Mongabay.co.id

Memulihkan DAS Citarum dengan Perikanan Ramah Lingkungan

 

Menyebut nama sungai Citarum, tak bisa dilepaskan dari perannya sebagai pemersatu masyarakat yang tinggal di sekitar sungai tersebut sejak lama. Selain sebagai pusat perkembangan ekonomi, beragam kegiatan sosial berlangsung di sana sejak dari zaman kerajaan kuno yang ada di Jawa Barat.

Sebut saja, kerajaan Hindu tertua di Jabar, yaitu Tarumanegara yang diperkirakan ada di sekitar Bogor. Nama Tarum, diketahui diambil dari kata Citarum yang pada masa tersebut sudah menjadi pusat kehidupan yang berlangsung sejak abad kelima hingga tujuh Masehi.

Selain Tarumanega, dua kerajaan yang muncul berikutnya, adalah Galuh di Ciamis dan Pajajaran di Bogor. Kedua kerajaan tersebut kemudian bersepakat menjadi sungai Citarum sebagai batas wilayah kekuasan mereka saat itu.

Peran penting di masa lalu tersebut, menjadikan Citarum memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi di masa sekarang. Bahkan, pesona Citarum yang sangat kuat, pada era modern kemudian mengundang 500 perusahaan untuk mendirikan pabrik sebagai pusat produksi di sekitar Citarum.

Sayangnya, meski menjadi urat nadi kehidupan, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di 12 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat, kondisi Citarum terus menurun. Terutama, sejak dikenal dunia sebagai salah satu sungai paling tercemar di dunia pada 2007 silam.

Oleh karenanya, walau kemudian Pemerintah Indonesia mendirikan tiga bendungan yang difungsikan sebagai pembangkit listrik tenaga air (PLTA), pencemaran semakin sulit untuk dihentikan. Sehingga, daerah aliaran sungai (DAS) Citarum mengalami penurunan kualitas.

baca : Menaruh Harap pada Keberhasilan Program Citarum Harum

 

Sungai Citarum bertabur sampah di Desa Belaeendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yang terpantau beberapa waktu lalu. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Tiga bendungan yang dibangun tersebut, adalah Waduk Saguling yang luasnya mencapai 5.600 hektare pada ketinggian 645 meter di atas permukaan laut (mdpl). Waduk tersebut berdiri sejak 1986 di Kabupaten Bandung Barat.

Kemudian, Waduk Cirata yang berdiri setahun kemudian pada 1987, berlokasi di tiga kabupaten, yaitu Purwakarta, Cianjur, dan Bandung Barat. Waduk tersebut luasnya mencapai 6.200 ha pada ketinggian 225 mdpl.

Ketiga, adalah Waduk Jatiluhur yang berlokasi di Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta. Waduk tersebut luasnya mencapai 8.300 ha pada ketinggian 111 mdpl. Ketiga waduk tersebut berdiri dengan sistem kaskade, yaitu membendung langsung aliran sungai Citarum.

Selain sebagai PLTA, ketiga waduk tersebut juga difungsikan sebagai pusat kegiatan perikanan seperti perikanan tangkap, budi daya, dan perikanan wisata. Sebagai area perairan yang luas, sejak awal berdiri waduk sudah difungsikan sebagai tempat keramba jaring apung (KJA).

Hanya saja, seiring berjalan waktu, kehadiran KJA dan kegiatan perikanan lain membuat daya dukung ketiga waduk tersebut mengalami penurunan dan berakibat pada penurunan kualitas air. Kondisi tersebut terjadi bersamaan seiring meningkatnya pencemaran di Citarum.

Seiring berjalannya waktu, kehidupan semakin semarak di sekitar Citarum yang meliputi Kabupaten/Kota Bandung, Kab Bandung Barat, Kota Cimahi, Kabupaten/Kota Bekasi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Subang, dan Kabupaten Sumedang.

Di sisi lain, meski secara geografis ada di Jawa Barat, namun berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 11A Tahun 2006, wilayah sungai Citarum merupakan wilayah sungai lintas Provinsi Banten-DKI Jakarta-Jawa Barat, dan kewenangan pengelolaannya berada di Pemerintah Pusat.

Lebih spesifik tentang penurunan kualitas air di tiga waduk kaskade Citarum, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menawarkan solusi perbaikannya dengan KJA Sistem Manajemen Air dengan Resirkulasi dan Tanaman atau SMART.

KJA tersebut bisa menjadi solusi, karena diklaim sudah ramah lingkungan. Prinsip tersebut akan memperbaiki daya dukung ekosistem melalui penguatan kembali kualitas air waduk. Teknologi ini mengadopsi sistem akuaponik yang dimodifikasi, dan bisa diterapkan di perairan waduk dan danau.

“Prinsip kerja teknologi resirkulasi air dengan memanfaatkan tumbuhan sebagai fitoremidiator dan filterisasi yang dapat memperbaiki kualitas air,” ungkap Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono saat berada di Waduk Jatiluhur belum lama ini.

baca juga : Mengharumkan Kembali Kegiatan Perikanan di DAS Citarum

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono (paling kiri) mendengar penjelasan tentang Keramba Jaring Apung Sistem Manajemen Air dengan Resirkulasi dan Tanaman (KJA SMART) saat berkunjung ke BRPSDI BRSDM KP KKP di kawasan Waduk Djuanda, Jatiluhur, Jabar, pertengahan Maret 2022. Foto : KKP

 

Perlunya menerapkan teknologi tersebut, karena pencemaran di waduk kaskade Citarum berasal dari sisa pakan yang terbuang dan sisa metabolisme ikan dari kegiatan budi daya. Akibatnya, eutrofikasi atau dampak pencemaran organik akibat tingginya konsentrasi nitrogen (N) dan fosfor (P) tidak terhindarkan lagi.

“Untuk itu diperlukan suatu teknologi budidaya ikan dalam KJA yang ramah lingkungan sehingga mampu mencegah dan mengendalikan beban cemar tersebut,” tambah dia.

Diketahui, SMART KJA dikembangkan oleh Balai Riset Pemulihan Sumber daya Ikan (BRPSDI) Purwakarta yang tidak lain adalah unit pelaksana teknis (UPT) Badan Riset Sumber daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM KP) KKP.

Kepala BRSDM KP KKP I Nyoman Radiarta pada kesempatan yang sama menjelaskan bahwa KJA SMART adalah bagian dari inovasi yang dihasilkan untuk mengurangi pencemaran di waduk dan danau. Teknologi tersebut mengintegrasikan sistem budi daya perikanan dengan pertanian atau akuaponik yang sudah dilakukan modifikasi.

Lebih detail, Kepala BRPSDI Purwakarta Iswari Ratna Astuti menyebutkan kalau penggunaan KJA SMART sudah dilakukan melalui penelitian di Waduk Jatiluhur. Di sana, KJA menggunakan jaring ganda dengan tiga lapisan kolam, serta dilengkapi penampung sisa pakan untuk mempermudah penyedotan.

Menurut dia, percobaan dilakukan hingga dua kali, yaitu tanpa dan dengan inkubasi sisa pakan satu minggu. Kemudian, dilakukan pengamatan kualitas air setiap minggu, dan juga menggunakan sistem fitoremediasi dengan tanaman hidroponik kangkung dan pada lahan basah dengan akar wangi (vetiver).

Fitoremediasi tidak lain adalah upaya pengobatan masalah lingkungan (bioremediasi) melalui penggunaan tanaman yang mengurangi masalah lingkungan, tanpa perlu menggali bahan kontaminan dan membuangnya di tempat lain.

baca juga : Begini Nasib Keramba Jaring Apung Waduk Cirata Ditengah Dilema Pencemaran

 

Maket Keramba Jaring Apung Sistem Manajemen Air dengan Resirkulasi dan Tanaman (KJA SMART) hasil inovasi BRPSDI BRSDM KP KKP di kawasan Waduk Djuanda, Jatiluhur, Jabar. Foto : KKP

 

Efisien dan Ramah Lingkungan

Iswari Ratna Astuti menjelaskan, KJA SMART memiliki berbagai keunggulan, yaitu sisa pakan dan sisa metabolisme ikan tertampung dan terendapkan di sistem penampungan sisa pakan; dan bisa mengurangi masukan beban pencemaran bahan organik di perairan danau atau waduk.

“Kemudian, tanaman akuaponik dan lahan basan berfungsi sebagai fitoremidiasi polutan; dan menghasilkan produk tanaman organik; dan dapat menjadi destinasi ekowisata, juga eduwisata,” terang dia.

Kesimpulannya, dari hasil penelitian yang sudah dilakukan, teknologi KJA SMART mampu mengurangi beban cemar bahan organik, yaitu nutrien N dan P yang berasal dari aktivitas budi daya dalam KJA yang masuk ke perairan. Dengan demikian, itu akan bisa menjaga kualitas perairan waduk.

Selain dengan KJA SMART, upaya untuk memulihkan kualitas air di waduk kaskade Citarum, juga dilakukan dengan mengurangi aktivitas perikanan budi daya melalui penggunaan KJA. Sebagai gantinya, KKP menawarkan solusi dengan menggunakan sistem bioflok.

Sedangkan Direktur Jenderal Perikanan Budi daya KKP Tb. Haeru Rahayu pada kesempatan berbeda menjelaskan, penggunaan sistem bioflok berarti mengalihkan kegiatan perikanan budi daya dari wilayah perairan waduk ke wilayah perairan di daratan.

“Kita memberikan stimulus kegiatan perikanan budi daya berbasis daratan bagi pembudi daya terdampak pengurangan KJA, untuk beralih profesi menjadi pembudi daya bioflok,” janji dia.

perlu dibaca : 30 Tahun Waduk Cirata, Ditandai Penurunan Kualitas Air

 

Contoh perikanan budi daya sistem bioflok yang ditawarkan oleh KKP kepada pembudidaya ikan di waduk DAS Citarum ke pembudidayaan ikan di daratan, sebagai upaya memulihkan kualitas air di waduk kaskade Citarum. Foto : KKP

 

Walau ada di wilayah daratan, namun penggunaan sistem bioflok dijanjikan lebih produktif dibandingkan sistem KJA di waduk. Itu berarti, produktivitas budi daya menjadi lebih tinggi hingga lima bahkan sepuluh kali lipat.

Meningkatnya jumlah produksi, bisa terjadi karena jumlah padat tebar juga menjadi lebih banyak dibandingkan dengan sistem budi daya konvensional. Jadi, jika padat tebar ikan nila di kolam adalah 10 ekor per meter persegi (m2), maka dengan bioflok bisa padat tebar mencapai 100 ekor per m2.

Selain padat tebar, lahan yang dibutuhkan untuk budi daya sistem bioflok juga tidak terlalu luas, sehingga penggunaan pakan menjadi lebih efisien. Keunggulan lainnya, lama pemeliharaan relatif lebih singkat karena pertumbuhan ikan lebih cepat.

“Selain itu, budi daya sistem bioflok ramah lingkungan, penggantian air yang minim hanya untuk mengganti air karena evaporasi atau penguapan,” papar dia.

Inisiasi pengalihan kegiatan budi daya perikanan dari waduk ke daratan dilakukan di dua lokasi waduk, yaitu Jatiluhur dan Cirata. Selain penyebarluasan informasi, inisiasi juga dilakukan dengan memberikan bantuan paket untuk melaksanakan budi daya perikanan di daratan.

baca juga : Dua Perusahaan Cemari DAS Citarum Kena Hukum Rp16,26 Miliar

 

Dua orang pembudi daya ikan keramba jaring apung di Waduk Cirata, Kabupaten Bandung Barat, Jabar. Foto : Donny Iqbal/Mongabay

 

Kampanye pengurangan KJA merujuk pada Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 37 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 28 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum Tahun 2019-2025.

Secara keseluruhan, pelaksanaan program percepatan, pengendalian, pencemaran, dan kerusakan DAS Citarum sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan DAS Citarum.

Di antara pertimbangan pelaksanaan program tersebut, karena dari waktu ke waktu waduk kaskade Citarum terus mengalami penurunan daya dukung dan menurunkan kualitas air. Penyebab masalah tersebut, karena terlalu banyak KJA yang beroperasi di tiga waduk di sungai Citarum.

Berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat yang dirilis pada 2020, KJA yang beroperasi jumlahnya sebanyak 120 ribu unit dan itu diperkirakan sudah melebihi daya dukung ketiga waduk yang seharusnya diisi maksimal 21 ribu KJA saja.

Akibat KJA yang beroperasi melebihi batas, limbah budi daya hasil dari aktivitas perikanan melalui sistem KJA produksinya terus meningkat. Bukan saja menyebabkan ekosistem waduk mengalami penurunan, limbah juga memicu pertumbuhan tanaman eceng gondok (Eichhornia crassipes) dengan cepat.

Sementara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pada kesempatan berbeda menyatakan bahwa kegiatan budi daya perikanan di DAS Citarum harus segera ditata dan dikelola dengan lebih baik lagi.

Secara umum, dia menyebut kalau penyumbang pencemaran Citarum adalah limbah domestik yang berasal dari rumah tangga yang diakibatkan kekurangan sarana dan prasarana sanitasi air limbah domestik yang layak. Juga, karena perilaku hidup bersih dan sehat masyarakat yang masih buruk.

“Lebih dari 648 ribu penduduk di sepanjang DAS Citarum masih buang air besar sembarangan dan menghasilkan 94 ribu kilogram per hari kebutuhan oksigen biokimia (KOB),” jelas dia.

baca juga : Mimpi Pulihkan Citarum, Berharap jadi Inspirasi bagi Pengelolaan Sungai Lain di Indonesia

 

Menko Marvest Luhut Pandjaitan berbincang dengan Duta Besar Jerman untuk Indonesia Ina Lepel saat meninjau IPAL Bojonggsoang, Bandung, pada pertengahan Maret 2022. IPAL Bojongsoang merupakan salah satu sarana pengelola limbah domestik rumah tangga dari sepanjang DAS Citarum. Foto : Kemenko Marvest

 

Dengan penataan yang sedang berlangsung saat ini, Luhut Binsar Pandjaitan berharap itu akan mempercepat proses perbaikan DAS Citarum. Jika berhasil dipulihkan, maka itu akan menjadi prestasi bagi Indonesia.

Dampak positifnya, Citarum akan bisa menggerakkan turbin PLTA di seluruh pulau Jawa dan Bali, memasok kebutuhan air baku dan industri, mengairi daerah irigasi lumbung padi nasional, serta menjadi sumber air baku utama bagi Ibu Kota DKI Jakarta.

“Tahun 2025 sudah dekat dan kita harus mampu menunjukkan kepada dunia bahwa apabila kita kompak dan bergerak cepat, maka kita mampu mengubah imej sungai Citarum dari the most dirties river in the world menjadi sungai dengan kualitas air kelas II,” pungkas dia.

Diketahui, DAS Citarum mencakup total luas hingga 12.000 km2 dengan penduduk di sepanjang sungai diperkirakan jumahnya mencapai 10 juta jiwa lebih. Sementara, populasi yang dilayani oleh Citarum jumlahnya mencapai 25 juta jiwa lebih.

Selain itu, Citarum juga selama ini mampu menghasilkan tenaga listrik hingga 1.400 mega watt (MW) dan mengairi area irigasi seluas 240 ribu ha. Tak lupa, Citarum juga sudah menyuplai air untuk 80 persen penduduk DKI Jakarta dengan rerata pasokan 16 kubik per sekon (m3/s).

 

Exit mobile version