- Laporan terbaru Greenpeace menyebutkan, sepanjang 2010-2019, sekitar 168.471 hektar hutan primer di Papua berubah jadi izin perkebunan sawit. Jumlah ini diperkirakan masih terus meningkat. Pelepasan kawasan ini pun diduga menyalahi aturan moratorium hutan yang terbit sejak 2011.
- Sejak 2000, ada 685.388 hektar kawasan hutan lepas untuk konsesi. Sebanyak 447.073 hektar adalah hutan primer dan 108.032 hektar di kawasan gambut.
- Dalam laporan itu, Greenpeace membeberkan sejumlah nama pengusaha yang mendapat untung dari proses pelepasan kawasan hutan di Tanah Papua periode 2010-2019 didominasi usaha perkebunan.
- Temuan Greenpeace juga ada revisi peta moratorium hutan di Tanah Papua oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atas permintaan perusahaan. Ada 14 perusahaan menikmati perubahan itu, dan mendapat izin pelepasan kawasan hutan. Mereka bergerak di usaha kebun sawit, tanaman pangan, karet dan tebu.
“Cabut Izin Perusahaan Perusak Hutan Papua.” “Selamatkan Masyarakat Adat Papua.” “#sayabersamahutanpapua.” Begitu antara lain spanduk dan poster yang dibawa sejumlah aktivis Greenpeace Indonesia saat aksi di halaman Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Manggala Wanabhakti, Jakarta, 8 April lalu. Mereka pakai alat peraga pohon dan asap buatan yang menggambarkan kerusakan hutan Papua karena pembukaan hutan untuk kepentingan perkebunan.
Aksi ini sebagai tindaklanjut respon atas laporan Greenpeace Internasional berjudul “Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua,” yang memperlihatkan perusahaan-perusahaan yang mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan primer di Papua, periode 2010-2019. Mereka menuntut kepada pemerintah agar mengambil tindakan penyelamatan hutan Papua yang jadi target deforestasi terencana.
Dalam laporan Greenpeace itu menyebutkan, sepanjang 2010-2019, sekitar 168.471 hektar hutan primer di Papua berubah jadi izin perkebunan sawit. Jumlah ini diperkirakan masih terus meningkat. Pelepasan kawasan ini pun diduga menyalahi aturan moratorium hutan yang terbit sejak 2011.
Sejak 2000, ada 685.388 hektar kawasan hutan lepas untuk konsesi. Sebanyak 447.073 hektar adalah hutan primer dan 108.032 hektar di kawasan gambut.
“Sesungguhnya ini obyek moratorium hutan, karena moratorium hutan itu tidak boleh memberikan izin di dalam wilayah hutan alam primer dan lahan gambut. Angka-angka ini menunjukkan kebijakan lahan gambut dan hutan primer ini telah dilanggar,” kata Arie Rompas, Kepala tim pengkampanye hutan Greenpeace Asia Tenggara– Indonesia dalam temu media daring 6 April lalu.
Baca juga: Pemain Baru Mulai Babat Hutan dalam Proyek Kebun Sawit Raksasa di Papua
Mereka yang diuntungkan
Dalam laporan itu, Greenpeace membeberkan sejumlah nama pengusaha yang mendapat untung dari proses pelepasan kawasan hutan di Tanah Papua periode 2010-2019 didominasi usaha perkebunan.
“Kami mengidentifikasi pemilik perusahaan atau grup yang memang mereka mengendalikan perijinan di Papua dan sudah mendapatkan keuntungan dari proses-proses deforestasi,” katanya.
Seung Eun Ho, pengusaha asal Korea Selatan berada di urutan teratas. Total deforestasi oleh grup Korindo mencapai 40.773 hektar. Korindo membawahi empat perusahaan yaitu PT Dongin Prabhawa, PT Berkat Cipta Abadi, PT Tunas Sawa Erma, PT Papua Agro Lestari.
Pengusaha kedua juga asal Korea namun namanya tidak diketahui karena masalah tranparansi data perizinan. Grup Posco International membawahi PT. Bio Inti Agrindo membuka hutan seluas 25.681 hektar.
Pada ketiga ada Ganda, Martua Sitorus dan keluarga. Keluarga pengusaha asal Indonesia ini memiliki grup KPN Corp (Gama), membawahi dua perusahaan yaitu PT Agriprima Cipta Persada dan PT Agrinusa Persada Mulia. Deforestasi yang ditimbulkan mencapai 15.092 hektar.
Peter Sondakh pemilik Eagle High Plantations membawahi PT. Tandan Sawita Papua menimbulkan deforestasi seluas 11.910 hektar. Disusul Rosna Tjuatja dari Indonusa Group dengan perusahaan PT Internusa Jaya Sejahtera total deforestasi 10.556 hektar. Baik Peter Sondakh maupun Rosna Tjuatja pengusaha asal Indonesia.
Di urutan ke enam ada Keluarga Selvanathan, pengusaha asal Singapura dan Srilanka. Nama grup perusahaan Carson Cumberbatch /Goodhope Asia Holdings, membawahi PT Nabire Baru dan PT Sariwana Adi Perkasa. Deforestasi yang ditimbulkan mencapai 10.314 hektar.
Selanjutnya, ada Richard Elman asal Hongkong. Nama grup perusahaan Noble Group membawahi PT Pusaka Agro Makmur dan menimbulkan deforestasi seluas 9.727 hektar.
Kemudian, urutan kedelapan Keluarga Hayel Saeed asala Uni Emirat Arab dan Yaman. Hayel Saeed Anam Group miliknya membawahi tiga perusahaan yaitu PT Megakarya Jaya Raya, PT Kartika Cipta Pratama dan PT Graha Kencana Mulia. Perusahaan-perusahaan ini mengakibatkan deforestasi seluas 8.828 hektar.
Pada urutan ke sembilan ada Sukanto Tanoto asal Hong Kong & Kepulauan Virgin Inggris. Nama grup perusahaan adalah DTK Opportunity membawahi PT. Rimba Matoa Lestari dengan luas deforestasi mencapai 5.567 hektar.
Urutan kesepuluh ada Keluarga Rumangkang/Neville Mahon. Keluarga pengusaha asal Indoensia ini pemilik Digoel Agri / Bumi Mitratrans Marjaya Group, membawahi PT Perkebunan Bovendigoel Sejahtera dan PT Bovendigoel Budidaya Sentosa. Deforestasi yang ditimbulkan mencapai 310 hektar.
Lalu, urutan 11 dan 12 berturut-turut Anthoni Salim dan Yulius Lim, asal Indonesia. Anthoni Salim pemilik Salim Grup membawahi PT Permata Nusa Mandiri dan menimbulkan deforestasi seluas 298 hektar. Yulius Lim, pemilik grup Victory membawai PT Victory Cemerlang Indonesia Wood Industries dengan deforetasi 171 hektar.
Baca juga: Investigasi Ungkap Korindo Babat Hutan Papua dan Malut jadi Sawit, Beragam Masalah Muncul
Revisi peta moratorium
Temuan kunci Greenpeace lain, ada revisi peta moratorium hutan di Tanah Papua oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atas permintaan perusahaan. Ada 14 perusahaan menikmati perubahan itu, dan mendapat izin pelepasan kawasan hutan. Mereka bergerak di usaha kebun sawit, tanaman pangan, karet dan tebu.
Arie Rompas memberi contoh PT Tunas Agung Sejahtera di Mimika. Wilayah konsesi perusahaan ini sudah dihapus dari peta moratorium pada 2014. Padahal foto lokasi pada 2017 menunjukkan wilayah ini merupakan hutan alam primer.
Contoh lain, PT Wira Antara dan PT Daya Indah Nusantara di Jayapura dan Sarmi. Dalam peta indikatif penghentian pemberian izin baru (PIPPIB) revisi empat, konsensi ada hutan alam primer; tetapi PIPPIB revisi lima hutan alam primer sudah keluar dari kawasan konsesi.
“Ada perubahan-perubahan yang diakali hingga kemudian hutan alam itu diberikan untuk kepentingan perusahaan. Ini salah satu lubang yang selalu digunakan. Ketika sudah dikeluarkan peta dari gambut dan hutan alam, seolah-olah dianggap legal.”
Perubahan peta moratorium tiap enam bulan menjadi celah menghindari kebijakan moratorium. Proses perubahan peta tidak tidak transparan. Greenpeace sudah berusaha menyurati KLHK untuk mempertanyakan alasan di balik perubahan-perubahan ini namun tidak ditanggapi.
Peran menteri
Greenpeace juga membeberkan bagaimana Manteri Zulkifli Hasan dan Menteri Siti Nurbaya melanggar aturan mereka sendiri dalam memproses izin-izin pelepasan kawasan hutan periode 2011-2019 ini.
Dalam periode ini, ada 32 perusahaan mendapat izin pelepasan kawasan hutan. Sebanyak 24 di masa Menteri Zulkifli Hasan dan delapan di masa Siti Nurbaya. Dari keseluruhan izin itu, 24 perusahan terindetifikasi melanggar aturan menteri, 21 di masa Menteri Zulkifli Hasan dan empat masa Menteri Siti Nurbaya.
Baca juga: Kasus Kebun Sawit: Putuskan Korindo Melanggar, FSC: Harus Evaluasi dan Pulihkan Kerusakan
Bentuk pelanggaranantara lain, tidak memiliki izin usaha perkebunan saat mendapat izin pelepasan kawasan. Total penguasaan lahan melebih aturan kurang 200.000 hektar untuk satu grup perusahaan di Papua, mendapat pelepasan kawasan hutan lebih 40.000 hektar (atau 20.000 hektar di bawah aturan 2016 dan 2018) untuk satu grup dalam satu waktu sebelum pengembangan perkebunan. Sekitar 21 perusahaan di masa Menteri Zulkifli melakukan satu hingga dua pelanggaran ini.
“Yang menjadi penting sebenarnya pelepasan kawasan hutan ini banyak terbit oleh Zulkifli Hasan, satu hari sebelum masa jabatan berakhir.”
Menteri Siti Nurbaya melakukan tipe pelanggaran ketiga. Di bawah aturan 2016/2018 pelepasalan kawasan hutan pelepasan kawasan tidak boleh dari 20.000 hektar sebelum pengembangan. Pada 2017 hingga 2019, Siti memberikan izin pelepasan kawasan hutan melebihi aturan ini untuk empat perusahaan, yakni PT Himagro Sukses Selalu, PT Mappi Sejahtera Bersama, PT Sawit Makmur Abadi, dan PT Prima Sarana Graha.
Menteri Siti juga meneruskan kebijakan pelepasan kawasan hutan Menteri Zulkifli Hasan yang punya izin prinsip bermasalah. Bahkan sejak moratorium izin sawit pada 2018, Menteri Siti melepas kawasan hutan kepada 22 perusahaan, antara lain ada 14.529 hektar untuk PT. Anugerah Sakti Internusa di Papua Barat.
“Menteri Siti Nurbaya selalu mengungkapkan, izin-izin di Papua terbit pada masa Menteri Zulkifli Hasan. Kemudian dia juga terus mengeluarkan izin-izin lebih parahnya keluar di tutupan hutan masih bagus. Jadi, tidak evaluasi tetapi meneruskan izin-izin yang dikeluarkan Menteri Zulkifli Hasan.”
Keterkaitan perusahaan dengan politisi dan pejabat polisi
Greenpeace juga melihat keterkaitan perusahaan-perusahaan ini dengan politisi nasional. Pengamatan khusus saat izin-izin proses. Untuk perkebunan di Kabupaten Boven Digoel saja, ada tujuh politisi nasional terkait. Ada politisi Partai Gerindra, Demokrat dan Partai Amanat Nasiional (PAN). Ada juga pejabat polisi dan menteri.
Nama-nama itu antara lain Mohamad Hekal, Da’i Bachtiar, Edi Yosfi, Vence Rumangkang, Jackson Kumaat, Alwi Abdurrahman Shihab, dan Tommy Sagiman.
Baca juga: Kesepakatan Rahasia Hancurkan Hutan Papua, Berikut Foto dan Videonya
Mohamad Hekal, anggota DPR Ri 2014 sampai sekarang mewakili Partai Gerindra. Saat ini duduk di Komisi VI yang bertanggung jawab di bidang investasi. Bersama pengusaha Chairul Anhar, Mohamad Hekal adalah tokoh sentral di Menara Group, dengan perusahaan memperoleh izin-izin penting dan SK pelepasan hutan untuk tujuh konsesi antara 2007 dan 2013.
Da’i Bachtiar, mantan Kapolri 2001 sampai 2005. Dia Duta Besar Indonesia untuk Malaysia pada 2008-2012. Da’i Bachtiar bergabung dengan dewan direksi Tadmax Resources Bhd sesaat sebelum grup ini membeli dua perusahaan perkebunan dari Menara Group. Dia juga dilaporkan terkait Menara Group.
Edi Yosfi, dari Partai Amanat Nasional (PAN). Tiga perusahaan yang dikendalikan oleh Edi Yosfi mendapatkan izin lokasi di Boven Digoel pada 2012 saat sudah aktif di Partai yang sama dengan Menteri Zulkifli Hasan.
Vence Rumangkang, salah satu pendiri Partai Demokrat, partai mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Setelah beberapa perusahaan Menara Group gagal mengembangkan perkebunan, Bupati Boven Digoel, Yesaya Merasi, memutuskan menerbitkan kembali izin konsesi kepada perusahaan-perusahaan baru. Tiga perusahaan milik Vence Rumangkang dan keluarga mendapat izin lokasi bar– terjadi kurang dari tiga minggu sebelum Yesaya Merasi mencalonkan diri untuk pemilihan ulang.
Jackson Kumaat, pernah menjadi anggota Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat Sebuah perusahaan di mana Jackson Kumaat adalah pemegang saham mayoritas, PT Tolitoli Primanusa Resources, mendapat persetujuan prinsip untuk IUP pada 2016.
Alwi Abdurrahman Shihab, mantan Ketua Partai Kebangkitan Nasional. Pada Juni 2015 dia juga ditunjuk sebagai Utusan Khusus Presiden untuk Timur Tengah dan Organisasi untuk Kerja Sama Islam, sebuah jabatan setingkat menteri. Dia jadi Komisaris Utama di perusahaan eks-Menara Group, PT Megakarya Jaya Raya (MJR) dan PT Energi Samudera Kencana (ESK) pada 31 Mei 2018. Shihab tetap berada di jajaran direksi MJR dan ESK selama hampir satu tahun, lalu mengundurkan diri pada 23 Mei 2019.
Tommy Sagiman, pensiunan jenderal polisi. Tommy Sagiman jadi Wakil Kepala Badan Narkotika Nasional dari 2009-2012. Pada 31 Mei 2018, Tommy menjadi komisaris di dua bekas perusahaan Menara Group lain yang diduga dimiliki Hayel Saeed Anam Group, PT Kartika Cipta Pratama (KCP) dan PT Graha Kencana Mulia (GKM), dan tetap menjadi dewan direksi kedua perusahaan ini.
“Relasi antara oligarki yang terlibat dalam industri sumber daya alam dengan perusahaan, tidak saja menghasilkan perusahaan individu yang mendapat untung, dengan mengeksploitasi kelemahan dalam sistem regulasi berkat pengaruh sekutu mereka, juga melemahkan seluruh sistem tata kelola sumber daya alam.”
Para spekulan
Greenpeace juga menduga ada spekulan di balik perusahaan-perusahaan yang telah mendapat izin di Papua. Dari 37 perusahaan sudah mendapat izin di Papua, hanya 11 yang sudah beroperasi. Sekitar 26 lain konsesi masih berhutan dan tidak ada pembangunan perkebunan berarti. Sebanyak 24 perusahaan sudah mendapat izin pelepasan kawasan hutan lebih dari tiga tahun lalu.
“Tiga tahun laluizin-izin sudah keluar tetapi tidak dikembangkan, hanya jadi land banking. Sebenarnya ini celah sangat mudah dimanfaatkan karena akan jadi celah transaksi.”
Arie bilang, pemerintah harus mengevaluasiizin-izin ini. Di Papua Barat, pemerintah sudah mereview izin dan merekomendasikan pencabutan izin perusahaan yang tidak beraktivitas.
“Harapannya, Papua juga mengikruti progrres Papua Barat karena sebenarnya masih banyak sekali izin-izin diterlantarkan.”
Dari 32 perusahaan yang izin pelepasan kawasan hutan sejak 2010, hanya 13 (41%) memiliki latar belakang perkebunan, 19 lain tidak terbukti memiliki pengalaman pernah mengoperasikan perkebunan.
“Ini celah yang sering dimanfaatkan broker karena mendapat keuntungan dalam proses ini. Seharusnya, pemerintah tahu dari awal dalam proses perizinan hingga bisa mendeteksi mereka benar untuk izin perkebunan atau hanya jadi calo perizinan.”
Empat kasus di Papua, terjadi jual beli izin ini antara lain Menara Grup, Pusaka Agro Sejahtera, Mega Masindo Grup, dan Kim Nam Ku, warga Korea dengan izin-izin yang dikuasai kemudian dijual ke Korindo.
Menurut Arie, berbagai pelanggaran ini menunjukkan, klaim pemerintah soal keberhasilan mempertahankan kawasan hutan sekedar di atas kertas. Pemerintah gagal lindugi hutan alam Papua dan hak-hak masyarakat adat Papua.
Ke depan, katanya, tantangan mempertahankan kawasan hutan makin besar dengan melihat masalah transparansi data dan proses perizinan, maupun omnibus law yang mengkonsolidasi kekuatan oligarki. Juga, katanya, program food estate yang merampas tanah, kegagalan memantau pemilik manfaat dan terus dapat dukungan internasional meski Indonesia gagal melindungi hutan.
Evaluasi dan cabut izin di hutan alam
Niko Wamafma, juru kampanye hutan Papua Greenpeace Indonesia mengatakan, pemerintah harus menghentikan proses operasi perusahaan yang mendapat izin pelepasan kawasan hutan dan lakukan evaluasi. Pemerintah, katanya, hendaknya mencabut izin-izin perusahaan yang terbukti terbit di atas hutan alam.
Perusahaan maupun pejabat dan pihak terkait yang terbukti melanggar saat mengurus izin pelepasan kawasan hutan sebagaimana tampak dalam laporan ini harus diberi sanksi tegas. Selain itu, katanya, terpenting menempatkan masyarakat adat sebagai aktor utama yang mengelola tanah dan hutan. Hak pengelolaan oleh masyarakat adat sudah diakui dalam UU otonomi Khusus Papua No 21/2021.
“Itu mengapa dalam setiap kesempatan kita selalu bicara, Papua itu bukan tanah kosong. Pemerintah melihat Papua jangan hanya lihat hutan, tahan dan sumber daya alam. Pulau yang 41 juta hektar itu ada lebih dari 250 suku hidup di atas tanah itu.”
Mongabay berusaha menghubungi berbagai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk menanggapi laporan Greenpeace ini. Hingga berita ini terbit, belum ada tanggapan.
*****
Foto utama:
Aktivis Greenpeace aksi di depan Kantor KLHK Jakarta. Laporan terbaru Greenpeace menyebutkan, sepanjang 2000-2019, sekitar 168.471 hektar hutan primer di Papua berubah jadi izin perkebunan sawit. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace