Mongabay.co.id

Catatan Awal Tahun: Berbagai Persoalan dalam Penegakan Hukum Lingkungan Hidup

 

 

 

 

Penegakan hukum lingkungan hidup dan kehutanan mulai terlihat. Meskipun begitu masih banyak kasus lingkungan hidup belum tersentuh. Kalangan organisasi masyarakat sipil masih melihat ada persoalan eksekusi hukuman lemah, transparansi dan mempertanyakan soal konsep keadilan restoratif dalam penegakan hukum lingkungan hidup. Kekhawatiran lain, ancaman melemahnya penegakan hukum lingkungan dengan kehadiran UU Cipta Kerja.

Rasio Ridho Sani,   Direktur Jenderal Penegakan Hukum, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memaparkan kinerja Direktorat Gakkum dalam lima tahun terakhir, terutama sepanjang 2021. Dia paparkan hasil sampai berbagai kendala yang mereka hadapi dalam penegakan hukum lingkungan ini.

Dalam monitoring selama ini, katanya, mereka menemukan potensi permasalahan lingkungan hidup dan kehutanan terjadi di beberapa bagian.

Permasalahan paling banyak terjadi di kebakaran hutan dan lahan sekitar 26%, pencemaran lingkungan 20%, perambahan hutan 16% dan beberapa pelanggaran lain.

“Juga ada potensi illegal logging, pelanggaran izin lingkungan hidup, bumping limbah B3, perusakan lingkungan, konflik tenurial, pelanggaran izin bidang kehutanan, dan tumbuhan satwa dilindungi,” kata Roy, sapaan akrabnya, saat refleksi soal penegakan hukum 2021 secara daring pada penghujung Desember lalu.

Permasalahan ini, katanya, tersebar di beberapa daerah seperti Riau, Kalimantan, Jawa, yang berasal dari laporan masyarakat dan pantauan petugas Gakkum. Kasus lima tahun belakangan untuk setiap sektor itu mengalami grafik dinamis, tergantung dinamika di lapangan.

“Misal, potensi permasalahan kebakaran hutan terjadi di Jawa dan Nusa Tenggara, daerah lain yang dulunya jadi perhatian malah menurun, seperti di Sumatera dan Kalimantan. Ini terus jadi perhatian kita,” katanya.

Kebakaran lahan atau hutan di area konsesi juga menurun. Dia duga dampak perubahan perilaku pemegang konsesi.

Pada periode 2015-2021, Ditjen Gakkum LHK menangani 6.143 pengaduan, memberikan 2.185 sanksi administratif dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan 214 kasus.

Gugatan perdata yang dilayangkan Ditjen Gakkum ada 31, 14 sudah berketetapan hukum (inkracht), dengan ganti rugi pemulihan lingkungan hidup dan kehutanan Rp20,7 triliun. Kemudian, gugatan kasus pidana denga berkas sudah lengkap atau masuk ke kejaksaan ada 1.156 kasus. Ditjen Gakkum lakukan 417 operasi tumbuhan dan satwa liar, 671 operasi pembalakan liar, dan operasi 653 perambahan.

“Kami melakukan langkah-langkah pengawasan dengan hasil 2.185 sanksi administratif dari 2015 sampai 2021. Kondisi itu memang jauh dari harapan,” katanya.

 

Baca juga: Kejanggalan Sidang sampai Eksekusi Lamban Kasus Karhutla di Jambi

Kasus pembalakan liar oleh perusahaan di Sabuai, Maluku yang ditangani Balai Gakkum KLHK Maluku dan Papua. Foto: Balai Penegakan Hukum LHK

 

Dalam menangani penegakan hukum kasus lingkungan hidup dan kehutanan, kata Roy, mereka hadapi beberapa kendala, seperti eksekusi penegakan hukum perdata mandek. Gakkum juga menghadapi tantangan kesenjangan dan minim kapasitas dengan beragam kasus yang dihadapi.

Contoh, katanya, banyak kasus otoritas pejabat lain misal, masalah tambang ilegal tetap lapor ke KLHK. Padahal, kata Roy, itu urusan Kementerian ESDM/ instansi yang tangani urusan minerba.

Begitu juga perusakan mangrove dengan aturan ada di UU Pesisir dan Pulau Kecil, juga tetap lapor ke KLHK. Ada pelanggaran hutan lindung juga lapor KLHK. Padahal, katanya, kewenangan hutan lindung berada di provinsi.

Tantangan lain, katanya, terjadi di tataran perlawanan hukum. Direktorat Gakkum bisa mendapatkan tantangan di praperadilan, gugatan perdata, perlawanan pihak ketiga, bahkan gugatan tata usaha negara.

“Apalagi kejahatan lingkungan ini bisa bermanuver kemana-mana.”

Dia katakan, banyak ahli tak mau ikut ke pengadilan, juga jadikan penegakan hukum lemah.

Selama ini, katanya, penegakan hukum lingkungan hidup dan kehutanan baru menciptakan efek kejut, belum efek jera. “Kejadian memang berhenti, setelah itu dilakukan lagi,” katanya.

 

Keadilan restoratif, seperti apa?

Ke depan, katanya, keadilan restoratif (restorative justice) terhadap kerusakan lingkungan atau kehutanan yang terjadi harus dilakukan. “Bagaimana penegakan hukum menuntut kerugian terhadap alam, masyarakat dan negara. Tidak cukup memenjarakan orang.”

Penegakan hukum KLHK, katanya, berbeda dengan lain, tidak hanya bicara keadilan bagi manusia juga alam. “Ini tantangan yang kita hadapi kedepan, dengan satu komando penguatan pencegahan bisa dilakukan dengan baik,” katanya.

Raynaldo Sembiring, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengatakan, keadilan restoratif yang ingin Ditjen Gakkum terapkan harus jelas, misalnya penerapan di instansi lain seperti BNN mengartikan restorasi justice adalah overkapasitas lapas, kemudian di kepolisian hal itu diartikan sebagai penghentian perkara. “Ini perlu dituntaskan restorasi justice seperti apa yang diinginkan KLHK,” katanya.

Penegakan hukum, harus melihat model pemulihan sanksi baik administrasi, perdata dan pidana. Jangan sampai dari tiga alat itu ada tumpang tindih. “Apakah kontek ini mendahulukan sanksi administrasi untuk pemulihan, setelah itu perdata baru pidana,” katanya.

Aksi penegakan hukum, katanya, terlepas itu keadilan restoratif atau tidak, katanya, tak menghilangkan kemungkinan pertanggungjawaban pidana, pidana korporasi.

Asep Warlan Yusuf, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Parahyangan melihat belum terlihat langkah kongkrit ke depan.

Dia juga melihat, kepastian hukum dari keadilan restoratif jangan sampai menciptakan kekhawatiran kompromi atau tawar menawar. “Penting masyarakat memastikan ini, ada regulasi dan praktik.”

Asep juga mengusulkan, pembentukan peradilan lingkungan. Pengadilan khusus ini, katanya, akan kuat dan penegakan hukum efektif.

Kalangan organisasi masyarakat sipil pun meminta penegakan hukum lebih transparan. Penegakan hukum atas kejahatan lingkungan hidup pun dinilai masih lemah.

Hadi Jatmiko, Kepala Divisi Kampanye Walhi Nasional mengatakan, konsep keadilan restoratif KLHK ini belum jelas, apakah memberikan keadilan kepada korban, atau sebenarnya ini hanya memberikan denda atau sanksi kepada korporasi. Walhi menolak kalau keadilan restoratif itu konsepnya malah meringankan hukuman pelaku kejahatan.

Potensi ke sana, katanya, cukup jelas setelah ada UU Cipta Kerja. “Cipta kerja memastikan investasi masuk dan tidak terganggu maka mengamankan investasi dan melindungi perusahaan mungkin akan terjadi.”

Bagi Hadi, keadilan restoratif tidak hanya pemulihan lingkungan tetapi pemerintah harus menjalankan review perizinan, dan menghentikan pemberian izin.

Asep Komarudin, Senior Forest Campaigner Greenpeace Southeast Asia Indonesia juga mengatakan, konsep keadilan restoratif harus jelas untuk siapa, jangan sampai hanya modus pemutihan pelanggaran lingkungan hidup dan kehutanan.

 

Baca juga: Jejak Korporasi Penyulut Api

Aksi warga protes UU Cipta Kerja

 

Transparansi minim

Hadi mengatakan, KLHK belum transparan dalam melakukan penindakan pelanggaran lingkungan hidup dan kehutanan.

Dia contohkan, saat organisasi masyarakat sipil perlu akses terhadap data perusahaan dengan konsesi alami kebakaran hutan dan lahan selama 2019 dan 2021. “Data Itu tidak pernah dibuka, walaupun secara tidak langsung masyarakat sipil mengetahuinya, kita minta data disampaikan secara formal,” katanya, awal Januari lalu.

Contoh lain, data rilis KLHK baru-baru ini menyebutkan, selama 2021 Dirjen Gakkum menangani 914 kasus pengaduan masalah lingkungan hidup dan kehutanan. Namun, katanya, tak ada keterbukaan pengaduan berasal dari masyarakat yang mana. “Apakah pengaduan pribadi, komunitas, atau korporasi.”

Kurang transparan tadi, katanya, akan berdampak kepada keikutsertaan pengawasan publik pada kinerja KLHK. “Jika tak ada pelibatan publik, besar kemungkinan kejahatan lingkungan hidup tak ditangani dengan maksimal sampai ke pemulihan.”

Walhi menilai, beberapa kasus perusakan lingkungan hidup dan kehutanan belum tertangani. Satu contoh, kasus pencemaran lingkungan hidup dampak tambang nikel di laut Sulawesi.

Menurut Asep, selama 2021 ada kemajuan penegakan hukum. Sayangnya, banyak putusan yang sudah berketetapan hukum seperti ganti rugi kebakaran hutan dan lahan belum ekseskusi.

Transparansi pun jadi sorotan, misal, ada kasus perusahaan perkebunan sawit sedang jalani sanksi administratif, tetapi publik tak mengetahui sampai dimana.

“Apakah sanksi itu sudah jalan atau belum kita tidak melihat detail tentang itu. Itu menjadi penting soal keterbukaan, sanksi administratif tetapi tidak memiliki efek berarti, pelanggaran itu terus berulang. Lalu kasus sudah inkrah, tetapi tidak bisa eksekusi, dan perusahaan tetap berjalan. Itu tidak memberikan efek jera.”

Banyak kasus, kata Asep yang membuat penegakan hukum tidak memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan lingkungan. Apalagi dalam UU Cipta Kerja lebih kepada sanksi administratif.

“Banyak perusahaan diberikan sanksi administratif, tetapi tetap terjadi kebakaran di lokasi sama, atau seperti putusan terbaru, KLHK dua kali kalah dari perusahaan saat di pengadilan tinggi. Perusahaan bebas hukuman karena telah memasang plang ‘tidak boleh membakar di areal itu.”

Dia usul tak hanya upaya penegakan hukum tetapi masukkan perusahaan perusak lingkungan itu dalam daftar hitam (blacklist). 

Asep juga soroti dengan kehadiran UU Cipta Kerja yang mengancam penegakan hukum lingkungan hidup, seperti pidana jadi jalan terakhir dalam memberikan hukuman. “Tidak bisa seperti itu, ketiga instrumen [sanksi administrasi, perdata dan pidana], harus dilihat konteksnya dulu, penempatan pidana atau perdata, satu sama lain tidak bisa .dikalahkan.”

Dia juga menilai, tenaga ahli kurang terlibat dalam penegakan hukum. Belum lagi, pakar atau ahli yang mau terlibat malah sempat kena kriminalisasi (dilaporkan perusahaan) karena jadi ahli dalam persidangan. Pemerintah, katanya, harus menyiapkan perangkat regulasi perlindungan untuk para pakar dan ahli lingkungan ini.

Hadi mengatakan, Walhi merekomendasikan beberapa hal. Pertama, pemerintah harus segera membuat pengadilan lingkungan hidup karena kejahatan lingkungan sudah menjadi kejahatan luar biasa.

Kedua, pemerintah harus menetapkan UU Perubahan Iklim apalagi Indonesia punya komitmen dalam menurunkan emisi karbon.

“Pemerintah harus siapkan Undang-undang Perubahan Iklim sebagai dasar pengambilan kebijakan, atau bentuk keberpihakan pemerintah peduli isu perubahan iklim,” katanya.

 

 Baca juga: Omnibus Law ‘Jalan Mulus’ Legalkan Pelanggaran Investasi Sawit dalam Kawasan Hutan

Petugas Badan Penanggulan Bencana Daerah kota Pekanbaru berusaha memadamkan api yang membakar hutan di Pekanbaru, Riau, Senin (1/3/2021) malam. Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) di wilayah provinsi Riau menjadi ancaman baru ditengah Pandemi Covid-19. (WAHYUDI)

 

******

Exit mobile version