- Setelah perusahaan tambang masuk, menyusul kawasan industri nikel, tak hanya lahan Orang Sawai yang berkurang atau sungai maupun udara tercemar, nelayan pun sulit tangkap ikan. Wilayah tangkap menyusut bersamaan dengan ikan makin sulit karena air laut yang keruh.
- Para perempuan nelayan Sawai, dengan wilayah tangkap ikan di tepian pantai/laut paling alami kesulitan. Bukan saja ikan makin berkurang, mereka kerap cekcok dengan penjaga perusahaan karena tak boleh mancing di tempat yang sejak dulu jadi lokasi pencarian ikan mereka.
- Perairan Teluk Weda juga termasuk coral triangle (terumbu karang, mangrove, dan lamun hidup). Terdapat 1.733,6 hektar mangrove hidup di tiga kecamatan bagian Weda, Weda Tengah, Weda Utara, dan sebagian Weda Selatan.
- Berdasarkan Perda Nomor 2/2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Malut, perairan Weda sebagai zona perikanan tangkap pelagis dan demersal dan zona potensial wisata bawah laut. Ia terbentang di Teluk Weda dari Weda bagian utara, tengah dan selatan, Halmahera Tengah.
Marsolina Kokene, sedang memancing ikan. Dia berdiri di sebuah batu besar di tepi pantai. Umpan dari pisang matang yang dia rekatkan pada kail. Sesekali, perempuan berusia 48 tahun ini menarik nilon dan menggumpalkan pada sebilah kayu. Hujan baru saja reda sore itu. Air laut tenang.
Rumah perempuan dari Desa Gemaf, bagian utara Kecamatan Weda, Halmahera Tengah, Maluku Utara ini dekat sekali dengan pantai. Kira-kira 10 meter, hanya dibatasi tanggul. Di pesisir pantai itu pula perahu dia letakkan saat usai memancing. Dia punya perahu sendiri yang dibikin suaminya, Max Sigoro.
“Biasa memancing pakai perahu, cuman cuaca kurang bagus hari ini,” katanya.
Marsolina biasa memancing di laut lepas dengan perahu bersama perempuan-perempuan lain. Meskipun begitu, kini dia khawatir dan takut saat memancing. Bukan hanya karena cuaca buruk, tetapi kerap diusir satpam dan aparat kalau ketahuan memacing di perairan dekat kawasan industri nikel, PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP).
Dia cerita, dulu di perairan laut Lolaro, dekat kawasan industri nikel ini memang tempat bermain ikan karena ada terumbu karang. Dia sering bersama temannya, Hersina Loha, memancing. Kini, ikan sudah jarang. Limbah tambang hasil pembukaan lahan di belakang pemukiman bikin laut tercemar, berwarna hitam dan kecokelatan.
“Kami sudah tidak bisa memancing disana. Ikan sudah tidak ada. Padahal disitu, tempat mangael paling bagus,” katanya. “Sekarang harus lebih jauh dari kampung.”
Hersina Loha membenarkan. Dia sering bersama Marsolina pagi atau sore hari memancing ikan dengan perahu. Bagi mereka daerah Lolaro bukan lagi tempat aman nelayan perempuan dan laki-laki memancing.
“Torang diusir di daerah itu. Dong bilang perusahaan so bayar, padahal belum.”
“Saya hela (dapat) ikan hampir setengah perahu. Karena dimarahi dan diusir, saya marah balik,” kata Hersina.
“Yang perusahaan bayar kan dari pinggir pantai ke hutan, bukan ke tengah lautan. Bagimana dorang (mereka) larang?”
Dia sering cekcok di tengah lautan dengan aparat perusahaan. Dia bersikeras, aparat juga bersikukuh. Hersina mengalah dan pindah ke tempat lain.
Pengelolaan nikel ini jadi salah satu kawasan industri besar di Indonesia yang terletak di Weda. Kawasan ini termasuk untuk memfasilitasi proses pengelolaan mineral dan produksi komponen baterai lithium dengan total investasi US$10 miliar.
Sebagai perusahaan patungan dari tiga investor asal Tiongkok, Tsingshan, Huayou dan Zhenshi, mereka turut membantu ambisi pemerintah dalam meningkatkan volume penjualan mobil hybrid dan listrik dalam negeri. Beberapa smelter pengelola industri hilir sudah siap beroperasi sejak tahun lalu.
Baca juga: Nasib Orang Sawai di Tengah Himpitan Industri Nikel
Mula-mula, IWIP dikatakan bakal memberi dampak ekonomi signifikan bagi daerah dan mengurangi pengangguran. Terjadi sebaliknya. Lahan perkebunan Hersina sudah tidak ada lagi. Hidup perempuan 63 tahun ini bergantung hasil melaut. Suaminya sudah lansia jadi tidak bisa bekerja.
Hersina bilang, sebelum ada perusahaan tambang, hasil tangkapan mereka bisa jual ke warga. Kadang hasil pancing 20-30 kilogram. Sekilogram dia jual Rp25.000.
“Lumayan, bisa makan dan jual. Sekarang mau dapat apa lagi? kata Hersina. Pancing ikan susah, lahan pun sudah sudah tergusur tambang sejak 2018.
Max Sigoro, duduk di samping Marsolina. Dia bilang, daerah tangkapan nelayan ini sudah diambil alih perusahaan dan mereka kerap diusir.
“Mau lewat disitu saja sekuriti usir. Torang ini pernah sekuriti kejar pakai spit (spead boat) saat pancing di muka kem [areal perusahaan] itu. Usir-usir torang sama deng, barangkali torang ini [seperti] anjing,” kata suami Marsolina ini, geram.
Tempat memacing Max dan warga Gemaf di Lolaro kini jadi tempat lalu-lalang kapal tongkang yang sering bawa suplai batubara. Hasil pembakaran batubara juga kerap jadi masalah di desa itu.
Debu PLTU sering menyasar mereka. Pekarangan rumah dan pohon-pohon di pemukiman sering dihantam debu beracun itu.
Desa Lelilef Waibulen dan Lelilef Sawai, bagian tengah Kecamatan Weda, juga alami kejadian serupa. Mereka tidak bisa memancing ikan di perairan pantai dekat pemukiman dan depan areal perusahaan.
Nelayan di desa-desa ini harus pergi memancing lebih jauh di laut lepas dan mengeluarkan ongkos lebih besar dari biasa. Itu sekadar pancing untuk kebutuhan makan sehari-hari. Kadang bisa sehari semalam namun hasil sedikit, tidak seperti sebelumnya.
Saat perusahaan belum ada di wilayah mereka, nelayan di tiga desa ini tidak perlu khawatir makan ikan. Memancing di pesisir pantai dan sungai dengan hohati, alat pancing sederhana, sudah cukup. Kini, kondisi jauh berubah.
Dalam rencana program investasi jangka menengah (RPJM) Halmahera Tengah, disebutkan wilayah ini terdiri 73% laut dengan 53 desa pesisir, potensi peningkatan produksi perikanan tangkap di Maluku utara.
Berdasarkan Perda Nomor 2/2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Malut, perairan Weda sebagai zona perikanan tangkap pelagis dan demersal dan zona potensial wisata bawah laut. Ia terbentang di Teluk Weda dari Weda bagian utara, tengah dan selatan, Halmahera Tengah
Perairan Teluk Weda juga termasuk coral triangle (terumbu karang, mangrove, dan lamun hidup). Terdapat 1.733,6 hektar mangrove hidup di tiga kecamatan bagian Weda, Weda Tengah, Weda Utara, dan sebagian Weda Selatan.
Djamhur M. dkk dalam jurnal berjudul Perencanaan Kawasan untuk Pengembangan Ekowisata Perairan di Teluk Weda (2014) menyebut, ada 85 gugusan karang yang teridentifikasi menyebar di perairan Teluk Weda dengan luas keseluruhan 1.773,41 hektar, sedangkan gugusan karang berpasir 18 gugus seluas 418,05 hektar.
Pada 2014, diduga luas hamparan lamun 111,11 hektar dominan tersebar di bagian utara dan tengah Teluk Weda dengan 18 gugusan. Daerah ini juga terdapat 10 jenis lamun.
Dari hasil riset Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) berjudul Rangkaian Pasok Nikel Baterai dari Indonesia dan Persoalan Sosial Ekologi (2020) menyebutkan kemungkinan besar ekosistem lamun sudah makin berkurang. Padahal lamun memiliki fungsi penyerapan karbon sebesar 6,59 ton C/ha/tahun atau sama dengan 24,13 ton C02 perhektar pertahun.
Potensi perikanan di zonasi perairan tangkap wilayah Teluk Weda memang cukup menjanjikan, namun hal ini bertolak belakang dengan kehadiran industri nikel.
Bukan saja kawasan industri IWIP, setidaknya, berdasarkan laporan Korsup Minerba KPK, ada 66 izin usaha pertambangan (IUP) yang sedang mengepung daratan Halteng, akan turut mengacam kehidupan warga. Kalau dibandingkan dengan luas daratan Halteng, hanya 227.683 hektar, luas konsesi seluruh perusahaan 142,964,79 hektar, bahkan kemungkinan bertambah.
Baca juga: Kala Masyarakat Adat Sawai Kehilangan Ruang Hidup
Pencemaran laut
Abdullah Ambar, nelayan asal Desa Lelilef Waibulen mengatakan, dampak operasi perusahaan terhadap perairan laut dan sungai cukup besar. Limbah dari proses pengerukan alam memengaruhi kondisi laut dan tempat tangkapan nelayan. Kini, dia harus memancing lebih jauh ke ujung daerah Gemaf, Sagea, bahkan sampai Loleo.
Senada diucapkan Remus Kibrob, warga Lililef Sawai. Dia katakan, harus mengeluarkan ongkos bensin Rp100.000 sekali jalan untuk melaut sejutar 2-4 kilometer dari pesisir pantai. Walau begitu, hasil tangkapan tidak menentu.
“Dahulu, hanya pakai perahu sampan, [pendapatan ikan] lumayan. Cuman butuh satu kilometer [atau beberapa ratus meter] ke laut, sekarang sudah makin jauh. Kalau saya ini, dulu bamoro [memanah ikan] lagi, tapi sekarang sudah tidak bisa, air laut kabur (keruh),” katanya.
Perbedaan di daerah Lelilef cukup terasa dengan daerah-daerah lain ketika memancing ikan. Nelayan daerah ini merasa kesulitan.
“Dulu, kondisi laut bagus, kalau sekarang parah. Saya contoh di air Kobe. Dulu, saya biasa menjaring disitu. Sekarang, sudah tidak bisa, karena ia [jaring] sudah masuk ke lumpur,” kata lelaki yang akrab dipanggil om Dula itu.
Banjir pun sering datang daerah ini dalam tahun-tahun belakangan ini. Pada 18 Mei lalu, banjir sampai merendam bandara udara IWIP. IWIP melalui Associatate Director Media and Public Relations Departement, Agnes Megawati mengatakan, banjir ini terjadi karena curah hujan tinggi, hingga air limpasan yang membawa kayu dan sampah organik menutup gorong-gorong atau saluran air.
Berdasarkan hasil pantauan Health Safety Enviroment Dept, selama 1-15 Mei 2021, curah hujan turun sekitar 9.5 mm per hari. Pada 17-18 Mei 2021 selama 24 jam monitoring curah hujan jadi 103.2 mm per hari.
Data itu berbeda dengan BMKG Stasiun Kelas I Sultan Baabullah Ternate yang menyebut intensitas hujan per 17 Mei terukur 219.7 mm pada wilayah Sagea dan sekitar. Mereka bahkan menduga banjir bisa saja terjadi karena ada pembukaan lahan atau tutupan pohon.
Pada 26 Agustus tahun lalu banjir juga cukup parah. Di kawasan industri dan pemukiman sekitar terendam dari air Sungai Ake Sake yang meluap. Aktivitas di kawasan IWIP bahkan dilaporkan lumpuh.
Dalam laporan AEER sebut ini indikasi ada pembongkaran hutan dan lahan besar-besaran untuk tambang atau blokade dan pengalihan Sungai Ake Sake yang berada di area sama dengan rencana konstruksi smelter.
Kondisi ini, sebut penelitian AEER, bersamaan dengan pengalih gunaan lahan dari persawahan ke pertambangan, Ia berkontribusi besar pada kemandirian pangan masyarakat lokal. “Alhasil, kebutuhan dasar seperti makanan menjadi terbatas karena efek turunan dari penurunan daya dukung lingkungan serta proses alih fungsi lahan secara luas.”
Baca juga: Kerukan Tambang, Sungai Tercemar dan Protes Warga Trans Waleh
Akses sulit
Setelah ada industri masuk, daerah-daerah seperti di Tanjung Uli, Karkar, dan Cacu, Kecamatan Weda jadi sulit terakses. “Untuk masuk ke sana, harus pakai surat izin,” kata Hernemus Takuling, warga Lelilef Sawai. Padahal, lokasi itu sering warga gunakan untuk mencari ikan. Kini, sudah dilarang perusahaan.
Daerah-daerah itu sudah kena reklamasi, sebagian untuk pembangunan berbagai infrastruktur kawasan industri—termasuk areal penyimpanan bijih nikel.
Afrinda Burnama, perempuan Desa Lelilef Sawai bilang, harus pakai surat izin baru bisa memancing atau ambil kayu bakar di daerah Karkar dan Cacu.
“ini tidak masuk akal sekali. Saya pe daerah tapi saya harus pake surat izin untuk masuk,” katanya.
Nasib nelayan di dekat kawasan industri ini kian hari memprihatinkan. Sumber kehidupan mereka tak terlindungi walau ada UU Nomor 7/2016 tentang Perlindungan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam.
Bagaimana tanggapan pemerintah daerah terutama dalam pengawasan terhadap ancaman kerusakan di pesisir dan laut? Abdullah Assagaf, Plt Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Malut, justru baru tahu kalau nelayan mengeluhkan air laut dan terumbu karang tercemar di perairan Lelilef-Gemaf karena lalu-lalang tongkang pengangkut batubara. Juga soal nelayan kerap diusir ketika memancing.
“Saya baru dengar info ini dari kalian. Karena belum ada info dari DKP Halteng tentang nelayan yang berdampak,” kata Abdullah.
Laporan Dinas Kelautan dan Perikanan Halmahera Tengah belum masuk ke dinas provinsi. Meski begitu dia akan turunkan tim secepatnya untuk memantau dampak kerusakan di pesisir laut di kawasan industri.
Soal tim pengawasan memantau daerah tambang di Maluku Utara, dia sebut baik di PT NHM (Halmahera Utara), Harita Grup (Halmahera Selatan), dan PT Antam (Halmahera Timur), sudah bentuk tim.
“untuk Halteng kami belum dapat laporan dari DKP Halteng.”
Pelimpahan kewenangan dari kabupaten/kota ke provinsi dalam UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, katanya, jadi hambatan. Dia mengeluhkan anggaran operasional biaya dan minim sumber daya manusia.
Abdullah bilang, kalau industri masuk dalam zonasi kawasan perikanan tangkap dengan potensi ikan cukup melimpah. Namun, katanya, pengawasan mereka fokus ke penangkapan ikan ilegal. Soal tambang, ada laporan baru ditindaklanjuti.
Mufti Murhum, Kepala DKP Halteng minta ada tim terpadu dari dinas provinsi dan kabupaten untuk pengawasan terpadu dan kontinu. Dia bilang, DKP Halteng lakukan sekadar mengimbau perusahaan agar mematuhi Perda RZWP3 dan menjalankan arahan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) secara konsisten.
Soal kerusakan di pesisir dan laut, kata Mufti, perusahaan telah merehabilitasi terumbu karang dan hutan mangrove melibatkan warga sekitar.
Mufti harap, perusahaan nikel ini bisa melakukan kegiatan sama pada kawasan yang lebih besar sebagai kompensasi dari dampak operasi mereka.
“Termasuk juga pengembangan alternatif usaha ekonomi bagi nelayan sekitar, termasuk bantuan saran yang lebih baik.”
Mengenai ancaman daerah tangkap nelayan di pesisir dan laut, dia mengatakan, sebagai kawasan industri seperti itu. “Dimana pun pasti ada dampak, tangkap jadi jauh.”
Dia bilang perlu bantuan sarana lebih bagus untuk menjangkau wilayah perairan lebih jauh.
Soal larangan perusahaan terhadap nelayan, Mufti malah terkesan bela perusahaan. “Mungkin maksud perusahaan baik, artinya jangan sampai terjadi kecelakaan.”
Tentang sungai-sungai dan laut tercemar, Muamar Fabanyo, Media & Communications Team, External Departement of Weda Bay Project, IWIP beberapa pekan lalu bilang, dari hasil pemantauan mereka tak ada pencemaran.
Tanpa menjawab kondisi sungai dari jernih ke keruh itu, dia nyatakan, perusahaan menerapkan hirarki mitigasi cukup menghindari dampak, mengurangi dampak, mitigasi dan perbaikan.
Supriyadi Sudriman, pengurus harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Malut membantah. Dia bilang aktivitas tongkang di pesisir dan laut terutama fishing groud sangat berdampak pada nelayan.
“Karena semua itu pasti mengalir ke laut, bisa menyebabkan segitiga emas [mangrove, lamun, karang] pesisir bisa rusak dan berdampak pada berkurangnya ikan.”
Pemerintah daerah, kata Adi, sudah seharusnya memikirkan kedaulatan laut benar-benar ada di tangan nelayan. “Bicara pemberdayaan nelayan itu mustahil jika nelayan tiap hari tangkapannya berkurang dan harus terus diusir perusahaan. Apalagi jika laut tercemar.”
Baca juga: Menyoal Pengembangan Baterai Nikel bagi Lingkungan Hidup dan Sosial
***
Kehidupan nelayan terdampak sejak PT Weda Bay Nikel pada 1998 hingga kawasan industri masuk. Bagi nelayan kecil terutama nelayan perempuan macam Marsolina dan Hersina tak bisa berbuat banyak.
Munadi Kilkoda, Sekertatis Komisi III DPRD Halteng mengatakan, Masyarakat Adat Sawai tengah kehilangan ruang hidup mereka. Kawasan pesisir pun sudah dikuasai IWIP, yang dahulu lahan ulayat Suku Sawai.
Kegiatan-kegiatan tradisional, katanya, juga dilarang. Sebagian laut sudah reklamasi. Munadi sering dapat laporan dari warga soal larangan melaut di Tanjung Ulie.
Dia bilang, bongkar muat ore nikel dan lalu lalang tongkang pengangkut batubara atau kapal tentu saja menimbulkan dampak buruk terhadap ekosistem laut.
“Laporan masyarakat ke saya, mereka mendapati barubara tumpah ke laut sampai mereka tidak bisa melakukan kegiatan melaut,” kata Ketua AMAN Malut ini.
Keadaan ini, katanya, sudah tentu berimplikasi pada wilayah tangkap nelayan. Nelayan pun, perlu biaya besar saat melaut.
“Saya membayangkan situasi itu akan terjadi terus menerus dan kalau kita tidak menyiapkan masyarakat menghadapi itu, kita tidak tahu apa yang akan terjadi nanti.”
Dia tekankan, harus ada langkah pemerintah melindungi kawasan pesisir dan laut. IWIP juga tidak boleh seenaknya melarang masyarakat melakukan kegiatan tradisional.
“Itu wilayah pesisir merupakan hak ulayat jauh sebelum ada IWIP. Itu bukan seperti tanah dan hutan yang sudah dibebaskan IWIP.”
Melky Nahar, Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengatakan, aktivitas perusahaan di darat (hulu) sangat berisiko bagi wilayah pesisir dan laut (hilir). Pesisir dan laut tercemar menyebabkan nelayan kehilangan wilayah tangkap.
“Kehilangan wilayah tangkap itu, sama dengan (proses) memiskinkan warga.”
Melky juga bilang kalau ekosistem dan biota laut rentan tercemar material tambang dan PLTU batubara. “Ketika pangan laut, hasil tangkapan nelayan itu tercemar, risiko kesehatan bagi pengkonsumi hasil tangkapan nelayan itu juga dipertaruhkan.”
Pius Ginting, Kordinator Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) mengatakan, lalu-lintas tongkang batubara cukup menggangu nelayan melaut. Perusahaan, harus bikin alternatif bukan dari batubara.
Dia bilang, IWIP bisa gunakan energi terbarukan, misal, tenaga angin maupun surya agar polusi udara di sekitar pemukiman tidak tercemar.
Bila menggunakan energi terbarukan, kata Pius, juga bisa melindungi laut dari aktivitas tongkang batubara di Weda. Kecelakaan tongkang batubara sering terjadi, kata Pius, dapat menyebabkan kerusakan di laut.
Dalam laporan, AEER menyarankan pemerintah mengatur regulasi yang mewajibkan perusahaan operator smelter HPAL menggunakan sumber energi terbarukan.
Kepada perusahaan, AEER mengingat intensitas modal, ketidakpastian durasi untuk mencapai kapasitas desain, serta daya dukung lingkungan, sarankan pembangunan smelter HPAL dengan kapasitas sedang.
Supriyadi meminta, Dinas Kelautan dan Perikanan harus tegas dan tidak tunduk pemodal.
“Kasihan warga yang bergantung pada hutan dan laut.”
*****
Foto utama: Nelayan Sawai, mau mencari ikan. Foto: Ajun Thanjer / Mongabay Indonesia