Mongabay.co.id

Ancaman Bencana Ekologi dari Permasalahan Tanah dan Hutan di Flores dan Lembata

 

Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan dengan lebih dari 17 ribu pulau. Sebagai sebuah provinsi kepulauan, NTT terdiri dari sekitar 12 ribu pulau.

Flores dan Lembata merupakan dua pulau yang ada di NTT. Flores sendiri terdiri atas 8 kabupaten membentang dari timur di Tanjung Bunga hingga Labuan Bajo di wilayah barat.

Hutan di Indonesia tidak berada di sebuah hamparan daratan yang luas tetapi berada di pulau-pulau sehingga perlu berhati-hati dalam pengelolaan hutannya.

“Potret pengelolaan hutan di NTT, ada pulau-pulau kecil yang tidak dipandang lagi kepentingan ekologisnya dalam menunjang sistim kehidupan masyarakat,” sebut Mufdi Ode, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI), di Desa Rendubutowe, Kabupaten Nagekeo, NTT, Rabu (19/1/2022).

Ode menyebutkan pulau-pulau kecil dan wilayah pesisirnya dieskploitasi secara berlebihan tanpa melihat daya dukung dan daya tampung lingkungan. Apa yang terjadi di Flores dan Lembata sama persis dengan apa yang terjadi di seluruh Indonesia.

Data FWI menunjukkan luas hutan alam di Pulau Flores dan Lembata. Bila tahun 2000 luas hutan alam sebesar 567.232 Ha, tahun 2.009 jumlahnya 406.390 Ha, tahun 2013 tersisa 346.833 Ha dan tahun 2017 tinggal 185.927 Ha.

“Selama 17 tahun hutan di kedua pulau ini berkurang hingga 381.305 hektare,”  paparnya.

baca : Berbagai LSM Lakukan Konsolidasi Gerakan Masyarakat Sipil Flores dan Lembata. Ada Apa?

 

 

Ode tegaskan, kedua pulau ini  sangat rawan bencana sehingga perlu berhati-hati dalam mengelola hutan. Terdapat industri-industri ekstraktif yang tidak pernah memandang apakah layak diletakan di suatu wilayah yang dapat dikatakan pulau kecil.

Pengelolaan hutan, lahan, izin pertambangan dan lainnya tidak memperhatikan daerah aliran sungai (DAS) di pulau Flores dan Lembata sangat kecil.

“Kita tidak pernah belajar dari kegagalan negara dalam mengelola hutan dan lahan. Perlu merevisi kembali izin-izin yang diberikan karena keseluruhan wilayah Flores dan Lembata hutannya hanya tersisa 12 persen,” ujarnya.

Ode takutkan kedepannya akan menjadi bencana ekologi yang sangat besar di wilayah ini.

Ahmad Farid dari Eksekutif Nasional WALHI mengatakan setiap ada forum internasional terutama terkait konferensi perubahan iklim, pemerintah Indonesia selalu menjual keberhasilan dalam melindungi lingkungan hidup.

Farid sebutkan, pemerintah mengklaim itu sebagai keberhasilan dan digunakan untuk mendapatkan dana perubahan iklim dari dunia internasional.

“Kehilangan hutan di Flores dan Lembata menjadi bukti bahwa ada fakta yang berbeda dari klaim pemerintah di dunia internasional,” tuturnya.

Farid sesalkan kenapa pemerintah sangat tidak peduli terhadap keberlanjutan lingkungan hidup yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.

Menurutnya, banyak izin dan proyek disetujui dan berdampak serius terhadap masyarakat yang tinggal di kawasan itu. Tingkat kerawanan bencana sangat tinggi, potensi dan ancaman bencana alamnya sangat tinggi.

baca juga : Pabrik Semen Vs Keteguhan Orang Flores Pertahankan Ekologi Pulau Kecil

 

Hutan Golo Kaca yang dibabat. Diduga ada oknum pejabat yang terlibat. Foto: Sirilus Ladur/Floresa

 

Konflik Agraria

Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan permasalahan di Flores dan Lembata yakni terkait pembangunan infrastruktur termasuk Proyek Strategis Nasional (PSN) di NTT

Juga masalah agraria terkait HGU untuk perusahaan perkebunan berskala besar yang masuk wilayah hidup masyarakat sehingga statusnya tumpang tindih dan menjadi konflik berkepenjangan.

Menurut Dewi, konflik struktural agraria membuat masyarakat berhadapan dengan klaim kawasan hutan negara. Ada juga konflik agraria terkait beroperasinya perusahaan tambang.

“Tahun 2021 pengadaan tanah untuk PSN sudah mencapai 11 ribu hektar. Ini sudah diperkuat dalam Undang-Undang Cipta Kerja sehingga pengadaan tanah lebih dipermudah dan bisa menimbulkan konflik agraria,” ucapnya.

Dewi paparkan selama tahun 2020-2021, pembangunan infrastruktur termasuk proyek PSN meningkat hampir 50 persen. Di Flores ada pembangunan Waduk Lambo dan wisata super premium di Labuan Bajo.

Ia menyayangkan prosesnya sangat tertutup. Masyarakat hanya menerka-nerka rencana pembangunannya seperti apa dan bagaimana nasib masyarakat yang akan tergusur.

perlu dibaca : Masyarakat Menolak Lokasi Pembangunan Waduk Lambo, Kenapa?

 

Para perempuan duduk di jalan di lokasi perencanaan pembangunan Waduk Lambo di Desa Rendubutowe,Kabupaten Nagekeo,NTT yang merupakan tanah masyarakat adat.Foto : AMAN Nusa Bunga

 

Presiden sudah mencabut beberapa konsesi baik pertambangan dan kehutanan termasuk HGU yang ditelantarkan perusahaan.

“Di Nagekeo ada lahan HGU yang pernah dikelola PT. Nusa Anoa di seluas 777 Ha di Mbay II. Izin HGU berlaku sejak 1988 sampai 2018 namun secara fisik di lapangan perusahaan tidak beraktifitas,” terangnya.

Sebaiknya, kata Dewi, tanahnya dikembalikan ke masyarakat namun oleh pemerintah HGU itu diperbaharui untuk bekerjasama dengan industri tambak garam PT. Cheetam seluas sekitar 500 Ha.

Padahal banyak masyarakat adat dan nelayan yang seharusnya diperkuat untuk membangun industri garam rakyat.

Ia katakan upaya-upaya pencabutan izin di tingkat nasional jangan-jangan memang menjadi jalan bagi penerbitan HGU, izin tambang dan izin kawasan hutan bagi perusahaan-perusahaan skala besar.

Pada akhir 2020, Presiden Jokowi berkomitmen menyelesaikan 50 persen konflik agraria di seluruh Indonesia. Dewi melihat komitmen pemerintah untuk menjalankan reforma agraria tidak berjalan.

“Kita melihat reforma agrarianya macet tetapi proses pengadaan tanah untuk investasi skala besar justru dilaksanakan. Jadi apa yang dibicarakan di tingkat nasional justru tidak terbukti di lapangan,” sesalnya.

baca juga : Meningkatnya Konflik Agraria di NTT, WALHI Minta Gubernur dan DPRD Cepat Bertindak

 

Areal tambak udang di tengah hutan bakau di desa Merdeka, Lebatukan, Lembata, NTT yang dipersoalkan masyarakat desa dan BPD setempat. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

 

Memerangkap Elit

Dikutip dari setkab.go.id, Presiden Jokowi menyebutkan, izin-izin yang tidak dijalankan dan tidak produktif, dialihkan ke pihak lain. Mencabut izin yang tidak sesuai dengan peruntukan dan peraturan.

Sebanyak 2.078 izin perusahaan pertambangan mineral dan batu bara (minerba) dicabut karena tidak pernah menyampaikan rencana kerja. Izin ini sudah bertahun-tahun telah diberikan tetapi tidak dikerjakan.

Pemerintah juga mencabut sebanyak 192 izin sektor kehutanan seluas 3.126.439 hektar. Izin-izin ini dicabut karena tidak aktif, tidak membuat rencana kerja, dan ditelantarkan.

Selain itu, izin Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan yang ditelantarkan seluas 34,448 hektar, juga dicabut. Sebanyak 25.128 hektar adalah milik 12 badan hukum dan sisanya seluas 9.320 hektar merupakan bagian dari HGU yang telantar milik 24 badan hukum.

“Pembenahan dan penertiban izin ini merupakan bagian integral dari perbaikan tata kelola pemberian izin pertambangan dan kehutanan, serta perizinan yang lainnya,” tuturnya.

Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi geram dengan perampasan tanah hak ulayat komunitas adat.

Rukka tegaskan, perampasan wilayah adat tidak berjalan sendiri tetapi ada rangkaian yang saling mengikuti satu sama yang lain.

Ia jelaskan, kerjasama mengeluarkan perizinan yang dilakukan antara pemerintah dan pihak investor tanpa melewati proses yang adil dan terbuka bagi masyarakat.

baca juga : Walhi : NTT Hadapi Tiga Krisis Besar. Apa Saja?

 

Lokasi tambang mangan di Sirise, Desa Satar Punda Kecamatan Lamba Leda Kabupaten Manggarai Timur, NTT. Foto: JPIC-OFM

 

Terjadi elite capture, memerangkap elit. Di kampung-kampung akan ada orang-orang yang direkrut perusahaan untuk mempengaruhi masyarakat guna menerima perusahaan.

“Mereka direkrut, dijaga dan difasilitasi untuk mewartakan berita baik tentang perusahaan untuk meredam masyarakat,” terangnya.

Rukka sebutkan kalau elite capture tidak bisa dibeli atau direkrut, maka akan ada proses intimidasi dan perusahaan akan mencoba mencari figur lain untuk menandingi wibawa elit yang tidak bisa direkrut.

Dia katakana pihak yang menerima akan dipelihara dan dipergunakan menjadi corong untuk menyampaikan bahwa masyarakat menerima hadirnya investor.

Konflik sengaja diciptakan untuk melangggengkan perampasan wilayah adat masyarakat, politik pecah belah dimainkan.

“Ini juga merupakan hasil temuan dari Komnas HAM. Di negeri ini, ketika kita ingin mempertahankan tanah leluhur maka kita bisa menjadi kriminal,” ucapnya.

 

Exit mobile version