Mongabay.co.id

Hak Istimewa Nelayan Tradisional pada Zona Penangkapan Terukur

 

Nelayan tradisional kembali mendapatkan penegasan jaminan berupa kuota penangkapan ikan secara terukur saat kebijakan tersebut mulai diterapkan. Jaminan tersebut memastikan bahwa nelayan tradisional akan tetap bisa beroperasi menyesuaikan kebutuhan masing-masing.

Janji tersebut menegaskan kembali bahwa Pemerintah Indonesia tidak akan sembarangan menerapkan kebijakan jika akan merugikan kepentingan nelayan tradisional yang selama bertahun-tahun sudah menjadi pemangku kepentingan utama di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Muhammad Zaini Hanafi mengatakan, masyarakat sebaiknya bisa memahami rencana kebijakan tersebut dengan baik tanpa tersulut informasi yang beredar selama ini.

“Kita akan berikan kuota untuk nelayan lokal tanpa ada batasan. Selain itu, harap diingat, kita tidak akan memungut PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) kepada mereka,” jelas dia pekan ini di Jakarta.

Dengan adanya jaminan untuk nelayan tradisional, maka berapa pun kebutuhan kuota tangkapan akan diberikan kepada mereka. Itu berarti, semua nelayan tradisional akan diberikan kuota tangkapan tanpa ada pembatasan.

baca : Penangkapan Terukur dan Penerapan Kuota Apakah Layak Diterapkan?

 

Seorang nelayan sedang menebarkan jaring untuk menangkap ikan. Foto : shutterstock

 

Dia mencontohkan, jika kuota yang dibutuhkan seorang nelayan tradisional jumlahnya adalah satu ton untuk satu kapal, maka mereka akan mendapatkannya. Kemudian, jika memang kemampuan kapal menangkap ikan sudah naik menjadi 10 ton, jumlah tersebut juga dijamin akan diberikan lagi.

Semua kuota yang dibutuhkan tersebut, dijamin akan diberikan kepada nelayan tradisional tanpa harus melalui sistem kontrak seperti yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha besar. Selain itu, nelayan tradisional juga tidak harus membayar PNBP, meski kuota tangkapan berhasil dimanfaatkan semua.

“Peraturan perizinan pun tidak ada yang berubah, hanya nelayan lokal diarahkan membentuk kelompok atau koperasi supaya lebih kuat,” ucap dia.

Dengan demikian, tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi jika kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota akan menyingkirkan nelayan tradisional dan memprioritaskan pelaku usaha yang memiliki modal besar.

Zaini memaparkan, dalam melaksanakan kebijakan penangkapan terukur berbasis kuota, pihaknya membagi 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) ke dalam enam zona.

Rinciannya, zona satu hingga empat mencakup zona penangkapan industri yang akan membagi kuota tangkapan untuk nelayan tradisional lokal, non komersial, dan industri. Keempat zona tersebut meliputi WPPNRI 711 (Zona 1); WPPNRI 716 dan 717 (Zona 2); WPPNRI 715, 718, dan WPPNRI 714 (Zona 3); serta WPPNRI 572 dan WPPNRI 573 (Zona 4).

Sementara, dua zona tersisa adalah zona penangkapan biasa yang tidak menerapkan sistem kuota. Kedua zona tersebut adalah WPPNRI 571 (Zona 5), serta WPPNRI 712 dan 713 (Zona 6). Dua zona tersebut tidak untuk komersial, namun untuk kegiatan pendidikan, pelatihan, dan hobi (mancing).

“Ini tidak banyak, ini hanya 0,01 persen dari kuota yang ada. Nah, setelah ini (jika masih) ada sisanya, baru yang ketiga untuk industri,” sebut dia.

baca juga : Nelayan Kecil dan Pesta Korporasi di Laut

 

Seorang nelayan sedang menebarkan jaring untuk menangkap ikan. Foto : shutterstock

 

Namun demikian, walau kuota tersisa akan diberikan kepada pelaku usaha besar, Pemerintah Indonesia memastikan bahwa itu akan diberikan kepada mereka yang sudah beroperasi di zona tersebut sebelumnya. Kemudian, jika masih ada sisa, maka akan diberikan kepada investor baru.

Adapun, WPPNRI yang disebut rinciannya adalah 711 yang meliputi perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Natuna Utara; 712 yang meliputi perairan Laut Jawa; 713 yang meliputi perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali; dan 714 yang meliputi perairan Teluk Tolo dan Laut Banda.

Kemudian, 715 yang meliputi perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau; 716 yang meliputi perairan Laut Sulawesi dan sebelah Utara Pulau Halmahera; 717 yang meliputi perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik.

Berikutnya, adalah 718 yang meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur; 572 yang meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda; dan 573 yang meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Barat.

Mengingat kebijakan penangkapan terukur berbasis kuota adalah kebijakan yang menyeimbangkan ekonomi dan ekologi, Pemerintah memastikan bahwa pemilihan pelaku usaha akan melalui proses seleksai yang sangat ketat.

Salah satu syarat yang harus dipenuhi, pelaku usaha harus memiliki modal usaha minimal Rp200 miliar. Tujuannya, untuk memastikan keseriusan pelaku usaha dalam menjalani bisnis perikanan untuk jangka waktu yang panjang.

“Langkah ini sekaligus untuk mengantisipasi terjadinya percaloan kuota penangkapan,” tegas dia.

baca juga : Nasib Nelayan Indonesia ditengah Jepitan Krisis Iklim dan Industri Ekstraktif

 

Sekelompok nelayan saling membantu mendorong perahu ke tengah laut di pantai Depok, Yogyakarta, December 2019. Foto : shutterstock

 

Dengan kata lain, kebijakan penangkapan terukur berbasis kuota bukanlah kebijakan menjualbelikan wilayah tangkapan, melainkan membagi kuota tangkapan sesuai kebutuhan. Jika kuota tangkapan milik pelaku usaha sudah habis, walau kontrak masih berlangsung, maka kegiatan penangkapan harus berhenti.

“Banyak yang salah di luar seakan-akan kebijakan penangkapan terukur ini mengkapling laut. Konsesinya bukan wilayah, tapi komoditasnya. Jumlah ikan yang bisa diambil atau kuota. Jadi, tidak ada kavling laut,” tambah dia.

 

Seleksi Ketat

Selain untuk kepentingan ekologi, seleksi yang ketat dalam menjaring calon investor, dilakukan karena Pemerintah ingin menjamin keberlangsung pelaku usaha yang sudah lebih dulu beroperasi di zona yang sudah ditetapkan.

“Kita tidak akan obral. Makanya ketat (syaratnya) Rp200 miliar. Tapi ini di luar di balik-balik, seakan-akan yang Rp200 miliar ini ingin menghabisi pengusaha yang sudah eksis. Tidak, pengusaha yang eksis cukup menunjukkan dia sudah punya kapal,” ungkap dia.

Selain dari sisi kuota, tujuan menyeimbangkan kegiatan ekonomi dan ekologi untuk pelestarian ekosistem laut dan pesisir juga dilakukan Pemerintah melalui pengaturan alat penangkapan ikan (API). Dalam kebijakan tersebut, API yang digunakan harus ramah lingkungan untuk menjaga keberlanjutan ekosistem laut.

Di luar tujuan untuk menyeimbangkan kegiatan ekonomi dan ekologi, Muhammad Zaini Hanafi menerangkan bahwa penerapan kebijakan penangkapan terukur berbasis kuota juga bertujuan untuk menghadirkan distribusi ekonomi yang lebih merata ke daerah di luar Pulau Jawa.

Menurut dia, selama ini kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan para pelaku usaha bermodal besar selalu membawa hasil tangkapan ke daerahnya masing-masing, terutama ke pulau Jawa. Padahal, jika pendaratan dilakukan di dalam zona tangkapan, itu akan membantu pemerataan ekonomi lebih cepat.

perlu dibaca : Laut Arafura Jadi Panggung Pertunjukan Utama Penangkapan Ikan Terukur

 

Para nelayan menepikan perahunya di sungai Cilincing, Jakarta Utara, usai mencari ikan di laut. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Dengan adanya syarat pendaratan harus dilakukan di dalam zona tangkapan, maka fasilitas pelabuhan perikanan dipastikan akan semakin dibutuhkan saat kebijakan penangkapan ikan terukur diterapkan. Untuk itu, Pemerintah Indonesia juga fokus untuk melakukan optimalisasi peran pelabuhan perikanan.

Menurut Zaini, pihaknya menyiapkan sebanyak 79 lokasi pelabuhan perikanan bisa digunakan untuk penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur, termasuk kegiatan pemungutan PNBP pascaproduksi, dan juga sistem kontrak.

“Ada sejumlah pelabuhan perikanan yang menjadi proyek percontohan untuk kebijakan ini,” tutur dia.

Dia mengakui, secara bertahap penyiapan sarana dan prasarana pendukung pelabuhan, termasuk sumber daya manusia (SDM) dan petunjuk teknis atau pelaksanaan, juga prosedur operasi standar (SOP). Sejauh ini, uji coba dan simulasi timbangan elektronik untuk mendukung pemungutan PNBP pascaproduksi juga sudah dilakukan.

Dia berharap, kebijakan penangkapan ikan terukur bisa menjadi momen penting untuk pengelolaan pelabuhan perikanan menjadi lebih baik. Seluruh kegiatan di pelabuhan perikanan harus bermanfaat bagi nelayan, karena pelabuhan perikanan merupakan ujung tombak kegiatan penangkapan ikan terukur yang menyelaraskan antara ekologi dengan ekonomi.

Sejak dari sekarang, pelabuhan perikanan harus menjadi pusat bisnis perikanan yang kondusif, aman dan tertib melalui pembinaan dan pengendalian, menerapkan prinsip kebersihan, keamanan, ketertiban, keindahan, dan keselamatan kerja (K5) dengan konsisten, tidak berbelit-belit dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Direktur Kepelabuhanan Perikanan KKP Tri Aris Wibowo meminta para pengelola pelabuhan perikanan harus optimis dalam melaksanakan kebijakan penangkapan ikan terukur. Evaluasi dan perbaikan terus dilakukan untuk peningkatan kinerja dalam melayani masyarakat yang beraktivitas di pelabuhan perikanan.

“Kita siapkan juga SDM yang cakap dan handal mulai petugas syahbandar di pelabuhan perikanan, pengolah data, verifikator data pendaratan ikan, hingga petugas inspeksi mutu ikan,” tuturnya.

baca juga : Penangkapan Terukur, Masa Depan Perikanan Nusantara

 

Sejumlah jibu-jibu (pedagang ikan) di Pasar Tradisional Mardika Kota Ambon, Maluku. Ikan-ikan ini diambil dari para nelayan dari berbagai lokasi di wilayah Kota Ambon. Foto: Nurdin Tubaka/ Mongabay Indonesia

 

Terpisah, Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP Adin Nurawaluddin mengatakan, untuk mengawal program penangkapan ikan terukur, akan didorong penguatan sinergi dengan aparat penegak hukum lain.

“Tentu kita akan semakin meningkatkan sinergi dengan aparat penegak hukum lain, termasuk TNI AL, Bakamla, Polair dan Kejaksaan. Itu diperlukan untuk pengawasan dan penegakan hukum di bidang kelautan dan perikanan. Itu bukan hanya ranah KKP saja,” jelas dia akhir pekan lalu di Jakarta.

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono pada kesempatan yang sama menyebutkan bahwa program penangkapan terukur akan dikawal ketat melalui pengawasan berbasis teknologi. Tujuannya, untuk memastikan praktik kecurangan dan penangkapan berlebih (overfishing) tidak terjadi.

“Ada teknologi satelit, dan kapal pengawas di setiap zona dan terkoneksi dengan pesawat pemantau (air surveillance), sehingga tidak ada praktik penangkapan ikan yang melebihi kuota,” ucap dia.

Terkait dengan pemantauan berbasis satelit yang saat ini sedang dalam proses pengembangan, dia menyebutkan teknologi tersebut akan memiliki kemampuan untuk mendeteksi praktik penangkapan ikan yang dilakukan secara ilegal, juga mampu mendeteksi sampah yang dibuang ke laut.

Dia berharap, teknologi pemantauan berbasis teknologi tersebut bisa dioperasikan pada 2022 bersamaan dengan penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota. Agar itu bisa diwujudkan, proses percobaan terus dilakukan dari sekarang.

 

Exit mobile version