Mongabay.co.id

Hutan Mangrove Berkurang, Laut Pun Tercemar Pertambangan. Apa yang Harus Dilakukan?

 

Indonesia dikenal sebagai negara mega biodiversity yang memiliki keanekaragaman hayati yang sangat kaya dan sangat penting bagi keseimbangan kehidupan bersama, sehingga harus dijaga untuk kelestarian dan kehidupan generasi mendatang.

Akan tetapi berbagai permasalahan lingkungan terjadi akibat dampak pembangunan yang eksploitatif dan merusak bentang alam, termasuk yang terjadi di kawasan Indonesia timur.

Hal itu terungkap dalam pertemuan Eksekutif Nasional WALHI dan Eksekutif Daerah WALHI Banusramapa (Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku Utara, dan Papua) dalam rangka Hari Bumi.

Melihat permasalahan lingkungan tersebut, Walhi mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera mengevaluasi dan menghentikan ekspansi investasi skala besar yang selama ini merusak sekaligus menghancurkan bentang alam Banusramapa.

Tak hanya itu, dalam rilis yang diterima Mongabay Indonesia, Kamis (28/4/2022) dan diskusi media Jumat (29/4/2022), WALHI juga mendesak pemerintah untuk segera menegakkan hukum bagi para pelaku pencemaran laut

WALHI menyebutkan Bali menghadapi degradasi hutan mangrove yang sangat parah dan hilangnya kawasan pesisir yang berubah menjadi kawasan perhotelan. Hutan di Maluku habis dan lautnya tercemar oleh limbah pertambangan.

Sungai-sungai dan wilayah perairan di Papua terus tercemar limbah tambang dan perkebunan kelapa sawit.

baca : Kala Ruang Hidup Warga Maluku Utara Makin Terdesak Industri Ekstraktif

Ratusan tenda milik penambang emas ilegal, yang hingga kini masih berdiri kokoh, di lokasi tambang Gunung Emas (Gunung Botak), Kabupaten Buru, Maluku. Foto : Nurdin Tubaka/ Mongabay Indonesia

Perairan Terkontaminasi Nikel

Ketua Eksekutif daerah WALHI Maluku Utara, Faisal Ratuela dalam diskusi menyebutkan pemerintah seharusnya melakukan upaya pemulihan ekologi terkait pencemaran laut di NTB. Pemerintah juga harus memulihkan sumber-sumber penghidupan masyarakat.

Provinsi Maluku Utara (Malut) merupakan salah satu provinsi kepulauan di Indonesia dengan luas wilayah 145.801,1 km² dengan luas daratan 45.069,66 km² (23,72 %) dan luas perairannya 100.731,44 km² (76,28%).

Faisal paparkan dari sebelumnya terdapat 313 Izin Usaha Pertambangan (IUP), turun menjadi 113 IUP. Meski begitu, penurunan ini tidak berdampak siginifikan terhadap proses pemulihan ekologi.

Deforestasi dan degradasi hutan masih terjadi. Penghancuran pulau-pulau kecil masih terjadi baik di sektor kehutanan dan perkebunan monokultur sawit,” ucapnya.

Sebelumnya tidak terbayangkan perkebunan sawit hadir di pulau-pulau kecil. Tapi faktanya, tahun 2012 perkebunan sawit sudah berada di Pulau Halmahera. Di kabupaten Halmahera Selatan,11.430 ha telah merampas ruang hidup masyarakat bukan saja di daratan tetapi di pesisir.

Ia sebutkan ekonomi masyarakat tumbuh dari hasil perkebunan mereka di pesisir. Sedangkan di daratan, wilayah perkebunan masyarakat terancam pertambangan, perkebunan sawit bahkan industri kehutanan.

baca juga : Kawasan Konservasi di Halmahera Terancam Kapling Lahan buat Tambang

Tampak perkebunan sawit memenuhi hamparan begitu luas, hingga pebukitan di Gane, Halmahera Selatan, Maluku Utara. Foto: mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

Menurutnya kondisi di Maluku Utara itu akan tetap berlanjut ketika negara meletakkan proses pembangunan memisahkan konteks pembangunan daratan dan pesisir serta pulau-pulau kecil.

Proses kebijakan pembangunan lewat rencana strategi nasional lebih fokus meningkatkan sumber pedapatan ekonomi daerah dari sektor pertambangan,” ucapnya.

Faisal menegaskan salah satu pertambangan nikel di Halmahera Tengah sangat berdampak terhadap masyarakat. Tingkat penyakit ISPA pada masyarakat tinggi dan beberapa sungai sumber air masyarakat mulai menghilang.

Dia paparkan hasil riset Fakultas Perikanan Univesitas Khairun Ternate, menyebutkan kondisi perairan di sekitar ekstraksi pertambagan nikel di Halmahera Tengah telah terkontaminasi partikel nikel.

Hasil riset menyebutkan, pertambagan nikel telah membuat jenis ikan-ikan pelagis dan demersal di perairan sekitar tambang nikel telah terkontaminasi dengan nikel.

Aktivitas pertambangan dan perkebunan skala besar itu di pulau-pulau kecil berdampak sangat signifikan terhadap perairan dan ruang hidup masyarakat Maluku Utara.

Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di Maluku Utara daya jelajahnya tidak terbatas hanya di suatu daratan tetapi antar pulau,” jelasnya.

baca juga : Nestapa Nelayan Sawai Kala Industri Nikel Datang

 

Pembukaan area pertambangan nikel di Halhamera Tengah, Maluku Utara. Foto : AMAN Maluku Utara

 

Hutan Mangrove Menyusut

Direktur Eksekutif Daerah WALHI Bali, Made Krina Dinata menjelaskan pada 31 Januari 2022 kementerian PUPR melakukan penataan mangrove di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Bali yang ditargetkan kelar September 2022 agar dapat digunakan sebagai showcase mangrove di KTT G20 pada bulan Oktober 2022.

Made Krisna menyesalkan Bali selalu dijadikan tempat perhelatan akbar yang sering dibarengi dengan pembangunan infrastruktur yang eksploitatif terhadap alam.

Ia tegaskan ajang showcase mengrove menguji keseriusan pemerintah menjaga kawasan mangrove di Tahura Ngurah Rai. Di balik showcase mangrove untuk G20, masih adanya permasalahan yang mengancam mangrove di Tahura.

Perpres No.51 tahun 2014 yang mengancam kawasan Teluk Benoa untuk direklamasi hingga saat ini masih eksis,” tuturnya.

Made Krisna menegaskan selain memastikan mangrove bersih dari sampah pemerintah juga seharusnya memastikan Tahura Ngurah Rai bersih dari izin-izin yang berpotensi merusak kelestarian mangrove di Tahura.

perlu dibaca : Areal Tahura Mangrove Rusak Karena Reklamasi Pelindo, Bagaimana Penegakan Hukumnya? [Bagian 2]

Pembuatan kanal air laut di hutan mangrove Benoa pada Kamis (28/02/2019)di area reklamasi Pelindo Benoa. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

Ia menyarankan Perpes No.51 tahun 2014 dicabut dan kembali menetapkan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi. Tindakan itu menjadi tolak ukur apakah pemerintah serius melindungi mangrove.

WALHI Bali menemukan, hutan mangove di Tahura terus menerus mengalami penyusutan dan terakhir seluas 62 ha. Pihaknya mempertanyakan apa penyebab penyusutan ini yang terkuak saat konsultasi publik terkait penataan blok Tahura yang digelar bulan Agustus 2021.

Kondisi ini sangat memprihatinkan sebab dari masa ke masa mangrove (di Bali) kondisinya terus menyusut dari 1.200 hektar kini tersisa 1.100 hektar,” sesalnya.

Made Krisna sesalkan juga beberapa eksploitasi yang dilakukan di pesisir. Reklamasi pengembangan Pelabuhan Benoa yang dilakukan PT. Pelindo 3 Cabang Benoa telah menyebabkan kerusakan alam.

Ia paparkan,ada 17 ha mangrove yang mati akibat perluasan pelabuhan ini. Sampai detik ini tidak ada langkah konkrit oleh pemerintah, khususnya Pemprov Bali untuk memperbaiki mangrove yang rusak.

Hari bumi tidak hanya dimaknai sebagai selebrasi semata tetapi sebagai bentuk kontemplasi bagaimana pemangku kebijakan melakukan langkah-langkah konkrit, penerbitan kebijakan yang melindungi wilayah pesisir,” pesannya.

baca juga : Setelah Reklamasi Pelabuhan Benoa Berhenti, Bagaimana Rehabilitasi Mangrove Kini?

 

Mangrove mati karena reklamasi untuk perluasan Pelabuhan Benoa. Gubernur Bali meminta PT Pelindo III untuk menghentikan reklamasi. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Biaya Pemulihan Ekologi

Manajer Kampanye Pesisir dan Laut WALHI, Parid Ridwanuddin mengatakan,planet bumi sering disebut planet biru karena didominasi lautan sekitar 70 persen dan Indonesia merupakan miniatur planet bumi karena wilayah lautnya sekitar 70 persen.

Parid sebutkan, Banusramapa sebagai suatu wilayah yang memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi di Indonesia. Kalau Banusramapa tercemar maka akan Indonesia akan tercemar.

Kerusakan di region Banusramapa sudah sampai pada tingkat sangat membahayakan. Dalam bencana levelnya bukan siaga lagi tapi sudah tinggi,” tuturnya.

Faisal sesalkan, proses yang terjadi saat ini dimana negara hanya mendorong pembangunan infrastruktur. Pembangunan ekonomi yang hanya meletakan pada industri ekstraktif dan perkebunan monoklutur, akan membuat hutan di pulau-pulau kecil akan habis.

Kata dia, model kebijakan pembangunan ekonomi dan infrastruktur yang masih meletakkan investasi sebagai lokomotif pendapatan ekonomi tanpa mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup terutama pesisir dan pulau-pulau kecil di Maluku Utara, maka dipastikan masyarakat dan pemerintah provinsi Maluku Utara akan menanggung beban kehancuran ekologi secara masif.

Biaya pemulihan ekologi pasti akan lebih besar daripada jumlah pendapatan yang diperoleh negara. Biaya pemulihan ekologi ini harus ditanggung akibat kesalahan pemerintah,” tuturnya.

 

Exit mobile version