Mongabay.co.id

Pengawasan Terintegrasi untuk Penangkapan Ikan Terukur Mulai Awal 2022

 

Rencana menerapkan kebijakan penangkapan terukur pada awal 2022 dipastikan bukan sekedar wacana lagi. Kebijakan yang menjadi bagian dari program ekonomi biru itu, nantinya akan didukung pengawasan terintegrasi dengan menggabungkan sumber daya manusia, sarana, dan sistem teknologi pengawasan.

Sistem pengawasan dengan terintegrasi tersebut, diklaim akan menjdi senjata Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam mengawal tiga program terobosan ekonomi biru, salah satunya adalah kebijakan penangkapan ikan terukur.

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan, elemen sumber daya manusia (SDM) menjadi unsur yang sangat penting dalam melaksanakan pengawasan secara terintegrasi. Elemen SDM akan berperan sebagai pengawal ketertiban pelaksanaan aturan tentang kelautan dan perikanan.

“Untuk memastikan bahwa pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan menjadi pengawal kebijakan penangkapan terukur. Itu agar pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan berjalan tertib dan bertanggung jawab,” jelas dia di Bitung, Sulawesi Utara, Selasa (23/11/2021).

Menurut dia, penerapan ekonomi biru yang dilakukan melalui tiga program prioritas, juga menjadi penegas bahwa Indonesia ingin serius untuk mengadopsi prinsip tersebut dalam kegiatan perekonomian sektor kelautan dan perikanan (KP).

Namun, agar kebijakan ekonomi biru menjadi kuat saat dilaksanakan, maka pondasi yang menjadi dasar dari kebijakan tersebut harus dibangun dengan kuat dan kokoh. Cara terbaik untuk proses tersebut, adalah menjadikan prinsip ekologi sebagai panglima dalam pembangunan di sektor KP.

baca : Penangkapan Terukur, Masa Depan Perikanan Nusantara

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Sakti Trenggono (kiri) saat memeriksa pasukan pada upacara pada Apel Siaga Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan yang dilaksanakan di Bitung, Sulawesi Utara, Selasa (23/11/2021). KKP akan melakukan pengawasan penangkapan terukur mulai awal 2022. Foto : KKP

 

Jika setiap pihak yang berkepentingan sudah memahami konsep tersebut, maka setiap pemanfaatan sumber daya KP yang dilaksanakan di wilayah ruang laut Indonesia, harus dijalankan dengan mengedepankan aspek kelestarian dan berkelanjutan.

Trenggono masih terus berharap di masa kepemimpinannya sekarang bisa terlaksana pembangunan sektor KP dengan selalu melaksanakan keberlanjutan ekosistem di laut dan pesisir. Dengan demikian, sektor KP bisa menjadi sektor terdepan penggerak ekonomi bangsa.

Agar bisa melaksanakan pengawasan dengan terintegrasi, KKP sudah membangun teknologi kontra illegal fishing yang di dalamnya mencakup teknologi vessel monitoring system (VMS), satelit Radarsat-2, dan Cosmo Skymed yang bertugas menjadi mata bagi KKP.

Teknologi terakhir yang disebut, dalam operasionalnya dikendalikan langsung oleh Pusat Kendali Pengawasan Sumber daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) di Jakarta, dan stasiun lapangan (ground station) yang markasnya ada di pulau Bali.

Selain ketiga teknologi tersebut, ada juga sistem identifikasi otomatis (AIS), pengawasan matra udara (airborne surveillance), dan sistem peringatan geofencing (warning system geofencing). Sistem berbasis citra satelit dan pengolahan data spasial inilah yang menjadi metode pengawasan penangkapan terukur di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI).

baca juga : Penangkapan Ikan Terukur, Bisa Tekan Laju Perubahan Iklim

 

Pasukan pengawas dari KKP pada upacara pada Apel Siaga Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan yang dilaksanakan di Bitung, Sulawesi Utara, Selasa (23/11/2021). KKP akan melakukan pengawasan penangkapan terukur mulai awal 2022. Foto : KKP

 

Tentang kebijakan penangkapan ikan terukur yang akan dimulai pada awal 2022 mendatang, Trenggono menyebutkan bahwa saat ini sudah ditetapkan zona penangkapan ikan berbasis kuota untuk komersial dan nelayan tradisional.

“Di setiap zona penangkapan ikan akan ditentukan kawasan konservasi untuk spawning dan nursery ground (zona tempat melaksanakan pemijahan dan pembibitan). Penangkapan berbasis kuota ini juga akan dilaksanakan di WPP 716 dan 717,” jelasnya.

Adapun, Cakupan WPPNRI 716 adalah meliputi perairan Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera, dan cakupan WPPNRI 717 adalah meliputi perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik. Kedua WPPNRI tersebut menjadi percontohan untuk penerapan kebijakan tersebut.

Menurut dia, pemilihan dua WPPNRI tersebut sebagai kawasan percontohan untuk kebijakan penangkapan ikan terukur, adalah karena di kedua WPPNRI tersebut sampai saat ini masih marak aktivitas penangkapan ikan secara ilegal, dan bahan baku industri perikanan yang masih sedikit.

Kedua tantangan tersebut diharapkan bisa menjadi pemicu bagi para pihak yang terlibat untuk bisa mendorong roda perekonomian terus bergerak. Dengan demikian, distribusi pertumbuhan ekonomi menjadi lebih merata di kawasan pesisir.

Selain itu, kebijakan tersebut diterapkan, juga untuk meningkatkan daya saing produk perikanan di pasar global, dan meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNB) dari sektor perikanan dan kelautan hingga mencapai target Rp12 triliun.

“Selain itu, juga untuk mendongkrak kesejahteraan nelayan tradisional dan anak buah kapal (ABK),” ucap dia.

perlu dibaca : Penangkapan Terukur dan Penerapan Kuota Apakah Layak Diterapkan?

 

Proses pengolahan ikan menjadi produk ikan kaleng di salah satu industri pengalengan ikan di Banyuwangi. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Terintegrasi

Dengan harapan yang demikian besar, KKP melaksanakan kebijakan penangkapan ikan terukur disertai pengawasan yang terintegrasi. Kegiatan tersebut dilaksanakan dengan memanfaatkan teknologi untuk penguatan armada pengawasan.

Teknologi juga dipakai untuk meningkatkan operasi pengawasan yang memadai di seluruh wilayah perairan yang dinilai rawan. Dalam kegiatan ini, pelibatan aparat penegak hukum dan pemerintah daerah menjadi fokus agar tercipta sinergi pengawasan yang terintegrasi.

“Ini yang menjadi kunci dan kesiapsiagaan kita dalam mengawal sumber daya kelautan dan perikanan Indonesia,” ujarnya.

Dengan mengoptimalkan segala potensi yang ada, penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur juga diyakini bisa mendorong perputaran uang hingga mencapai Rp281 trilun setiap tahun. Potensi ekonomi tersebut akan menyerap tenaga kerja di sektor KP, dan menciptakan distribusi pertumbuhan daerah.

Menurut Trenggono, potensi ekonomi tersebut menjadi bagian dari efek berganda bagi pembangunan nasional. Mengingat, kebijakan tersebut juga diyakini akan mendorong Indonesia bisa mewujudkan ketahanan pangan.

Efek berganda lain yang muncul, adalah mendorong terciptanya peluang investasi pada aktivitas primer dan sekunder dari penangkapan ikan, pengelolaan pelabuhan, dan industri perikanan. Semua potensi tersebut akan mendapat dukungan dari infrastruktur dan sistem pendaratan ikan yang baik.

“Saya berharap, dengan adanya fakta bahwa sektor perikanan ternyata memiliki peluang nilai yang besar, maka akan mendorong hadirnya investor dalam aktivitas penangkapan ikan ini,” ungkap dia.

Dalam praktiknya nanti, suplai pasar untuk domestik dan ekspor akan bisa dilakukan langsung dari pelabuhan utama yang menjadi tempat pendaratan ikan, ataupun dari pelabuhan hub yang berada di WPPNRI terkait.

“Kapal angkut yang digunakan harus dilengkapi dengan container dingin,” tambah dia.

baca juga : Menanti Model Penangkapan Ikan Terukur Diterapkan di Laut Nusantara

 

Perahu yang terparkir karena cuaca buruk di kawasan Tempat Pelelangan Ikan Ngaglik, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban, Jatim pada awal Maret 2020. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Diketahui, kebijakan penangkapan ikan terukur adalah pengendalian yang dilakukan dengan menerapkan sistem kuota (catch limit) kepada setiap pelaku usaha dan telah diterapkan di beberapa negara maju seperti Uni Eropa, Islandia, Kanada, Australia dan Selandia Baru.

Kebijakan tersebut akan memberikan batasan untuk area penangkapan ikan, dan jumlah ikan dengan memberlakukan sistem kuota melalui kontrak penangkapan untuk jangka waktu tertentu, musim penangkapan ikan, dan jenis alat tangkap.

Juga, memberlakukan pelabuhan perikanan sebagai tempat pendaratan/ pembongkaran ikan, suplai pasar domestik, dan ekspor ikan harus dilakukan dari pelabuhan di WPP yang ditetapkan. Adapun, kuota penangkapan sendiri ditentukan berdasarkan kajian dari Komite Nasional Pengkajian Stok Ikan (Komnas Kajiskan) dan organisasi pengelolaan perikanan regional (RFMO).

“Akan diberikan kepada pelaku usaha atau nelayan dengan pembagian kuota untuk nelayan tradisional, kuota untuk tujuan komersial, dan kuota untuk tujuan non komersil,” tegas dia.

Terakhir, penerapan kebijakan tersebut juga untuk menghentikan penangkapan ikan berlebihan (overfishing) yang mengancam populasi perikanan, dan sekaligus menghapus praktik penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tak sesuai regulasi (IUUF) dan mengubahnya menjadi praktik legal, dilaporkan, dan sesuai regulasi (LRRF).

Sebelumnya, Direktur Jenderal PSDKP KKP Adin Nurawaludin menjelaskan bahwa pihaknya sudah menyusun strategi pengawasan jika penerapan kebijakan penangkapan terukur mulai berjalan pada awal 2022.

Strategi yang sudah disiapkan itu, di antaranya adalah pengawasan sejak dari sebelum kegiatan penangkapan ikan (before fishing), saat sedang melaksanakan kegiatan penangkapan ikan (while fishing), selama pendaratan hasil tangkapan ikan (during landing), dan setelah pendaratan hasil tangkapan ikan (post landing).

perlu dibaca : Tren Gaya Hidup Dunia dan Perikanan Berkelanjutan

 

Kapal Pole and Line (Huhate) milik nelayan desa Pemana kecamatan Alok Timur kabupaten Sikka yang berbobot 30 GT ke atas. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Pembiayaan Ekonomi Biru

Dalam melaksanakan program ekonomi biru dan pembangunan berkelanjutan di Indonesia, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) bekerja sama dengan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) dan forum negara Archipelagic Island States (AIS).

Bersama dua lembaga tersebut, Kemenko Marves menyusun rancangan dokumen strategis ekonomi biru (blue financing strategic document/BFSD) yang sudah dilaksanakan sejak 2019. Dokumen tersebut disusun untuk menjadi panduan umum pembiayaan ekonomi biru dalam pelaksanaan proyek biru.

Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Marves Basilio Dias Araujo menjelaskan, dokumen tersebut diharapkan bisa mendefinisikan instrumen apa saja dalam keuangan biru yang bisa selaras dengan sektor publik dan juga swasta.

Jika dokumen BFSD sudah diterbitkan, diharapkan Indonesia bisa menerbitkan surat utang berwawasan kelautan (blue bond). Potensi itu akan sangat besar bisa terwujud dan menjadi peluang baru yang harus dimanfaatkan dengan baik.

 

Exit mobile version