penebangan pasti akan takut menebang,” katanya.

baca juga : Setelah 6 Tahun, Bagaimana Kiprah Womangrove di Tanakeke?

 

Industri arang dari kayu mangrove berkembang pesat seiring meningkatnya permintaan dari warung-warung makan di Makassar. Jika dulunya hanya terdapat 4 dapur arang kini jumlahnya sekitar 12 dapur arang, meningkatkan tekanan terhadap mangrove di Tanakeke, Takalar, Sulsel. Foto: Blue Forests

 

Mahar Perkawinan

Awal berharap kawasan Bangko Tappampang ini bisa dilestarikan melalui perhatian berbagai pihak, karena fungsi ekologis kawasan itu sangat dirasakan warga dan memiliki nilai sejarah yang penting untuk dipertahankan.

“Pemerintah desa juga harusnya bisa lebih ketat mengawasi dan sosialisasi, termasuk memasang papan informasi yang bisa membatasi akses warga sekaligus memberikan edukasi pentingnya menjaga kawasan tersebut.”

Mangrove sendiri telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat Kepulauan Tanakeke dan bahkan menjadi aset pribadi. Bahkan dalam perkawinan, kawasan mangrove kerap dijadikan sebagai mahar dengan menghitung luasan lahan mangrove yang dimiliki.

“Tantangan untuk pengelolaan mangrove di Tanakeke karena klaim kepemilikan pribadi. Mereka tak bisa dicegah menebang karena telah menjadi milik pribadi yang biasa digunakan untuk bahan bangunan, bahan bakar ataupun dijual. Yang bisa dilakukan adalah membuat aturan penebangan atau tebang pilih dan menyisakan indukan. Dalam Perdes juga diatur setiap menebang satu pohon harus dibarengi dengan menanam 10 pohon,” jelas Nutta.

Warga biasanya melakukan penebangan ketika menghadapi kebutuhan mendesak yang butuh biaya besar, untuk biaya perkawinan atau pendidikan anak, sementara untuk kebutuhan sehari-hari warga masih mengandalkan dari hasil tangkapan ikan atau budidaya rumput laut.

“Sistem penjualan biasanya merujuk pada luasan dan besar mangrove yang dimiliki. Butuh waktu beberapa bulan untuk menyiapkan mangrove ini sebelum dijadikan arang melalui pembakaran tungku.”

perlu dibaca : Demi Tambak, Kawasan Mangrove di Pinrang Dibabat Habis

 

Tahun 2012 lahir kesepakatan 5 desa di Tanakeke untuk melindungi Bangko Tappampang, meski kesepakatan ini tidak lagi berlaku secara efektif. Foto : Blue Forests

 

Menurut Yusran Nurdin Massa, Enviromental Technical Advisor (TEA) di Blue Forests, besarnya tekanan terhadap mangrove di Tanakeke tak terlepas dari tuntutan pasar arang yang semakin meningkat. Sehingga, ketika pohon mangrove di lahan pribadi habis untuk bisnis, warga kemudian masuk ke kawasan dilindungi.

“Warga kemudian masuk ke Bangko Tappampang yang sebenarnya secara tradisional mereka lindungi, yang sudah dilegitimasi melalui kesepakatan bersama forum pemerintah desa. Karena inisiatifnya dibangun dari community base management dimana hanya masyarakat yang menyusun tanpa kehadiran pemerintah secara kuat maka yang terjadi kemudian adalah mereka melakukan pembiaran untuk penebangan di Bangko Tappampang.”

Solusi terbaik mengatasi masalah tersebut, menurutnya, adalah melalui tata kelola yang baik. Industri arang dengan bahan baku kayu mangrove adalah hal yang tak bisa dihentikan begitu saja, sehingga solusi yang tepat adalah dengan menatanya dengan baik.

“Itu yang coba kita fasilitasi bagaimana tata kelola arang. Ketika hanya ada 4 dapur arang, tekanan terhadap mangrove belum begitu kuat. Namun akan berbeda ketika jumlah dapur arang terus bertambah yang akan berbanding lurus dengan kebutuhan akan kayu mangrove. Ini yang harus dibicarakan kembali, termasuk bagaimana mencari sumber mata pencaharian alternatif bagi warga,” pungkasnya.

 

Exit mobile version