Mongabay.co.id

Adopsi Teknologi dan Jalin Kolaborasi, Cara Lain Hadapi Perubahan Iklim

 

Beragam cara terus diterapkan oleh Indonesia dalam upaya melawan dampak perubahan iklim yang saat ini sedang berlangsung di seluruh dunia. Salah satunya, adalah dengan melaksanakan praktik pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam di seluruh provinsi.

Komitmen untuk melaksanakan praktik tersebut, akan selalu melibatkan masyarakat dan para pihak yang berkepentingan. Untuk itu, kerja sama dan kolaborasi dengan negara lain juga menjadi salah satu cara yang dinilai bisa mendukung pelaksanaan praktik di atas.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, agar praktik bisa terus berjalan, komitmen yang kuat terus ditegakkan dan diterapkan dalam setiap kesempatan. Semua itu, bertujuan agar perubahan iklim tidak membawa malapetakan bagi masyarakat.

“Komitmen Indonesia dalam memerangi perubahan iklim dan deforestasi,” ucap dia belum lama ini di Jakarta.

Menurut dia, upaya untuk memerangi dampak perubahan iklim, di antaranya adalah dengan fokus pada isu lingkungan, digital, dan kesehatan. Ketiga isu tersebut sudah dibicarakan dengan negara-negara yang menjadi anggota kelompok duapuluh (G20) dan kelompok lainnya.

Melalui berbagai upaya yang sedang dilaksanakaan saat ini, Indonesia ingin menjadi contoh dan sekaligus bisa mengajak seluruh negara di dunia untuk bisa bekerja sama melawan dampak perubahan iklim, serta menjaga keberlanjutan lingkungan dengan aksi nyata.

baca : Perubahan Iklim Nyata Dirasakan Nelayan dan Masyarakat Pesisir

 

Penanaman vegetasi pantai di pesisir Kabupaten Kebumen, Jateng. Pesisir Kebumen menjadi salah satu dari dua daerah dalam Program Pengembangan Kawasan Pesisir Tangguh (PKPT) untuk mitigasi bencana dan dampak perubahan iklim. Foto : KKP

 

Dia berpendapat, untuk menjamin masa depan yang berkelanjutan perlu ada jalan bagi negara-negara berkembang untuk memiliki skema keuangan yang inovatif serta teknologi yang memadai. Tujuannya, agar mereka dapat membuat terobosan-terobosan yang baru.

Salah satu kawasan yang beresiko tinggi terkena dampak perubahan iklim, adalah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang ada di seluruh Nusantara. Resiko besar tersebut, juga terancam dialami oleh masyarakat yang tinggal di sana.

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (PRL KKP) Pamuji Lestari menjelaskan bahwa resiko yang harus dihadapi oleh masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, adalah dampak perubahan lingkungan, bencana, dan perubahan iklim.

Penyebab munculnya ancaman di atas, karena sampai saat ini masyarakat yang tinggal di sana masih masuk golongan ekonomi yang rendah. Selain itu, juga karena masih maraknya aktivitas pemanfaatan sumber daya dengan cara yang merusak, dan kualitas infrastruktur yang masih rendah.

“Selain itu, kemandirian masyarakat yang masih rendah juga turut mempengaruhi kerentanan tersebut,” tutur dia.

Demi mencegah munculnya kerentanan seperti disebutkan di atas, pembangunan sarana dan prasarana pelindung pantai akhirnya dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Sarana seperti vegetasi pantai tersebut, selain bisa bermanfaat bagi lingkungan, juga bisa mengurangi resiko bencana dan dampak perubahan iklim.

baca juga : Mengapa Pemanfaatan Vegetasi Pesisir untuk Perubahan Iklim Masih Rendah?

 

Penanaman vegetasi pantai di pesisir Kabupaten Kebumen, Jateng. Pesisir Kebumen menjadi salah satu dari dua daerah dalam Program Pengembangan Kawasan Pesisir Tangguh (PKPT) untuk mitigasi bencana dan dampak perubahan iklim. Foto : KKP

 

Di luar itu, pembangunan vegetasi pantai juga bisa memberikan manfaat berupa ekonomi bagi masyarakat setempat, karena mereka dilibatkan dalam program padat karya tersebut. Setidaknya, dari kebutuhan 1.200 orang tenaga kerja, sebanyak 60 persen itu diambil dari masyarakat setempat.

Selain untuk menguatkan perlindungan pesisir dan pulau-pulau kecil, pembangunan vegetasi pantai juga bermanfaat untuk pengembangan program perikanan budi daya yang sedang menjadi program prioritas KKP hingga 2024 mendatang.

Pembangunan vegetasi pantai sendiri dilaksanakan di dua lokasi pada 2022, di antaranya di Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah, dan di Kabupaten Jember, Provinsi Jawa Timur. Kedua lokasi tersebut diharapkan bisa dibangun dengan minimal luasan mencapai 10 hektare.

Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil KKP Muhammad Yusuf menyebutkan, pemilihan Kebumen sebagai salah satu lokasi vegetasi pantai, adalah karena daerah tersebut sedang mengembangkan program budi daya udang untuk mendukung target produksi dua juta ton pada 2024.

Sebelum dibangun di dua lokasi tersebut, program serupa sudah lebih dilakukan pada dua tahun sebelumnya di dua lokasi lainnya, yaitu Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara.

“Kami berharap itu bisa meningkatkan ketangguhan terhadap resiko bencana dan dampak perubahan iklim,” ungkap dia.

Pembangunan vegetasi pantai di empat lokasi tersebut, menjadi bagian dari program Pengembangan Kawasan Pesisir Tangguh (PKPT) yang sudah berjalan selama tiga tahun terakhir. Program tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana dan dampak perubahan iklim di kawasan pesisir melalui pembangunan sarana dan prasarana.

Kemudian, untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pelatihan dan peran serta perempuan dalam proses pengambilan keputusan secara partisipatif. Serta, program bertujuan untuk mengembangkan kelembagaan masyarakat.

baca juga : Masyarakat Pesisir Harus Berperan Besar dalam Presidensi G20

 

Pesisir Kabupaten Kebumen, Jateng menjadi salah satu dari dua daerah dalam Program Pengembangan Kawasan Pesisir Tangguh (PKPT) untuk mitigasi bencana dan dampak perubahan iklim. Foto : KKP

 

Penguatan Masyarakat

Muhammad Yusuf menerangkan, selain membangun sarana dan prasarana yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat di lokasi kawasan sesuai dengan petunjuk teknis (juknis) PKPT, masing-masing kawasan juga diharapkan sudah memiliki dasar yang cukup dalam menghadapi bencana dan dampak perubahan iklim.

Dasar yang dimaksud, bisa dalam bentuk kebijakan, dokumen perencanaan, ataupun sumber daya manusia dalam menghadapi dampak perubahan lingkungan, risiko bencana, dan dampak perubahan iklim.

Selain mempersiapkan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil bisa mandiri dan tangguh menghadapi bencana dan dampak perubahan iklim, Pemerintah Indonesia menyiapkan program untuk kesiapsiagaan dampak perubahan iklim, adalah melalui kerja sama dengan negara lain, salah satunya Singapura.

Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kemko Marves Nani Hendiarti memaparkan, dalam pertemuan yang sudah dilakukan, pembahasan dengan Singapura fokus pada empat isu, yaitu global blended finance alliance, climate actions termasuk new era bali towards Bali net zero emission 2045, sustainable mangrove, carbon pricing, maritime issues yang terdiri dari marine plastic litter dan oil spill.

Selain dengan Singapura, kerja sama juga dijalin dengan Denmark dengan fokus untuk membangun konsep pelayaran hijau (green shipping). Konsep tersebut dibangun untuk memfasilitasi aktivitas pelayaran dan kemaritiman dengan penerapan konsep hijau dalam pengelolaannya.

Penerapan konsep pelayaran hijau bertujuan untuk menghadapi dampak perubahan iklim yang terjadi di Indonesia. Komitmen untuk menerapkan konsep tersebut menjadi bagian dari Konferens Perubahan Iklim Perseriktan Bangsa-Bangsa (COP26) yang berlangsung di Glasgow, Skotlandia, tahun lalu.

baca : KKP Kembangkan Pelabuhan Perikanan Ramah Lingkungan dan Perubahan Iklim

 

Padatnya lalu lintas kapal-kapal kargo di Selat Malaka menuju Singapura. Perairan selat Malaka merupakan jalur pelayaran tersibuk di dunia. Foto : shutterstock

 

Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim Kemko Marves Basilio Dias Araujo menjelaskan, Denmark dikenal sebagai salah satu negara yang menerapkan pelayaran hijau melalui pemanfaatan teknologi rendah karbon.

Dia berharap, Denmark mampu membantu mempromosikan teknologi rendah karbon, memfasilitasi kemitraan publik-swasta, pertukaran informasi, transfer teknologi, peningkatan kapasitas sumber daya manusia maritim, kerja sama teknis, dan beragam program untuk meningkatkan efisiensi energi di kapal dan pelayaran.

Agar bisa mendorong penerapan konsep pelayaran hijau, Pemerintah Indonesia memperbarui Nationally Determined Contributions (NDC) pada Juli 2021 melalui Low Carbon Compatible with Paris Agreement (LCCP).

Selain itu, Indonesia juga telah mulai memproduksi Low Sulphur Marine Fuel Oil (LS MSO) yang sudah dilaksanakan di salah satu Pelabuhan Kargo Curah di Pelabuhan Internasional Krakatau pada Agustus 2021.

Hal lainnya yang telah dilakukan Indonesia, yaitu memperkenalkan bahan bakar campuran nabati berupa campuran antara biodiesel dan solar (B20 dan B30) untuk transportasi darat dan udara di tingkat nasional. Juga, membuat program untuk mengubah kapal-kapal kecil dari menggunakan bahan bakar minyak menjadi menggunakan bahan bakar gas (BBG).

Basilio Dias Araujo menjelaskan bahwa sebagai negara kepulauan, Indonesia memerlukan pelabuhan yang terintegrasi dan menerapkan konsep hijau. Untuk itu telah dilakukan pemanfaatan beberapa “rooftop solar” untuk menyediakan energi ramah lingkungan.

“Selain itu, Indonesia berencana untuk menerapkan teknologi energi baru terbarukan dan bioenergi melalui Carbon Captured Storage/Carbon Capture Utilization Storage (CCS/CCUS),” terang dia.

baca juga : Peran Baru Pelabuhan Laut Indonesia untuk Menurunkan Emisi Karbondioksida

 

KKP Gandeng AFD Kembangkan Eco Fishing Port di Pelabuhan Cilacap. Foto : KKP

 

Berbagai inovasi teknologi diperlukan dalam pengelolaan sebuah ekosistem atau aktivitas pelayaran dan maritim, untuk itu Indonesia melalui Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya menjadi pihak yang bekerja sama dalam mengembangkan teknologi inovasi bagi kegiatan maritim berkonsep hijau.

“ITS akan jadi pihak yang membantu pemerintah dalam melakukan berbagai inovasi teknologi. Tidak lupa, kami akan dibantu dan bekerja sama dengan Denmark melalui Danish Maritime Authority,” ungkap Rektor ITS Mochamad Ashari.

Komitmen Indonesia dalam melakukan praktik aktivitas pelayaran dan kemaritiman yang berkonsep hijau sudah dinyatakan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo pada COP-26. Beberapa komitmen yang dinyatakan antara lain, Indonesia mendukung komitmen negara dalam COP-26 UNFCCC untuk mengurangi emisi metana global sebesar 30 persen pada 2030.

Selain itu, Indonesia berkomitmen mengurangi penggunaan batu bara, karena penggunaan batu bara menyumbang 40 persen emisi CO2 tahunan. Hal lainnya yang dinyatakan Presiden Joko Widodo adalah persetujuannya untuk menghapus subsidi yang secara artifisial menurunkan harga batu bara, minyak, atau gas alam.

 

Exit mobile version