Mongabay.co.id

Bicara Deforestasi, Ketahanan Pangan, dan Energi BBN Non-Sawit. Seperti Apa Catatannya?

 

Bising gergaji mesin memotong batang pohon terdengar saat saya dan lima rekan bertolak dari Kasepuhan Sinarresmi menuju Kasepuhan Ciptamekar, tepat setahun yang lalu.

Wilayah itu masih dalam lingkup 400 desa adat di sekitaran Banten Kidul, persisnya di perbatasan antara Sukabumi, Jawa Barat, dan Banten, yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS).

Sesampainya di dusun yang dihuni sekitar 12 orang itu, saya langsung disambut oleh Abah Epi, Kepala Kasepuhan Ciptamekar. Teh pahit hangat, kopi, dan singkong rebus, menemani obrolan kami di malam yang dingin itu.

Perbincangan dengan Abah Epi akhirnya mengerucut kepada soal perambahan kayu hutan, dan ketahanan pangan desa pelosok.

”Penduduk di luar sana memang mengambil kayu untuk diolah jadi bahan bangunan, tiang, atau untuk pesanan rumah, itu jika mereka tak melaut,” terangnya kala itu.

Melaut, betul sekali. Desa-desa adat di Banten Kidul memang sebagian berada di wilayah pesisir pantai selatan Jawa, terus ke utara hingga masuk ke sekitar kawasan TNGHS.

Khusus di Kasepuhan Ciptamekar, tak ada aktivitas perambahan hutan. Untuk melangsungkan hidup, mereka mengandalkan padi, beras ketan, jagung, singkong, ubi, buah, dan ikan dari telaga, yang lokasinya berada di lingkungan kasepuhan. Kalaupun ada, mereka memasuki hutan hanya untuk mengambil kayu bakar.

”Saya melarang untuk menebang pohon di area kasepuhan,” tegas Abah Epi.

Abah Epi menjelaskan cuaca yang tak menentu menyebabkan tangkapan ikan makin sedikit, sehingga masyarakat di sekitar TNGHS yang tadinya nelayan, beralih profesi menjadi perambah hutan.

Tak ada yang bisa disalahkan memang. Cuaca buruk sebagai dampak perubahan iklim memang makin kerap terjadi dan mempengaruhi lingkungan dan masyarakat desa.

Warga perkotaan juga merasakan cuaca ekstrem itu, seperti banjir, dan hujan dengan intensitas tinggi. Sementara masyarakat di pedesaan, merasakan kepiluan serupa berupa terpengaruhnya hasil panen, hasil kebun, tangkapan laut, dst.

Di wilayah kasepuhan, lazimnya warga menyimpan hasil panen ladang dan padi ke dalam lumbung, tujuannya untuk mengantisipasi saat musim paceklik maupun cuaca ekstrem.

baca : Masyarakat Adat, Krisis Iklim dan Konflik Pembangunan. Bagaimana Solusinya?

 

Kawasan Kasepuhan Ciptamekar. Foto : Mustafa Iman/Mongabay Indonesia

 

Cerita di atas tadi hanya sebagian kecil dari dampak isu lingkungan, deforestasi mikro, dan ketahanan pangan desa.

Sekarang, kita beranjak kepada isu yang lebih global.

 

Mana yang harus diutamakan?

Pada saat Konferensi Perubahan Iklim PBB COP26, Indonesia menjanjikan emisi gas rumah kaca (GRK) akan menurun setelah 2030. Pemerintah juga berjanji akan mengakhiri deforestasi pada saat yang bersamaan.

Isu lingkungan juga pada akhirnya melahirkan kebijakan untuk mengurangi emisi, di antaranya dari sektor energi dan transportasi.

Dari sektor energi, Pemerintah Indonesia telah menargetkan penurunan emisi melalui peningkatan bauran energi terbarukan yang terdapat dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN).

Pada 2006, Indonesia telah menetapkan Kebijakan Energi Nasional (KEN) untuk periode 2006-2025 dalam Perpres No.25/2006, yang merupakan implementasi dari cetak biru (blueprint) yang diterbitkan melalui Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.0983 K/16/MEM/2004.

Tapi kemudian pada 2014, KEN 2006 dicabut dan digantikan oleh Peraturan Pemerintah (PP) No.79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional.

”KEN pada 2006 saat itu hanya menargetkan BBN (bahan bakar nabati) sebesar 5 persen, delapan tahun kemudian (2014) diubah pemerintah menjadi 23 persen. Ini kan nggak main-main. Karena memang eksplorasi minyak bumi bakal habis, dan harus mencari bahan baku pengganti energi,” tandas Prof. Dr. Budi Leksono M.P, Peneliti Ahli Utama Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Sabtu (18/12/2021), menanggapi peta jalan tersebut.

Dan sejauh ini Indonesia mengandalkan penggunaan BBN berbasis sawit untuk memenuhi target bauran energi terbarukan dalam KEN.

Ketika ditanyakan apakah peningkatan target itu bakal mendorong adanya pembukaan hutan (deforestasi) untuk misalnya perkebunan sawit, Prof. Budi mengatakan bahwa saat ini memang kita tak bisa menutup mata, kalau energi terbarukan (EBT) masih mengandalkan sektor sawit.

”Ya wajar saja, untuk yang paling siap saat ini ya sawit. Lahannya yang ada saja sudah jutaan hektare,” tanggapnya.

baca : Nasib Petani Sawit Mandiri Sumatera Selatan dalam Himpitan Kebijakan BBN

 

Petani sawit swadaya di Melawi, menghadapi kendala dan hambatan dalam tata kelola maupun budidaya sawit. Mereka juga kesulitan mengakses pasar, hingga nilai jual tandan buah segar di tingkat petani murah. Foto: Arief Nugroho/Pontianak Post-Mongabay Indonesia

 

Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), pada kurun 2015-2019, luas areal perkebunan sawit di Indonesia cukup fluktuatif. Pada 2015-2016 luasannya memang sempat menurun, namun pada periode 2016-2019, luasnya kian meningkat. Hingga 2019, tercatat luasannya mencapai 14,60 juta hektare.

Areal perkebunan kelapa sawit itu tersebar di 26 provinsi di Indonesia. Riau adalah provinsi yang memiliki areal perkebunan kelapa sawit terluas pada 2019 yaitu 2,82 juta hektare atau 19,3 persen dari total luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

Dan untuk komoditas industri biofuel, lanjutnya, sektor sawit masih berbenturan dengan kebutuhan dengan sektor pangan. Hal itu sejalan dengan paparan Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita, Juni 2021 lalu.

“Jika dilihat dari faktor pembentuknya, nilai ekspor sektor industri makanan pada bulan Mei 2021 didominasi oleh komoditas minyak kelapa sawit sebesar US$2,25 miliar, atau memberi kontribusi sebesar 69,13 persen. Naik dibandingkan bulan April 2021 yang mencapai 61,67 persen,” kata Menperin.

Bahkan pada Mei 2021, sektor industri makanan juga menjadi penyumbang devisa terbesar dari ekspor industri pengolahan non-migas, salah satunya dari minyak sawit.

Lantas, bagaimana Indonesia bisa mengurangi emisi dengan penggunaan biofuel berbasis sawit dan ketahanan pangan yang berjalan paralel dalam mengakhiri pembabatan hutan pada 2030?

baca juga : Tak Hanya Sawit, Negeri Ini Kaya Bahan Bakar Nabati

 

Ekspansi pembukaan hutan untuk kebun sawit merupakan masalah besar yang terjadi di hutan Singkil-Bengkung. Foto: Nanang Sujana/RAN

 

Secara umum, Indonesia memproduksi biodiesel dari tanaman sawit, hingga menelurkan kebijakan pemerintah yang menetapkan semua bahan bakar diesel harus mengandung setidaknya 30 persen minyak sawit (biodiesel B30) saat ini, dan bakal dinaikkan porsinya menjadi 50 persen (biodiesel B50) pada 2025.

Secara teori, biofuel termasuk biosolar, bioethanol, dan biogas, seharusnya mengurangi emisi ketimbang bahan bakar fosil. Sebab, ketika tanaman yang menjadi sumber biofuel ini dibudidayakan, mereka juga akan menyerap CO2 dari atmosfer.

Tetapi ​​hutan alami paling efektif untuk menyerap CO2 dari atmosfer, jauh ketimbang tanaman sawit. Artinya, jika mengganti hutan dengan tanaman untuk biofuel seperti sawit, maka lebih sedikit menyimpan CO2.

Dalam sebuah wawancara dengan BBC Indonesia, Febry Calvin Tetelepta, dari Kantor Staf Presiden (KSP) pernah mengatakan bahwa perkebunan sawit merupakan cara paling efisien untuk memproduksi biofuel, ketimbang tanaman lain.

Disebutkan bahwa perkebunan sawit relatif membutuhkan lahan lebih sedikit untuk menghasilkan minyak dalam jumlah sama jika dibandingkan dengan tanaman bunga matahari atau kedelai.

perlu dibaca : Menimbang Kebijakan Bahan Bakar Nabati dari Sawit

 

 

Analisis Royal Academy of Engineering pada 2017 pun mencatat soal jejak karbon atas penggunaan lahan untuk implementasi ini.

Dalam tabel di atas, jika membandingkan antara tanaman tebu, jagung, sawit, dan kedelai, sawit relatif lebih efektif, baik dari hasil maupun luasan arealnya.

Lalu dari nilai produksinya, saat ini Indonesia menduduki posisi ke-3 dunia sebagai produsen biofuel setelah Brasil, dan Amerika Serikat.

 

Upaya menekan laju deforestasi

Dari data Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PKTL KLHK), Indonesia berhasil menurunkan laju deforestasi sebesar 75,03 persen pada periode 2019-2020, hingga berada pada angka 115,46 ribu hektare. Angka ini jauh menurun dari deforestasi tahun 2018-2019 yang sebesar 462,46 ribu hektare, atau pada periode 2014-2015 (1,09 juta hektare).

Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat penurunan signifikan deforestasi hutan di Indonesia pada periode 2015-2020, yaitu deforestasi sebesar 629,2 ribu hektare pada periode 2015-2016, menjadi 480 ribu hektare (periode 2016-2017), lalu 439,4 ribu hektare (periode 2017-2018), terus 462,5 ribu hektare (periode 2018-2019) dan 115,5 ribu hektare (periode 2019-2020).

“Jika dilihat tren deforestasi berdasarkan data sebelumnya, maka tahun ini pengurangan hutan Indonesia relatif rendah dan cenderung stabil,” demikian kata Plt. Dirjen PKTL KLHK Ruandha Agung Sugardiman, Maret 2021 lalu.

Sementara Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (IPSDH) Ditjen PKTL KLHK, Belinda A. Margono, menjelaskan penurunan deforestasi sebesar 75,03 persen pada periode 2019-2020 itu merupakan angka deforestasi netto, yang mencakup di dalam maupun di luar kawasan hutan Indonesia.

Sesuai perkembangan teknologi, perhitungan luas deforestasi netto yang sudah mempertimbangkan kegiatan reforestasi sudah dimulai sejak periode tahun 2011-2012. Sedangkan perhitungan pada periode sebelumnya masih menggunakan deforestasi bruto.

“Jadi penyajian angka deforestasi yang digunakan adalah deforestasi netto, yang merupakan hasil deforestasi bruto dikurangi dengan angka reforestasi,” jelasnya.

Meski begitu, Indonesia masih masuk jajaran sebagai negara ke-3 di dunia yang terus kehilangan jumlah luas hutan, yang dialihfungsikan salah satunya sebagai perkebunan sawit.

menarik dibaca : Tongkol Jagung, Bahan Bakar Alternatif Masa Depan Gorontalo

 

Deforestasi, salah satu penyebab makin cepat pelepasan emisi karbon. Foto: dokumen Laman Kinipan

 

Menukil data Global Forest Watch (GFW), Indonesia memiliki hutan primer seluas 93,8 juta hektare pada 2001. Jika dikalkulasi, jumlah luasannya melebihi separuh luas daratan.

Sepanjang periode 2002-2020, negeri ini telah kehilangan sekitar 9,75 juta hektare hutan primer atau 36 persen lahan tutupan pohon pada periode itu.

Tentu banyak hal yang menjadi penyebab tergerusnya hutan primer itu, misalnya kebakaran hutan (disengaja/tidak), perluasan lahan sawit, perluasan lahan pertanian masyarakat pinggiran hutan, dan eksplorasi lahan pertambangan.

Dalam catatan itu, kehilangan hutan primer paling besar terjadi pada 2016, yakni mencapai 928,66 ribu hektare. Sedangkan pada 2020, Indonesia telah kehilangan 270 ribu hektare hutan primer. Jika dikalkulasi, kondisi tersebut setara dengan menyumbang emisi karbon sebesar 208 metrik ton.

Lantas, harus seperti apa langkah untuk menyiasati feedstock BBN biodiesel?

 

Alternatif BBN selain sawit yang potensial

GFW memiliki rujukan terkait tanaman yang menghasilkan minyak biofuel selain sawit. Mereka menyebut ada sekitar 50-60 tanaman lain yang lebih ramah lingkungan ketimbang kelapa sawit.

Misalnya tanaman kemiri sunan yang populasinya cukup moncer di Indonesia, seperti dijelaskan oleh Dinas Perkebunan (Disbun) Jawa Barat, yang menyebut bahwa satu hektare lahan kelapa sawit dengan umur 5 tahun mampu menghasilkan 5 juta ton biosolar, sementara untuk luas dan umur yang sama, kemiri sunan mampu menghasilkan 2,2 juta ton biosolar.

Jumlahnya memang lebih sedikit, tetapi umur produksi kemiri sunan mencapai 50 tahun dengan produktivitas yang terus meningkat. Berbeda dengan sawit yang harus diremajakan setiap 15 tahun karena produksi menurun.

baca juga : Ini Keuntungan Kalau Minyak Jelantah jadi Biodiesel

 

Kemiri sunan. Tanaman bernilai konservasi dan bisa menghasilkan biofuel. Foto: Sapariah Saturi/Mongabay Indonesia

 

Sementara Fadli Ahmad Naufal, dari Yayasan Madani Berkelanjutan, bilang bahwa ada sekira 2,27 juta hektare lahan yang bisa dikembangkan untuk mengoptimalkan komoditas tanaman non-sawit untuk biodiesel.

Fadli menyebut, lahan-lahan potensial biofuel non-sawit itu tersebar di beberapa wilayah, seperti di Sumatra, Kalimantan, NTT, dan tentunya Papua. Dan jenis tanaman potensialnya antara lain: jarak, tebu, aren, pinang, jagung, ubi jalar, ubi kayu, kelapa, dll.

Sedangkan dari hasil penelitian Prof. Budi, tanaman lainnya yang berpotensi menjadi komoditas biofuel berskala besar adalah pohon nyamplung (Calophyllum inophyllum). Ia juga mengatakan tanaman ini memiliki potensi jika dilihat dari sebaran wilayah dan keberlangsungan produksi.

Sebagai tanaman asli Indonesia, Prof. Budi menyebut bahwa nyamplung bisa dibudidayakan di semua wilayah di Indonesia, terutama yang berketinggian 0-300 mdpl.

Dalam catatannya, hingga saat ini sebaran nyamplung sudah berada di beberapa wilayah di Indonesia, seperti di Sumatra Barat, Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi, Maluku, NTT, bahkan hingga Papua.

Di Jawa, pohon nyampung bisa berbuah sampai 20 ton per hektar per tahun, dan dapat tumbuh di mana saja, seperti di lahan terdegradasi, lahan bekas tambang, lahan bekas penebangan liar, dan lahan bekas kebakaran hutan. Dan yang paling menarik, nyamplung tak berbenturan dengan kebutuhan pangan, seperti apa yang dialami oleh sawit.

Selain itu, pohon nyamplung memiliki daya tahan lingkungan yang cukup tinggi dan relatif mudah dibudidayakan. Baik untuk areal tanaman sejenis (monokultur) atau tanaman hutan campuran (mixed-forest), dan ideal untuk wilayah beriklim tropis.

Penjelasan tentang nyamplung itu merupakan hasil penelitian yang diprakarsai Prof Budi mencari sumber energi alternatif untuk menjaga ketahanan energi nasional melalui Badan Litbang Kehutanan sejak 2009

”Tugas peneliti itu kan mencari energi alternatif, karena kita tak selamanya bisa mengandalkan energi fosil,” ujarnya.

menarik dibaca : Menelisik Potensi Biofuel Nyamplung di Selayar

 

tanaman nyamplung memiliki rendemen minyak tertinggi dibanding tanaman berpotensi campuran biosolar lainnya. Foto : Forda MOF

 

Hasil penelitian itu menemukan fakta, bahwa biji nyamplung mempunyai rendemen yang tinggi yaitu 74 persen dibanding tanaman jarak yang hanya 60 persen.

Dari uji coba yang dilakukan, minyak biji nyamplung sudah dapat diimplementasikan sebagai bahan bakar murni biodiesel (B100), dan terbukti lebih irit ketimbang solar, dengan perbandingan seliter solar mampu menempuh 10 km, sementara seliter BBN nyamplung mampu menjelajah 12 km.

Dan limbah dari pengolahan biodiesel nyampung ini, lanjutnya, bisa dimanfatkan sebagai pakan ternak, obat, dan pengganti minyak tanah.

Dengan potensi nyamplung yang cukup menjanjikan ini, kedepannya diharapkan peluang budidaya tanaman yang berbuah sepanjang tahun ini (50-250 kilogram per pohon), dapat menjadi komoditas untuk masyarakat dalam menambah pendapatan ekonomi mereka, selain tentunya berkontribusi dalam pemanfaatan BBN untuk menekan emisi.

Jika perkiraan kebutuhan biofuel pada 2025 sebanyak 720 ribu kiloliter (KL), maka komoditas nyamplung untuk memenuhi angka itu berpotensi menyerap sebanyak 120 ribu tenaga kerja.

Potensi ini, harap Prof. Budi, tentunya dapat menumbuhkan harapan besar bagi bangsa terkait penyediaan energi terbarukan, dan bisa digunakan sebagai pengganti bahan bakar fosil saat harga bahan bakar minyak (BBM) melambung.

Apabila ini bisa diterapkan secara optimal, maka tentu saudara-saudara kita di pedesaan atau wilayah terpencil akan merasakan pemerataan energi dan nilai ekonomi dari budidaya nyamplung ini.

Kita mengetahui, salah satu masalah energi nasional adalah soal distribusi, terlebih di negara kepulauan. Jadi, ketika sumber energi nyamplung ini bisa diproduksi di semua wilayah di Indonesia, maka isu distribusi energi diharapkan bisa diatasi.

baca juga : Kisah Para Pejuang BBN Nyamplung

 

Biji nyamplung setelah dikeringkan. Foto : Farida Indriastuti/Mongabay Indonesia

 

Terkait deforestasi, karena tanaman nyamplung ini masuk dalam komoditas tanaman hutan campuran non kayu, sehingga manfaatnya bisa diambil tanpa perlu menebang pohonnya, dan tak perlu deforestasi untuk pembukaan lahan. Selain itu, tanaman dapat juga berfungsi sebagai penyerap CO2 dan memiliki umur yang cukup panjang, sekitar 100 tahun.

”Saya punya tanaman nyamplung yang usianya sudah 60 tahun, dan hingga saat ini masih produktif,” pungkas Prof Budi.

Sayangnya, dari temuan kelompok peneliti Carbon Disclosure Project, ada fakta yang menyebutkan bahwa masalah sertifikasi dan subsidi yang dikeluarkan untuk produksi biofuel berbasis sawit, mendorong produsen untuk lebih memilih sawit dan melanjutkan praktik deforestasi, ketimbang mencari alternatif atau mengembangkan tanaman lain.

 

***

 

*Mustafa Iman, jurnalis Good News From Indonesia (GNFI). Artikel ini didukung oleh Mongabay Indonesia dan Yayasan Madani Berkelanjutan

 

Exit mobile version