- Gugatan tiga perusahaan sawit kepada Pemerintah Kabupaten Sorong yang telah mencabut perizinan mereka memasuki babak akhir. Persidangan demi persidangan di PTUN Jayapura sudah berjalan, antara lain, perkara ada yang agenda putusan 7 Desember ini.
- Pencabutan izin tiga perusahaan ini merupakan tindak lanjut hasil evaluasi izin sawit di Papua Barat. Evaluasi sesuai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8/2018, Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) inisiasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Deklarasi Manokwari.
- Victor Manengkey, ahli hukum dari Universitas Cenderwasih mengatakan, Peraturan Perundangan dan Asas Umum Pemerintahan yang baik hanya dipakai ketika mencabut izin-izin yang masih berlaku. Kalau sudah tidak berlaku, pemerintah bisa langsung mencabut karena dengan sendirinya izin itu sudah tidak sah.
- Ada empat dokumen sahabat peradilan (amicus curiae) yang dikirim ke hakim PTUN Jayapura oleh tujuh lembaga. Ada Perkumpulan Hukum dan Masyarakat Adat (HuMA), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) masing-masing kirimkan satu dokumen. Kemudian Greenpeace Indonesia, Yayasan Pusaka, Walhi Papua, dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sorong Raya menggabungkan pertimbangan dalam satu dokumen bersama.
Sidang gugatan tiga perusahaan sawit terhadap Pemerintah Kabupaten Sorong, Papua Barat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura hampir babak akhir. Masing-masing pihak sudah menyerahkan bukti surat, menghadirkan saksi fakta, dan ahli hukum di persidangan.
Tiga perusahaan yang menggugat yakni, PT Inti Kebun Lestari (IKL), PT Sorong Agro Sawitindo (SAS), dan PT Papua Lestari Abadi (PLA). Mereka keberatan atas pencabutan izin lokasi, izin lingkungan, dan izin usaha perkebunan (IUP).
Berdasarkan izin lokasi, total luas izin tiga perusahaan ini mencapai 90.031 hektar menyebar di Distrik Segun, Salawati, Klawak, dan Klamono Kabupaten Sorong.
IKL menggugat Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (PMPTSP) atas SK pencabutan izin lokasi dengan perkara Nomor 29/G/2021/PTUN.JPR. Gugatan IKL pada Bupati Sorong atas pencabutan izin lingkungan dan IUP dalam perkara 30/G/2021/ PTUN.JPR
Hakim perkara dua gugatan ini adalah Yusuf Klemen, Firman, dan Muhammad Bima Sakti. Sidang perkara ini masih menyisakan keterangan dari tergugat pada 7 Desember 2021.
SAS dan PLA menggugat Bupati Sorong atas surat keputusan pencabutan izin lokasi, izin lingkungan, dan IUP. Gugatan dua perusahaan grup Mega Masindo ini berturut-turut terdaftar dengan Nomor 31/G/2021/PTUN.JPR dan 32/G/2021/PTUN.JPR.
Hakim kasus gugatan SAS adalah Masdin, Simson Seran, dan Aditya Permana Putra. Untuk hakim perkara PLA adalah Masdin, Simson Seran, dan Muhamad Amin Putera. Putusan sidang kasus ini rencana 7 Desember 2021.
Dalam persidangan di PTUN ini menguji keputusan pencabutan ini sudah sesuai peraturan, baik wewenang, prosedur, maupun substansi.
Baca juga: Dukung Bupati Sorong, Koalisi: Kembalikan Hak-hak Masyarakat Adat
***
Pencabutan izin tiga perusahaan ini merupakan tindak lanjut hasil evaluasi izin sawit di Papua Barat. Evaluasi sesuai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8/2018, Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) inisiasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Deklarasi Manokwari.
Evaluasi mulai 2018. Dari hasil evaluasi, Pemerintah Papua Barat merekomendasikan pencabutan izin 16 perusahaan. Empat ada di Kabupaten Sorong.
Dalam dokumen hasil evaluasi, terungkap pelanggaran izin perusahaan-perusahaan ini karena tak memenuhi semua kewajiban dalam IUP.
Untuk IKL, selain tak memenuhi kewajiban IUP, tim juga menemukan kejanggalan pada penerbitan SK perpanjangan izin lokasi dan IUP. IKL dan dua perusahaan lain, yaitu PT Inti Kebun Lestari dan PT Inti Kebun Sejahtera, bagian grup Kayu Lapis Indonesia yang beroperasi di Kabupaten Sorong. Pada 2020, Grup Kayu Lapis Indonesia menjual tiga perusahaan ini ke Ciliandry Anku Abadi (CAA) dan tak dilaporkan ke pemerintah.
Sebagai dasar rekomendasi pencabutan, tim evaluasi menggunakan diktum dalam SK IUP yang menyatakan, dalam hal perusahaan tidak memenuhi kewajiban dalam IUP, maka IUP dicabut.
Di Kabupaten Sorong, pemerintah kemudian membentuk tim evaluasi merespon rekomendasi seluruh dari provinsi. Dari hasil kerja tim itu, pada 27 April 2021, terbit surat keputusan pencabutan izin lokasi, izin lingkungan, dan IUP. Dari empat perusahaan yang dicabut, tiga menggugat di PTUN Jayapura.
Dalam dokumen gugatan, perusahaan-perusahaan ini menyatakan, keputusan pencabutan izin-izin ini menyalahi aturan perundang-undangan dan asas umum pemerintahan yang baik dari segi wewenang, prosedur maupun substansi.
Terkait belum terpenuhi kewajiban dalam IUP, ketiganya pakai ketentuan Pasal 16 UU No. 39/2014 tentang Perkebunan, sebelum maupun setelah diubah dengan UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja.
Baca juga: Izin Dicabut, Perusahaan Sawit Gugat Hukum, Pemerintah Sorong Banjir Dukungan
Aturan ini menyatakan, pembukaan lahan setelah pemberian status hak atas tanah. Mereka berpendapat bahwa kewajiban dalam IUP tidak bisa bisa dilakukan karena belum memperoleh HGU. HGU hanya bisa didapat kalau sudah memperoleh tanah dalam hal ini pelepasan hak ulayat dari masyarakat adat.
Mereka juga mempersoalkan sanksi pencabutan yang tidak bertahap. Dalam hal pencabutan IUP, misal, Pasal 51 ayat (1) dan (3) Permentan No.98/Permentan/OT.140/9/2013 mengatur prosedur bahwa dalam pencabutan izin harus didahului pemberian peringatan tertulis sebanyak tiga kali masing-masing dalam tenggang waktu empat bulan. Tergugat tidak pernah memberikan sanksi peringatan tertulis kepada penggugat, tetapi langsung menerbitkan sanksi pencabutan IUP.
Dalam hal izin lingkungan, Pasal 38 UU No. 23/2009, menyatakan selain ketentuan dalam Pasal 37 ayat (2), izin lingkungan dapat dibatalkan melalui Keputusan PTUN.
Peraturan lain, Pasal 25 Peraturan Menteri Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 17/2019 tentang Izin Lokasi. Disebutkan pencabutan harus berdasarkan rekomendasi Tim Pemantauan dan Evaluasi Izin Lokasi dan bukan Tim Perizinan Usaha Perkebunan Sawit.
Mereka juga menyatakan, keputusan-keputusan ini menyalahi UU No.30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan Pasal 7 ayat (2) huruf f dan g. Bunyinya, kewajiban memberikan kesempatan kepada warga untuk didengar pendapatnya sebelum membuat keputusan dan, atau tindakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Keterangan saksi
Dalam gugatan kepada Kepala Dinas PMPTSP dan Bupati Sorong, kuasa hukum IKL menghadirkan tiga saksi fakta, yaitu Markus Soisa, Bejo Santosa, dan Fredy Ibo.
Markus Soisa adalah pengacara di Kabupaten Sorong yang sempat diminta perusahaan untuk sosialisasi dengan masyarakat. Bejo Santosa bagian dari manajemen grup CAA. Sedangkan Fredy Ibo, mantan karyawan. Ketiga menjelaskan kewajiban administrasi yang sudah dipenuhi perusahaan dan upaya mereka sosialisasi kepada masyarakat untuk memperoleh tanah ulayat.
Sementara gugatan kepada Kadis PMPTSP dan Bupati Sorong oleh SAS dan PLA, kuasa hukum tidak menghadirkan satu pun saksi fakta.
Sebaliknya, IKL, kuasa hukum Pemerintah Sorong menghadirkan saksi fakta Manase Fadan dan Ruben Malaukabu. Manase Fadan menyatakan pernah ditemui utusan perusahaan tetapi menolak memberikan hak ulayat. Ruben Malakabu menyatakan serupa, tidak pernah memberikan persetujuan pelepasan lahan kepada IKL.
Dalam kasus SAS pada Bupati Sorong, kuasa hukum Pemerintah Sorong menghadirkan Sam Klafiu, Seljun Kayaru dan Calvin Sede dari Kampung Gisim dan Gideon Kilme dari Kampung Tarsa, Distrik Konhir.
Sam Klafiu mengatakan, saat awal 2000-an perusahaan datang meminta izin penggunaan hak ulayat, Marga Kalfiu sudah menolak. Penolakan dalam bentuk sumpah adat.
Sekampung dengan Sam Klafiu, Seljun Kayaru dan Calvin Sede menyatakan, orang tua dari kedua marga itu pernah menyatakan persetujuan menerima perusahaan. Perusahaan sudah memberikan sejumlah uang ikatan. Namun sejak perjanjian dibuat hingga izin dicabut Bupati Sorong, perusahaan tidak pernah datang atau berkomunikasi lagi dengan masyarakat.
Meski wilayah masuk izin lokasi. Gideon Kilme tidak pernah didatangi perusahaan utnuk meminta persetujuan penggunaan hak ulayat buat perkebunan sawit. Dia baru mengetahui tanah ulayatnya masuk izin lokasi setelah mendapat informasi dari Lembaga Musyarawara Adat (LMA) Kabupaten Sorong pasca izin dicabut.
Untuk gugatan PLA kepada Bupati Sorong, kuasa hukum Pemerintah Kabupaten Sorong menghadirkan Hendrik Malalu dari Kampung Waimon.
Hendrik mengatakan, perusahaan baru datang membuat perjanjian penggunaan hak ulayat dan memberikan sejumlah uang kepada marga di Kampung Waimon pada 2021, pasca izin dicabut Bupati Sorong.
Melengkapi saksi dari masyarakat adat, kuasa hukum Pemerintah Kabupaten Sorong menghadirkan Benediktus Heri Widjayanto dan Subur. Mereka juga jadi saksi untuk perkara yang lain.
Baca juga: Belasan Izin Kebun Sawit di Papua Barat Dicabut
Benediktus Heri Wijayanto, Kepala Bidang Perkebunan, Dinas Tanaman Pangan, Holtikultura, dan Perkebunan Papua Barat jadi saksi. Dia adalah Ketua Tim Evaluasi Perizinan Sawit di Papua Barat.
Heri mengatakan, latar belakang pembentukan tim, proses dan tahapan evaluasi serta dasar hukum rekomendasi pencabutan. Timnya, memberikan rekomendasi. Keputusaan pencabutan jadi wewenang pemberi izin dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Sorong.
Sedang Subur adalah Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sorong dan anggota tim evaluasi izin sawit di Kabupaten Sorong. Untuk dengan IKL, Subur menyatakan, dalam laporan perolehan tanah ke Kantor Pertanahan Kabupaten Sorong, perusahaan belum memperoleh pelepasan tanah dari masyarakat adat.
Untuk gugatan dari SAS dan PLA, kata Subur , kedua perusahaan tidak pernah melaporkan perolehan tanah ke BPN Kabupaten Sorong. Kedua perusahaan pernah datang mengajukan permohonan HGU pada 2020, namun ditolak karena belum memperoleh pelepasan hak ulayat dari masyarakat adat.
Dari segi waktu, masa berlaku izin lokasi tiga perusahaan ini juga sudah mati.
Dalam gugatan IKL, kuasa hukum Pemerintah Sorong juga menghadirkan saksi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dian Patria adalah Ketua Satuan Tugas Korsup Pencegahan Direktorat wilayah V KPK. Dian menjelaskan secara umum evaluasi izin sawit di Papua Barat.
Dia mengatakan, evaluasi izin sawit Papua Barat adalah turunan dari GNPSDA KPK tingkat nasional. Untuk perkebunan terkait tiga hal, pertama, perbaikan tata kelola perizinan. Kedua, kebijakan satu peta agar perizinan tidak tumpang tindih dan memantau kepatuhan membayar pajak. Ketiga, pengawasan dan pengendalian termasuk pemberian sanksi terhadap pelaku usaha yang tidak mengikuti peraturan berlaku.
Di balik pembiaran terhadap ketidakpatuhan pelaku izin sumber daya alam ada potensi korupsi.
Dari hasil evaluasi izin sawit di Papua Barat, ada 16 perusahaan izin dicabut dengan luas 324.000 hektar, sekitar 70% dari wilayah-wilayah ini masih berupa tutupan hutan.
Sejalan dengan Deklarasi Manokwari, pencabutan izin-izin ini tidak sekadar memberantas korupsi juga menjaga tutupan hutan, memaksimalkan peran masyarakat adat.
Pendapat ahli
Secara umum, para ahli ke persidangan sependapat kalau pencabutan izin apapun harus mengikuti perundang-undangan dan asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).
IKL menghadirkan Totok Sadino sebagai ahli. Totok Sadino adalah akademisi dan konsultan hukum kehutanan dan perkebunan. Totok menjelaskan tahapan perolehan berbagai izin sebelum satu perusahaan menanam sawit.
Soal pencabutan, kata Totok, seharusnya sesuai aturan berlaku. Prosedur pencabutan izin lingkungan misal diatur dalam UU 32/2009 turun dalam PP 27/2012. Di sana, ada tahapan pemberian sanksi, pertama peringatan, kedua paksaan pemerintah, tiga denda administratif, empat pembekuan. Sanksi administrasi lewa berita acara pengawasan.
Pencabutan IUP diatur dalam Permen 98/2019, PP 26/2021 dan Permen Nomor 8/2021.
Kuasa Hukum SAS dan PLA menghadirkan ahli Anton Raharusun. Anton Raharusun adalah dosen hukum Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Biak. Anton berpendapat, Inpres Moratorium Perizinan Sawit Nomor 8/2018 hanya mengamanatkan evaluasi perizinan bukan pencabutan. Sanksi terhadap perusahaan-perusahaan yang melanggar seharusnya mengikuti peraturan perundang-undangan dan asas umum pemerintahan yang baik.
Kuasa hukum Pemerintah Kabupaten Sorong menghadirkan Victor Manengkey, ahli hukum dari Universitas Cenderawasih.
Manengkey bilang, Peraturan Perundangan dan Asas Umum Pemerintahan yang baik hanya dipakai ketika mencabut izin-izin yang masih berlaku. Kalau sudah tidak berlaku, pemerintah bisa langsung mencabut karena dengan sendirinya izin itu sudah tidak sah.
Keputusan pencabutan perlu, katanya, sebagai sebagai dokumen hukum terhadap pejabat yang mencabut.
Karena itu, pengawasan pejabat yang mengeluarkan izin sangat diperlukan. Apalagi izin-izin ini memiliki dampak besar bagi lingkungan dan masyarakat. Pengawasan untuk mengecek apakah izin lokasi yang keluar sudah terpenuhi syarat-syaratnya. Sebaliknya, laporan dari pemegang izin juga penting karena terlambat mengurus izin bukan ada pada pejabat tetapi pada pemegang izin.
Manengkey juga menjelaskan, perkebunan sawit bersifat berantai. Izin bisa terbit oleh berbagai instansi. Pencabutan satu izin, katanya, dengan sendirinya izin-izin lain tidak berlaku efektif.
Bukan sekadar sengketa perizinan
Sistem peradilan Indonesia memberikan kesempatan kepada pihak di luar penggugat dan tergugat untuk memberikan pertimbangan kepada hakim melalui mekanisme sahabat peradilan atau amicus curiae. Amicus curiae bisa diajukan oleh pihak-pihak yang merasa kepentingannya terkait dengan perkara yang sedang disidangkan.
Ada empat dokumen amicus curiae yang dikirim ke hakim PTUN Jayapura oleh tujuh lembaga. Ada Perkumpulan Hukum dan Masyarakat Adat (HuMA), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) masing-masing kirimkan satu dokumen. Kemudian Greenpeace Indonesia, Yayasan Pusaka, Walhi Papua, dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sorong Raya menggabungkan pertimbangan dalam satu dokumen bersama.
HuMA mengatakan, ada ketiadaan atau kekosongan hukum mengenai jangka waktu perolehan hak atas tanah, setelah perusahaan memperoleh izin lokasi dan izin usaha perkebunan. Dengan alasan ketiadaan hukum itu, para tergugat memiliki kewenangan mengeluarkan diskresi dengan menerbitkan keputusan pencabutan.
Elsam menekankan, pada tanggung jawab negara dalam memastikan jaminan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Tindakan pencabutan izin-izin ini merupakan bagian dari perlindungan masyarakat adat mengingat aktivitas perkebunan para penggugat terletak pada hak masyarakat adat sebagaimana dalam Peraturan tentang Otonomi Khusus.
Keputusan para hakim PTUN Jayapura dinilai turut berkontribusi dalam memperbaiki tata kelola industri perkebunan sawit di Indonesia. Juga menentukan hajat hidup Suku Moi yang tinggal berabad-abad dan memanfaatkan hutan Papua untuk penghidupan sehari-hari.
Senada dengan Elsam, ICEL menyatakan keputusan pencabutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, khusus UU Otonomi Khusus Papua yang mengamanatkan Pemerintah Papua dan Papua Barat untuk memanfaatkan lahan terlantar di sana demi kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah Kabupaten Sorong juga dinilai menjalankan mandat dari Inpres No. 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit, serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit. Juga menjalankan rekomendasi KPK dalam program GNPSDA. Pencabutan sesuai asas umum pemerintahan yang baik dan asas-asas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Greenpeace Indonesia, Yayasan Pusaka, Walhi Papua, dan AMAN Sorong Raya menyatakan, perkara ini memiliki dimensi lebih luas dari sekadar sengketa perizinan perusahaan. Di mana, hanya menilai apakah produser penerbitan obyek sengketa sesuai peraturan perundang-undangan, atau menilai kewenangan tergugat dalam mengeluarkan keputusan. Perkara ini juga menyangkut kepentingan publik atas keberlanjutan lingkungan dan keanekaragaman hayati di tanah Papua.
Majelis Hakim PTUN Jayapura diminta menerapkan pertimbangan-pertimbangan penyelamatan lingkungan hidup dan merujuk kepada Keputusan Mahkamah Agung Nomor 36/KMA/SK/II/2013. Juga Keputusan Nomor 37 / KMA / SK / III / 2015 dalam memutuskan perkara.
Para penggugat juga dinilain tidak menghormati hak-hak masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat dalam perolehan berbagai izin. Para penggugat memperoleh izin tanpa memperoleh kesepakatan dari pemilik ulayat terlebih dahulu, ini bertentangan dengan Pasal 43 ayat (4) UU Otonomi Khusus. UU itu mengatur perolehan kesepakatan harus terlebih dahulu didapat sebelum memperoleh izin atau pemberian hak.
Tanah Papua, bukanlah tanah kosong. Setiap tanah di izin konsesi yang dicabut merupakan milik masyarakat hukum adat yang diakui melalui Peraturan Daerah Nomor 10/2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong.
Tindakan pencabutan izin-izin itu sebagai bentuk upaya perlindungan, pemenuhan, penghormatan hak-hak masyarakat adat yang sebelumnya mengalami pelanggaran.
Tigor Hutapea, mewakili empat lembaga ini menyerahkan langsung dokumen amicus curiae ke PTUN Jayapura 18 November 2021.
“Ini bukan hanya sengketa antara para tergugat yaitu Bupati Sorong dan perusahaan, tetapi juga kepentingan lebih luas, pertama, kepentingan lingkungan hidup yang berkelanjutan, kedua, kepentingan masyarakat hukum adat sebagai pemilik ulayat.”
*****