Mongabay.co.id

Teh Mangrove Papua Berdayakan Perempuan dan Lindungi Hutan

 

Berlinda Mawane Makapoka terlihat bersemangat menunjukkan teh Acanthus buatannya. Dari sebuah wadah plastik besar perempuan separuh baya ini menunjukkan bagaimana teh mangrove itu dibuat, proses penyeduhan dan khasiatnya.

“Ini tinggal siram air panas lalu diminum untuk kesehatan,” katanya ketika ditemui Mongabay di rumah produksinya di Kampung Pigapu, Distrik Iwaka, Kabupaten Mimika, Papua, akhir Desember 2021.

Berlinda sendiri menjabat sebagai ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) Pigapu Aimaporamo yang rutin memproduksi teh Acanthus.

Teh Acanthus sejatinya adalah minuman yang berasal dari daun mangrove jenis Acanthus ilicifilius berasal dari keluarga Acanthaeceae yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan nama Jeruju, sementara nama lokal di Pigapu disebut Ndoa. Tanaman sejenis semak ini banyak digunakan di pesisir pantai, mudah dikenali dari daunnya dan batangnya yang berduri.

Untuk memperoleh tanaman ini mereka harus mengambilnya di lokasi yang agak jauh dari permukiman menggunakan perahu. Sebelum diambil di alam, mereka melakukan ritual meminta izin kepada leluhur dengan memberi tembakau disertai nyanyian puja-puji, kegembiraan dan harapan mereka.

Berlinda menjelaskan bahwa untuk dijadikan bahan membuat teh diambil bagian daun, 7 helai bagian atas, jenis daun yang muda. Daun-daun ini kemudian dibersihkan dengan air bersih, lalu dikeluarkan bagian tulang dan durinya, dipotong kecil-kecil lalu kemudian dijemur paling lama seminggu.

baca : Cerita Para Perempuan Penjaga Mangrove dari Papua

 

Berlinda menunjukkan teh Acanthus (jeruju) hasil produksi Kelompok Tani Hutan (KTH) Pigapu Aimaporamo yang siap kemas. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Biasanya dari 5,5 kg yang diambil di alam akan menghasilkan 3,5 kg cacahan daun yang masih basah, setelah dikeringkan akan 900 gram cacahan kering yang siap diseduh.

“Diyakini kalau teh Acanthus ini mengandung bahan anti-oksidan, memberi banyak manfaat bagi kesehatan dan bagus untuk penderita diabetes. Orang-orang dari kehutanan rajin minum teh ini setiap hari, dan bahkan mereka sudah punya tea shop di kantor,” ungkap Dendy Sofyandi, Direktur Yayasan Ekologi Sahul Lestari, yang dalam beberapa tahun terakhir mendampingi kelompok ini.

Menurut Dendy, asal mula produksi teh ini di Pigapu dimulai dari program Indonesia Forestry and Climate Support (IFACS)-USAID pada tahun 2014 yang dilaksanakan oleh Blue Forests berupa sekolah lapang pesisir. Ada beberapa lokasi pelaksanaan program tersebut, termasuk di kampung Pigapu. Sekolah lapang dilakukan beberapa minggu yang dilanjutkan dengan pendampingan intensif. Pesertanya adalah ibu rumah tangga berjumlah 22 orang.

“Di sekolah lapang itu mereka belajar tentang mangrove dan potensinya secara ekonomi jika dikelola dengan baik. Mereka mau, lalu uji coba dan mereka tertarik, sehingga kita dampingi terus.”

Menurut Dendy, Jeruju dipilih sebagai produk yang diajarkan selain karena memiliki ketersediaan yang melimpah di alam, juga yang paling mudah dilakukan, tak butuh modal banyak, tinggal ambil dan keringkan.

Jeruju sendiri selama ini tidak diketahui manfaatnya oleh warga, meski banyak ditemui di wilayah pesisir. Ketika program ini dikenalkan tak semua warga mau terlibat termasuk Berlinda sendiri. Warga mulai tergerak ketika diketahui manfaat teh ini bisa mengobati diabetes.

“Mereka juga mau produksi karena dianggap menyehatkan, apalagi ibu kepala kampung saat itu lagi sakit diabetes, ada luka-luka di kaki yang sembuh kering setelah rajin minum teh ini. Testimoni mereka, kenapa mau terus lanjut bikin teh ini karena alasan kesehatan ini, meski pasarannya belum begitu besar pada saat itu.”

baca juga : Gurihnya Kerupuk Jeruju dari Hutan Mangrove Lubuk Kertang

 

Pada tahun 2021, KTH Pigapu Aimaporamo mendapat bantuan berupa rumah produksi seluas 5×3 meter dari BRIN. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Seiring perjalanan waktu, produksi teh terus dilanjutkan dan bahkan dikembangkan menjadi produk rumah tangga yang bernilai ekonomis. Produk mereka mulai ditampilkan di sejumlah pameran.

Kelompok yang dulu dibentuk terus bertahan dan bahkan jumlah anggota bertambah, dari 22 menjadi 34 orang. Apalagi ketika kelompok ini mendapat dukungan pendampingan dari Yayasan Ekologi Sahul Lestari dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui program pengembangan inovasi dan teknologi diversifikasi. Selain pendampingan selama 4 bulan mereka mendapat dukungan peralatan dan rumah produksi seluas 5×3 meter.

“Usaha ini berdampak secara ekonomi karena kemudian ada peningkatan pendapatan rumah tangga bagi mamak-mamak ini. Malah sekarang kita kewalahan. Kemarin kan pasarnya terbatas saat Pekan Olahraga Nasional, setelah kita bangun rumah produksi jadi pemicu jangkauan lebih luas.”

Tidak hanya dari BRIN, kelompok ini juga mendapat dukungan dari berbagai pihak, seperti Dinas Kehutanan dan Bank Papua. Dinas Kehutanan bahkan membeli 38 kg teh seharga Rp17,8 juta. Setiap anggota kelompok memiliki penghasilan sendiri sehingga bisa lebih mandiri tidak lagi sekedar bergantung pada penghasilan suami sebagai nelayan.

Teh Jeruju dijual seharga Rp25.000 per kemasan. Sekali produksi para anggota bisa memperoleh hasil ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Meski dikelola dalam wadah kelompok namun anggota bisa produksi sendiri dan hasilnya dimiliki sendiri, hanya saja setiap anggota wajib menyisipkan Rp20.000 untuk tabungan kelompok. Selain digunakan untuk kebutuhan sehari-hari dan modal usaha produksi selanjutnya, mereka juga dibiasakan untuk menabung yang difasilitasi oleh Bank Papua.

“Bank Papua sudah buatkan rekening sendiri. Setiap kali ada hasil penjualan mereka sisipkan untuk ditabung. Setiap hari kamis Bank Papua datang untuk mengambil uang mereka untuk ditabung. Ada juga rekening khusus untuk kelompok.”

baca juga : Foto: Ini Ragam Produksi Mangrove Si Api-Api

 

Pengambilan daun jeruju (Acanthus ilicifolius) di kawasan hutan dilakukan secara bersama-sama. Mereka melindungi hutan tempat pengambilan jeruju tersebut. Foto: Yayasan Ekologi Sahul Lestari/BRIN

 

Untuk menjaga kualitas, dalam hal produksi ditetapkan standar operasional produksi (SOP), antara lain jenis daun apa yang bisa diambil, harus dicuci menggunakan air bersih atau air galon.

Tidak hanya berdampak secara ekonomi, usaha teh Jeruju ini juga berdampak secara ekologi, karena masyarakat kemudian menjaga hutan pesisir yang tak boleh lagi ditebang.

“Jadi dampak ekologinya dimana ada plot-plot itu tidak boleh ambil kayunya untuk rumah atau jual, mereka ada perlindungan itu.”

Usaha ini juga berdampak secara akademik, karena sejumlah perguruan tinggi kemudian terlibat dalam melakukan riset dan dukungan inovasi untuk produksi. Politeknik Amamapare Timika misalnya memberi dukungan inovasi berupa pembuatan oven dan mesin pencacah. Lalu ada kerjasama dengan Universitas Mercu Buana Jakarta dan Politekkes Riau untuk diversifikasi.

Meski telah berkembang dengan baik, memiliki izin Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT) dan telah dipasarkan secara luas, produk ini belum memiliki izin dari Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Alasannya, untuk disebut sebagai produk teh maka harus memiliki kandungan teh secara spesifik, sementara produk ini tidak memiliki kandungan teh, hanya penamaan saja karena cara seduhnya mirip teh pada umumnya.

“Solusinya, nanti kita ubah penamaan tidak lagi disebut teh, tapi sebagai minuman herbal saja,” ujar Dendy.

baca juga : Bila Diolah, Potensi Buah Mangrove Sungguh Menjanjikan

 

Pengemasan teh jeruju (Acanthus ilicifolius) yang telah diolah dan siap diseduh menggunakan SOP yang ketat untuk menjamin kualitas dan kebersihan produk. Foto: Yayasan Ekologi Sahul Lestari/BRIN.

 

Kendala lainnya adalah aturan untuk tidak mencantumkan khasiat produk di labelnya, sehingga sulit memasarkan ke khalayak tanpa ada informasi terkait manfaatnya. Solusinya kemudian akan dibuat dalam selebaran yang menyertai produk tersebut.

Sebastian Mapareyau, Kepala Kampung Pigapu, menyatakan sangat mendukung usaha ini dan bersyukur usaha ini bisa berkembang dengan baik meski sempat mengalami kendala pemasaran.

“Kita bangga kini sudah dikenal luas bahkan sampai luar Papua, apalagi bisa memberi penghasilan tambahan bagi mama-mama,” katanya.

 

Exit mobile version