Mongabay.co.id

Butuh Kolaborasi Menahan Laju Kepunahan Spesies dan Budaya di Indonesia Timur

 

Masyarakat adat yang tinggal di bagian timur Indonesia menghadapi ancaman berupa gelombang invasi dari luar berbungkus investasi dan pemberian konsesi kepada korporasi besar. Hal ini membuatnya sangat rentan terhadap kepunahan spesies, budaya dan bahasa.

“Dengan karakteristik biologi dan sosiologi yang sedemikian spesifik, mereka berhadapan dengan gelombang invasi dari luar memang akan terasakan besar dampaknya di lapangan,” ungkap Abdon Nababan, Wakil Ketua Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Nasional, dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Sajogjo Institute, Selasa (4/12/2021).

Menurut penerima Ramon Magsaysay Award 2017 itu, pembangunan di Indonesia timur semestinya tidak sama dengan bagian Indonesia lainnya. Pendekatan di Indonesia timur haruslah didasarkan pada keragaman budaya yang basisnya suku-suku dan harus dipastikan berbasis pada hak adat.

Selama ini pembangunan di Indonesia timur diperlakukan sama dengan bagian Indonesia yang lain. Salah satu contoh dalam hal penguasaan tanah dimana pemerintah membangun sistem konsesi yang dimulai dengan penguasaan teritorial terhadap wilayah adat, dengan cara memasukkannya sebagai kawasan hutan.

“Pemerintah melalui kebijakan satu peta yang kita kenal sebagai PGHK 1980-an memasukkan wilayah-wilayah di Indonesia timur itu sebagian besar masuk dalam kawasan hutan yang kemudian memberikan konsesi-konsesi.”

baca : Kepungan Konsesi dalam Semangat Konservasi di Tanah Papua

 

Tercatat lebih dari 300 suku yang ada di Papua dengan keragaman dan karakternya masing-masing. Namun kini mengalami kondisi keberancaman seiring dengan masuknya investasi dan pemberian konsesi kepada korporasi besar oleh negara. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Abdon menjelaskan adanya sebuah peta yang menunjukkan bahwa sebagian tanah Papua sudah tumpang tindih izin usaha, sehingga hampir tidak ada tempat lagi bagi masyarakat. Izin-izin konsesi itu selalu ada meskipun perusahaannya tidak beroperasi.

“Diyakini 90 persen hutan Papua masih bagus meskipun semuanya dibebani dengan izin-izin.”

Menurutnya, izin-izin yang terlihat pasif saat ini setiap saat bisa menjadi aktif dan menimbulkan masalah yang semakin besar. Dicontohkan kasus di Maluku Utara, yang tiba-tiba muncul izin operasi tambang, tanpa sepengetahuan masyarakat bahwa wilayah mereka masuk dalam konsesi.

“Ini keadaan yang banyak dihadapi Indonesia timur dimana banyak konsesi masuk tapi masyarakat tidak tahu bahwa wilayahnya sudah dikonsesikan oleh pemerintah di Jakarta dan ini terjadi terus menerus,” tambahnya.

Menurut Abdon, kehadiran UU Cipta Kerja kemudian memperparah kondisi yang ada dan akan lebih banyak menimbulkan masalah di Indonesia timur. Dengan memberi kemudahan masuknya investasi ke wilayah-wilayah adat akan memberikan tekanan yang lebih besar kepada masyarakat adat.

“Tekanan akan semakin besar, karena tanpa UU ini saja kawasan-kawasan ini sudah dipenuhi oleh izin-izin, dan sampai hari ini review terhadap izin-izin dan hak pemberian selama Orba dan Orde Reformasi ini belum pernah dilakukan, baru dilakukan dengan skala kecil oleh KPK seperti di Kabupaten Sorong, yang kemudian mendorong bupati Sorong untuk mencabut izin dan itu pun mendapatkan perlawanan dari pemilik konsesi.”

Dengan adanya UU ini, lanjutnya, potensi kepunahan spesies akan semakin besar, begitu juga dengan kepunahan kebudayaan dan bahasa, termasuk membuat insensitas pelanggaran HAM akan semakin tinggi.

baca juga : Sidang Bupati Sorong vs Perusahaan Sawit: Menanti Putusan yang Berpihak Masyarakat Adat Papua

 

Perempuan Suku Moi Kelim di Kabupaten Sorong, Papua Barat sedang menganyam dari bahan yang berada di hutan. Investasi tidak hanya berupa akumulasi modal, upaya masyarakat adat dengan menjaga hutannya dan mengembangkan kearifan lokal dan keserasian hidup itu juga sebuah investasi yang tak ternilai. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Karakter Unik Manusia dan Budaya Indonesia Timur

Menurut Abdon, masyarakat adat yang hidup di kawasan timur Indonesia masih menyimpan banyak misteri dalam hal alam dan kebudayaanya. Dengan peradaban yang telah berumur 5.000 tahun, mereka masih eksis dan bekerja dalam kehidupan sehari-hari, dimana sistem adat masih begitu dan sangat kuat terikat dengan alam.

“Masih sangat kuat ketergantungan makanan, minuman, obat-obatan secara langsung kepada alam. Mereka tidak terpisahkan dari alam sehingga menjadi motivasi untuk menjaga dan merawat alamnya dengan keragamanhayatinya. Masyarakat masih menunjukkan pengetahuan terkait alam yang kemudian memandu praktik-praktik hidup mereka,” ungkapnya.

Berbicara tentang pengalamannya berinteraksi dengan masyarakat adat di Indonesia timur, Abdon menjelaskan temuannya bagaimana kelembagaan adat di Papua dan Maluku sangat nyata mengatur bagaimana mereka mengelola alam di sekitarnya. Dalam hal ini terdapat institusi yang secara khusus mengatur dan mengurus alam yang mereka punya di wilayah-wilayah adat.

“Mereka punya institusi sendiri yang mengatur sendiri soal tanah. Di Maluku misalnya terdapat pejabat adat yang khusus mengurusi tanah yang disebut Tuan Tanah. Tuan Tanah di bukan seperti landlord dalam kajian-kajian sosiologis, namun lebih mirip sebagai pejabat BPN, yang mengatur bagaimana tanah-tanah itu akan digunakan oleh warga di komunitas-komunitas adat.”

Konsep kepemilikan yang hidup di masyarakat adat di Indonesia timur juga sangat kental dengan hak kolektif komunal. Dimana sangat dominan ditemukan bahwa pemilik tanah atau wilayah, pemilik tanah air adalah leluhur mereka.

“Jadi, yang hidup itu tidak memiliki hak atas tanah, laut atau sungai tetapi milik leluhur. Konsep dasarnya, bahwa tanah, air, laut, sungai, danau, adalah milik leluhur yang kemudian mempercayakan kepada orang hidup untuk menjaganya agar bisa dilanjutkan ke generasi-generasi berikutnya.”

perlu dibaca : Walhi: Hutan dan Masyarakat Adat Papua Terancam Proyek Food Estate

 

Eliza Marthen Kissya mengabdi untuk lingkungan di Negeri Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Foto: Facebook Eliza Kissya

 

Menurut Abdon, hubungan antara bumi dan budaya sangat erat sekali sehingga ketika ingin menyelamatkan keragaman hayati di Indonesia Timur maka penyelamatnya lah yang harus diindungi.

“Kita tak bisa lagi menggunakan pendekatan lama melalui Jagawana atau kekuatan-kekuatan negara lainnya yang hanya akan membuang-buang energi.”

Abdon kemudian menjelaskan lima ciri khusus masyarakat adat di wilayah timur Indonesia yang disebutnya sebagai ‘manusia sejati’.

Pertama, mereka menjaga konektivitasnya dengan Sang Pencipta melalui berbagai macam istilah. Kedua, memiliki keterhubungan dengan leluhur sangat kuat, dimana hampir segala hal dalam kehidupan kolektif komunal mereka dihubungkan dengan leluhur.

Ketiga, mereka sangat masih kuat keterikatannya dengan alam semesta, dengan tanah airnya, dengan ibu pertiwinya, alamnya, tanahnya, danaunya, lautnya, kuat sekali. Dan keterhubungan ini dirawat dengan sangat baik. Selain itu, hubungan mereka dengan manusia-manusia yang lain.

Keempat, sistem kekerabatan di Indonesia timur sangat kuat, yang mengatur berbagai hal bagaimana mereka berinteraksi, menyelesaikan konflik, menjaga harmoni dan lain-lain.

“Kekerabatan-kekerabatan ini berbeda antara satu tempat dengan tempat lain, namun intinya adalah mereka punya cara-cara untuk menjaga kolektivitas sebagai kesatuan-kesatuan sosial.”

Kelima, manusia sejati di Indonesia timur memiliki karakter menghargai atau memberikan tempat yang semestinya bagi seluruh makhluk, baik itu yang kelihatan maupun yang tidak.

 

Optimisme dan Kolaborasi

Di tengah tekanan yang besar bagi masyarakat, Abdon melihat ada optimisme dengan adanya sejumlah cerita kemenangan dalam perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah teritorirya. Terdapat sejumlah tokoh pemberani yang berhasil mempertahankan wilayah adatnya dari ancaman konsesi-konsesi ini.

Ia mencontohkan perjuangan Eli di pulau Haruku yang mengusir tambang di wilayah adatnya. Lalu ada juga Mama Aleta di NTT yang berhasil mengusir tambang marmer di wilayahnya. Ada juga Save Aru yang berhasil menghentikan masuknya konsesi peternakan, dll.

“Dari cerita-cerita keberhasilan di Indonesia timur saya merasa bahwa manusia-manusia sejati ini memiliki kekuatan budaya mengorganisir, karena pada dasarnya masyarakat adat itu terorganisir di dalam sistem adat. Hanya saja model pengorganisasian yang pas untuk menggerakkan energi sosial ini butuh inovasi-inovasi untuk membangkitkan energinya melawan dan menghadapi ancaman yang semakin besar di masa depan.”

Abdon yakin bisa lebih terkonsolidasi menggunakan kekuatan-kekuatan masyarakat adat yang telah tertempa ribuan tahun menghadapi penaklukan teritori melalui berbagai hukum-hukum negara. Harus ada upaya perlawanan yang lebih masif dan terstruktur, sistematis menghadapi situasi-situasi tersebut.

“Saya yakin kita bisa lakukan dengan kerja sama kolaborasi, bertukar pikiran terus menerus, kita masih bisa menahan laju kepunahan spesies, bahasa, budaya-budaya suku yang ada di Nusantara khususnya di Indonesia timur.”

 

Exit mobile version