Mongabay.co.id

Jejak Akek Antak dan Ajaran Tidak Tamak dengan Hasil Alam

 

 

Desa Puput, sebuah desa di Pulau Bangka, begitu dikenal karena keberadaan batu telapak kaki Akek Antak. Akek Antak merupakan legenda, yang keberadaannya diyakini masyarakat Kepulauan Bangka Belitung. Hidup tidak tamak terhadap alam, merupakan ajaran Akek Antak yang dipahami masyarakat desa ini.

“Akek itu kakek dan antak artinya lama sekali. Pengertian umumnya, Akek Antak adalah leluhur. Akek Antak bukan nama seseorang, tapi menunjukan seseorang yang hidup di masa lalu, dihormati masyarakat karena memiliki ilmu [pengetahuan], baik agama, bela diri, pertanian, perkebunan, laut, dan lainnya,” kata Agussari, Ketua Komunitas Agro Sekapot Ancop, dalam diskusi bersama para pencinta alam dengan tema “Pesan Akek Antak Menjaga Lingkungan” di Desa Puput, Jumat [24/12/2021] malam.

Baca: Geopark, Jejak Manusia Purba, dan Legenda Akek Antak di Bangka

 

Telapak kaki Akek Antak yang ukurannya cukup besar. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Di Desa Puput yang masuk Kecamatan Simpangkatis, Kabupaten Bangka Tengah, terdapat sejumlah batu terkait Akek Antak. Misalnya, batu berwujud telapak kaki ukuran besar [40 cm x 15 cm]. Telapak kaki ini berada di ujung sebuah batu [kisaran 2 x 2,5 meter] yang tingginya sekitar 1,5 meter pada kebun karet milik seorang warga. Telapak kaki kanan ini menghadap barat laut. Batu ini disebut Batu Telapak Kaki Akek Antak.

Ada juga Batu Kerito Surong [kereta dorong]. Jaraknya sekitar 200 meter dari batu Telapak Kaki Akek Antak. Menghadap utara ke selatan. Di atas batu ini terdapat jejak roda kereta dorong sepanjang tiga meter dengan lebar 10 sentimeter.

Lalu Batu Belimbing, yang bentuknya menyerupai buah belimbing. Tingginya sekitar lima meter, lebar lima meter, panjang tujuh meter. Berikutnya terdapat Batu Kuyang, Batu Betumpang, Batu Kembar, dan Batu Pak Renta.

Baca: Geopark Gunung Permisan Bangka dan Jejak Manusia Austronesia

 

Batu Telapak Kaki Akek Antak di Desa Puput, Kecamatan Simpangkatis, Bangka Tengah, Kepulauan Bangka Belitung. Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia

 

Desa Puput yang luasnya 3.818 hektar dengan penduduk sekitar 2,1 ribu, masuk dalam lanskap Bukit Mangkol.

Lanskap Bukit Mangkol memiliki sejumlah bukit besar, seperti Bukit Mangkol, Bukit Pau, Bukit Tengkorak, Bukit Kelambu, Bukit Anyir, Bukit Berambai, Bukit Gadong, Bukit Tanyas, serta Bukit  Mata Ayam. Puncak tertinggi di Bukit Mangkol [390 meter].

Di perbukitan ini terdapat Taman Hutan Raya [Tahura] Bukit Mangkol seluas 6.009,51 hektar, yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri KLHK Nomor: 575/setjen/Menlhk-II/2016 tertanggal 16 Juli 2016.

Tahura Bukit Mangkol berbatasan dengan sebelas desa dari dua kecamatan, yakni Simpangkatis dan Pangkalan Baru. Terdapat beragam flora di Tahura Bukit Mangkol, di antaranya pelawan dan nyatoh. Sementara faunanya, mentilin, trenggiling, elang, beruk, monyet, ayam hutan, babi hutan, beragam jenis ular, biawak, pelanduk, dan musang.

Baca juga: Suku Lom dan Legenda Akek Antak yang Menjaga Perairan Tuing Ratusan Tahun

 

Batu yang juga terkait dengan legenda Akek Antak di Desa Puput. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Raja tamak

Pada masyarakat Desa Puput dan sekitarnya dikenal cerita rakyat “Raja Bejungur” tentang seorang raja dan sebagian besar rakyat yang hidup dari berkebun sahang [lada], bertani, mencari ikan, dan beternak.

Awalnya, raja ini baik, tapi setelah pergi ke negeri seberang, dan mengenal sup ayam, dia menjadi keranjingan makan sup ayam. Setiap hari belasan hingga puluhan ayam dijadikan sup.

“Lama kelamaan ayam di kerajaan habis. Lalu, seorang pelayan bernama Hambali coba memasak cacing rawa yang dipotong kecil-kecil buat dijadikan bahan sup,” kata Agussari yang akrab dipanggil “Ayak”.

Raja menyukai sup cacing rawa ini. Bahkan, mengaku supnya lebih enak dibandingkan sup ayam. Setiap hari ratusan cacing rawa dimasak.

“Anehnya, setiap habis makan sup cacing rawa, tubuh raja ditumbuhi bulu yang lebih panjang dan keras dibandingkan bulu yang biasa tumbuh di tubuh manusia. Setelah beberapa bulan, mulutnya bertambah panjang atau muncul jungur/moncong.”

Guna menutupi perubahan tubuhnya, raja bersembunyi di kamar. Dia lupa dengan isteri dan anaknya, termasuk rakyatnya. Setiap hari kerjanya hanya makan sup cacing rawa.

 

Batu Kerito Surong di Desa Puput. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Suatu hari, seorang prajurit kerajaan melihat di bawah kamar raja [rumah panggung] seekor babi hutan tengah menjilat tumpahan sup cacing rawa, yang tumpah dari kamar raja. Prajurit itu menombaknya. Babi hutan mengelak. Dia berlari ke kebun sahang. Prajurit mengajak teman-temannya untuk membunuh babi hutan itu.

“Ternyata, babi hutan yang dibunuh adalah raja mereka,” kata Agussari.

Beranjak dari cerita itu, Agussari menyatakan, pesan dari Akek Antak adalah agar manusia tidak tamak dengan hasil alam. Dia juga yakin, jika leluhur masyarakat di Desa Puput adalah petani, bukan penambang timah. Sebab, jika dulunya Desa Puput adalah tempat penambangan timah, maka warganya adalah buruh timah, tidak ada pengetahuan atau ajaran yang arif dengan alam.

“Saya yakin, Puput adalah nama tanaman, tapi memang belum didapatkan informasi jenis tanaman apa. Contohnya, Desa Cambai yang namanya dikaitkan dengan aktivitas penambangan timah, ternyata adalah nama tanaman,” ujarnya.

 

Sebuah kolong eks tambang timah dengan latar belakang sawit di Desa Puput. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kelekak komunitas

Sebagian hutan dan kelekak [kebun campuran] saat ini sudah terbuka atau hilang, dijadikan perkebunan sawit dan ditambang timah.

“Terkait kondisi tersebut, saya membeli lahan setengah hektar. Saya bersama isteri dan sejumlah pemuda desa, membuat kelekak dengan nama Agro Sekapot Ancop, dua tahun lalu. Di sini kami memelihara ikan, menanam sayuran dan tanaman obat, serta melakukan diskusi. Kami juga sering melakukan pendakian ke sejumlah bukit di Bangka,” katanya.

Berdasarkan pemantauan Mongabay Indonesia, kelekak Agro Sekapot Ancop yang sudah menghasilkan antara lain ikan, cabai, dan sayuran. Sementara, sejumlah pohon masih berkembang seperti kelapa dan pinang.

Sebagian lahan berupa rawa berhutan dibiarkan alami. Setiap hari terlihat kera, lutung, dan burung. “Kalau nasib baik, malam hari ada mentilin,” kata Agussari.

 

Agussari berada di tengah aliran sungai dekat kebun miliknya di Desa Puput. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pengki [22], anggota komunitas Agro Sekapot Ancop, berencana mengembangkan kelompok teater. Tujuannya, untuk menggali dan mengekspresikan tradisi dan budaya yang tumbuh di Desa Puput dan sekitar Bukit Mangkol.

“Tentunya, tentang nilai-nilai kebaikan, terutama hubungan yang baik antara manusia dengan alam seperti yang diajarkan Akek Antak,” tutur mahasiswa universitas terbuka [UT] ini.

 

 

Exit mobile version