Mongabay.co.id

Korupsi Sektor Sumber Daya Alam Selalu Melibatkan ‘Orang Besar’

 

Sebuah perizinan adalah hal yang bagus karena menjadi alat kontrol negara terhadap pelaku usaha dan masyarakat dalam melakukan usahanya dalam bisnis apa pun, termasuk bisnis pemanfaatan lahan.

Sayangnya, eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam yang berbasis lahan menimbulkan banyak hal khususnya yang berhubungan dengan korupsi.

Hal ini diungkap Laode M. Syarif, Direktur Eksekutif Kemitraan (Partnership), dalam seminar nasional bertajuk Tata Kelola Lahan dan Hutan, secara daring yang diselenggarakan oleh JURnal Celebes, Rabu (17/11/2021).

Laode kemudian mencontohkan sejumlah kasus korupsi terkait perizinan lahan, seperti Gubernur Kalimantan Timur Suwarna Abdul Fatah. Lalu, dua Gubernur Riau, Rusli Zainal dan Annas Maamun, keduanya ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus pemanfaatan hutan.

Kasus lainnya, Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam dipenjara karena memberikan izin tambang di daerah yang seharusnya dilarang yaitu di pulau kecil Kabaena, Kabupaten Bombana.

baca : KPK Cokok Gubernur Kepulauan Riau atas Dugaan Suap Izin Reklamasi

 

Presiden Joko Widodo meninjau penanganan kebakaran hutan dan lahan di Desa Merbau, Kecamatan Bunut, Kabupaten Pelalawan, Riau, 17 September 2019. Foto: dari akun Facebook Presiden Joko Widodo

 

Menurutnya, kasus-kasus berbasis lahan ini selalu melibatkan ‘orang besar’ dan pemilik modal. Ia juga mencontohkan kasus Kepala SKK Migas dan Idrus Marham, yang ketika ditangkap sedang menjabat sebagai Menteri Sosial.

“Akibat berpengaruh di sebuah partai politik akhirnya dia (Idrus Marham) juga terseret karena turut serta. Ada pula Amin Nasution, kemudian Kepala SKK Migas, itu semuanya contoh-contoh yang kurang baik dari segi perizinan ini, dan siapa-siapa orang-orang di belakangnya tidak pernah orang kecil,”  kata Laode.

Secara modus operandi, lanjutnya, kejahatan dilakukan berupa pemberian suap agar diberi izin, penggelapan, money laundry, pajak, dan paling banyak terkait ketidakpatuhan atas izin.

“Setiap izin ada persyaratan-persyaratan perizinan, setelah beroperasi tidak patuh. Contoh dana reboisasi, bagaimana kepatuhan mereka. Lalu sektor tambang dana-dana yang berhubungan dengan jaminan reklamasi.”

Menurut Laode, dari 10.000 lebih izin usaha pertambangan yang ada ketika dirinya menjabat sebagai komisioner KPK (2015-2019), ia menemukan sedikitnya 6.000 kasus terkait ketidakpatuhan terhadap semua ketentuan, yang mungkin saja tidak korupsi namun bisa ditindak karena tidak patuh pada perizinan yang ada.

“Take home meals yang bisa saya sampaikan bahwa korupsi sumber daya alam sering melibatkan high rangking public officials dan private sector yang bukan kampret, tapi kelas kakap. Big natural resources corruption selalu melibatkan aktor-aktor sampai di luar negeri sehingga lebih sulit ditindak.”

baca juga : Pelemahan KPK Untungkan Mafia Sumber Daya Alam

 

Kondisi hutan di Aceh Barat yang rusak akibat tambang emas ilegal. Foto: Google Earth

 

Selain itu, lanjutnya, modus operandi dari korupsi ini selalu sophisticated atau canggih, sehingga kerja sama pemerintah nasional dan internasional perlu ditingkatkan.

Laode selanjutnya melihat pentingnya peran masyarakat sipil untuk membantu pemerintah karena bisa memberikan informasi lapangan, apalagi kondisi saat ini segala perizinan terkait sumber daya alam telah ditarik sebagai wewenang pusat.

“Padahal pusat tidak punya staf yang cukup di tapak, sehingga masyarakat sipil bisa mengeluarkan pendapat. Jika pendapat mereka berbeda jangan dianggap musuh tetapi untuk memperkaya. Saya ingin mengatakan bahwa alam, hutan dan sumber daya alam Indonesia hanya akan selamat apabila pemerintah, dunia usaha dan masyarakat sipil bekerja bahu membahu menyelamatkan Indonesia,” pungkasnya.

Pada kesempatan yang sama, Chusnul Faridh, Kepala Seksi Pengaduan, Direktorat Pengaduan, Pengawasan dan Sanksi Administratif, Ditjen Penegakan Hukum, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), mengatakan saat ini terdapat 125,8 juta hektar kawasan hutan, yang terdiri dari 27,5 juta hektar kawasan konservasi, 29,5 juta hutan lindung, 55,9 juta hektar hutan produksi tetap dan 12,8 juta hektar hutan produksi yang dapat dikonversi.

Ia menjelaskan komitmen pemerintah dalam penegakan hukum, bisa dilihat dari sejumlah hukum terkait hal ini, antara lain telah disebutkan dalam UUD 1945 pada pasal 28 H dan pasal 33 ayat 3 dan 4, dan sejumlah undang-undang lainnya.

Ia kemudian merinci sejumlah kejahatan lingkungan sektor kehutanan berdasarkan tipologi aktor, yang bisa dilakukan oleh perseorangan, kelompok terorganisir, korporasi, transnasional dan oknum aparat.

“Tipologi kejahatan LHK bisa berupa pencemaran lingkungan, kerusakan lingkungan, kebakaran hutan dan lahan, pembalakan liar, perambahan hutan dan kejahatan perdagangan tumbuhan dan satwa liar.”

Kejahatan lingkungan sektor kehutanan memberikan dampak berupa kerusakan ekosistem, bencana ekologis, kesehatan masyarakat, kerugian ekonomi, kerugian negara dan kewibawaan negara.

“Sejak Dirjen Gakkum ini dibentuk tahun 2015 kita sudah melakukan penanganan terhadap 5.968 pengaduan, 6.374 pengawasan, 2.081 sanksi administratif, 193 kesepakatan, 29 gugatan perdata, 1.117 kasus P-21, 224 fasilitasi dan 1.686 operasi pencegahan penertiban dan penanganan,” jelasnya.

baca juga : Greenpeace Beberkan Izin-izin Keluar di Hutan Alam Papua

 

Di Indonesia hutan-hutan yang ditebangi berizin bukan deforestasi. Ini data Greenpeace, deforestasi yang terjadi di hutan gambut di dalam konsesi PT. Riau Andalan Pulp & Paper (PT RAPP) di Pulau Pedang, Bengkalis, Riau. Foto :  Ulet Ifansasti / Greenpeace

 

Peran Masyarakat

Adrianus Eryan, Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan, Indonesia Center for Enviromental Law (ICEL), menyatakan pentingnya peran masyarakat dalam hal proses perizinan, khususnya dalam pengurusan AMDAL.

“Masyarakat berhak dimintai pendapat dan bisa menyampaikan ini loh concern masyarakat terkait tambang. itu dicatat dalam proses penyusunan AMDAL.”

Menurutnya, kadang terjadi perusahaan datang sosialisasi tidak secara jujur menyampaikan keinginannya kepada masyarakat, hanya berdalih silaturahmi biasa lalu meminta tanda tangan masyarakat, yang kemudian dijadikan bukti kalau sudah mendapat persetujuan dari masyarakat.

“Ini sering terjadi di beberapa daerah, awalnya saya tidak percaya, tetapi ada beberapa data, dan akhirnya masyarakat yang sudah tanda tangan ternyata bentuk persetujuan. Ini misalnya terjadi pada kasus Semen Kendeng (Jateng) adanya pemalsuan tanda tangan sehingga kemudian pengadilan memenangkan masyarakat dalam gugatannya. Ini sangat krusial diperhatikan masyarakat betul-betul dilibatkan bukan sekedar formalitas dan pemalsuan.”

Ia juga menyatakan pentingnya pemerintah untuk menegakkan hukum kehutanan dan pengetatan proses Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), yang seringkali tidak dipatuhi oleh pelaku usaha.

“Ini menjadi krusial karena dunia Eropa turut mempertanyakan bagaimana mereka bisa yakin kalau kayu-kayu yang dijual Indonesia adalah kayu legal, atau dari lokasi yang sudah ada izin dan dikelola secara berkelanjutan. Kalau ekspornya dianggap tidak berkelanjutan atau bersumber dari pembalakan liar maka akan menyulitkan kita sendiri karena pasti akan diserang.”

penting dibaca :  Analisis: Apakah Transaksi Lahan Korup Masih Luput dari Radar KPK?

 

Deforestasi karena perkebunan kayu untuk pulp (bubur kertas) sekaligus jadi serangkaian lokasi bagi kasus sektor perkebunan yang ditangani KPK di Riau pada 2006. Foto : Wakx.

 

Tantangan ke Depan

Menurut Mustam Arif, Direktur JURnal Celebes, kegiatan ini adalah sebuah upaya untuk melihat kepatuhan izin-izin industri baik ekstraktif maupun kehutanan dan perkebunan yang berada di kawasan hutan maupun izin industri yang berbasis lahan.

“Seminar ini adalah salah satu upaya JURnal Celebes untuk mengambil peran dalam perbaikan tata kelola kehutanan di Indonesia terutama di daerah,” katanya.

Menurutnya, di awal reformasi Indonesia mengalami laju deforestasi yang cukup besar.

“Pada masa itu ada data yang menunjukkan bahwa 2 dasawarsa kita mengalami deforestasi antara 1,7 – 2 juta hektar per tahun. Pada tahun 2010 Bappenas sudah mewanti-wanti bahwa pengelolaan atau tata kelola hutan kita sangat buruk. Masyarakat sipil menilai hal itu disebabkan oleh agresifnya pemerintah memberi izin pada industri-industri khususnya yang skala besar. Izin yang sangat besar ini tidak sebanding dengan upaya perbaikan dan daya dukung lingkungan.”

Sebuah harapan baru muncul ketika pada awal Oktober 2021 lalu KLHK merilis data bahwa Indonesia berhasil menurunkan deforestasi 75,3 persen atau sekitar 115,46 ribu hektar.

“Hal ini menggembirakan namun di sisi lain ada juga UU Omnibus Law, yang mungkin menguntungkan secara pertumbuhan ekonomi namun di sisi lain ini juga bisa menjadi ancaman karena uu ini memberikan keleluasaan terutama perizinan sehingga ketika tidak terkontrol dengan baik maka akan menjadi tantangan besar ke depan.”*

baca juga : Omnibus Law ‘Jalan Mulus’ Legalkan Pelanggaran Investasi Sawit dalam Kawasan Hutan?

 

Perkebunan sawit hingga bantaran sungai di Aceh Utara. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version