Mongabay.co.id

Tambang ‘Unggul’ di Maluku Utara: Ekonomi Tumbuh tetapi Daerah Tak Rasakan Hasil, Warga Miskin

 

 

 

 

Berbagai persoalan terjadi seputar pertambangan di Maluku Utara, dari bagi hasil tak adil, kemiskinan sampai persoalan lingkungan hidup. Demikian antara lain yang terungkap dari koordinasi dan supervisi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi beberapa waktu lalu di Ternate, Maluku Utara.

Hasil eksploitasi tambang, masih menjadi persoalan antara lain hak bagi hasil mineral tambang buat daerah.

KH Gani Kasuba, Gubernur Maluku Utara menyuarakan ketidakadilan pembagian hasil tambang antara pusat dan daerah. Hasil tambang masuk ke pusat dan daerah tak kebagian.

“Maluku Utara ini daerah kaya sumberdaya alam tetapi masyarakatnya paling miskin. Semua hasil dibawa ke Jakarta. Kita tidak dapat apa-apa. Uang hasil tambang Rp600-Rp700 miliar dari Maluku Utara semua dibawa ke Jakarta. Daerah tidak dapat apa apa,” katanya.

Seharusnya, kata gubernur, hasil tambang berikan ke daerah—sebagai tempat tambang menggali tanah dan hutan—hingga bisa untuk membangun daerah.

Selain di hadapan korsup, dia juga sampaikan ini saat pertemuan gubernur seluruh Indonesia sekitar tiga bulan lalu bersama Presiden Joko Widodo.

Informasi soal besaran dana ke pusat dia dapatkan dari perusahaan yang beroperasi di Maluku Utara.

“Kami sudah menyampaikan ke presiden bahwa pengakuan beberapa perusahan tambang besar yang beroperasi di Malut, sudah menyetorkan Rp600 -Rp700 miliar ke pemerintah pusat.”

Dia sudah minta ke presiden agar besaran kewajiban perusahaan yang ngalir ke pusat itu dibagi sepertiga ke daerah. “Tapi hingga kini belum ada kejelasan seperti apa.”

 

Baca juga: Nasib Orang Sawai di Tengah Himpitan Industri Nikel

Pertambangan nikel di Halhamera Tengah. Dok: AMAN Malut

Kalau ada uang bagi hasil, katanya, bisa untuk membangun infrastruktur masyarakat Malut.

Gubernur bilang, banyak perusahaan besar beroperasi di Malut yang menguras habis daerah, baik darat dan laut. Parahnya, daerah tak mendapatkan apa-apa.

Malut, katanya, kaya sumber alam tetapi rakyat miskin. Dia berharap, KPK membantu daerah dengan membuat sistem satu pintu pelaporan hingga bisa tahu berapa hasil tambang dari masing masing daerah.

Nurul Gufron, Wakil Ketua KPK dalam korsup itu menyampaikan, koordinasi dan supervisi agar semua hal yang berhubungan dengan pertambangan bisa terintegrasi.

Dalam urusan tambang, banyak lembaga ikut terlibat dan berhubungan satu sama lain. Yang mengurus masalah tambang ini, katanya, tak hanya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, ada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, juga Kementerian Keuangan termasuk maupun pemerintah daerah.

Untuk penegakan hukum, ada KPK, kejaksaaan maupun kepolisian dan pengadilan. Kalau semua pihak ini tak berkoordinasi rawan bentrok.

“Kepentingan koordinasi ini supaya semua lembaga terkait memiliki pemahaman sama. Tambang ini tidak hanya sumber energi dan pendapatan negara juga ada isu lain yakni berkelanjutan lingkungan.”

Sumberdaya tambang Indonesia, katanya, tak hanya untuk yang hidup saat ini, tetapi ada generasi mendatang.

“Perlu penyamaan visi agar persepsi tidak hanya eksploitasi tetapi juga bicara keberlanjutan.”

 

Baca juga: Kala Masyarakat Adat Sawai Kehilangan Ruang Hidup

Air sungai di Weda keruh dan menguning. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

Tambang besar, ekonomi tumbuh, warga miskim

 

Data Bea dan Cukai Ternate menyebutkan, ekspor bahan tambang feronikel oleh PT IWIP di Halmahera Tengah pada triwulan pertama 2022, mencapai Rp31,1 triliun dengan tonase nikel mencapai 781. 274,075 ton. P

Posisi kedua PT Harita Group di Pulau Obi dengan nilai ekspor triwulan 1 2022 senilai Rp7,296 triliun atau tonase 134.627.836,00 ton. Tahun sebelumnya, nilai ekspor nikel Rp2,228 triliun dengan volume 85 .765. 469,00 ton.

Pemeriksa Bea Cukai Pertama Kantor Bea Cukai Ternate Sukirman kepada media Selasa Mei lalu mengatakan, selain dua perusahaan itu ada juga beberapa perusahaan tambang lain yang ekspor feronikel dan nikel pig iron pada 2022 sebanyak 64894.140 ton dengan nilai Rp2,066 triliun.

Total nilai ekspor tiga perusahaan ini menembus Rp40 triliun pada triwulan I 2022.

Meski nilai ekspor industri tambang begitu besar dari Malut, namun daerah termasuk masyarakat sekitar wilayah tambang jauh dari sejahtera.

Data Badan Pusat Statistik Malut menunjukkan di dua kabupaten di mana tambang besar beroperasi, PT IWIP (Halmahera Tengah) dan PT Aneka Tambang (Halmahera Timur), mengoleksi masyarakat miskin terbanyak.

Data BPS 2021, keluarga tergolong miskin di dua daerah ini jauh melampaui data masyarakat miskin di kabupaten/kota lain di Malut. Kemiskinan di Halmahera Timur 15 % dari total penduduk sekitar 91.707 jiwa pada 2020.

Baca juga: Kerukan Tambang, Sungai Tercemar dan Protes Warga Trans Waleh

Warga di Maluku Utara, sebenarnya bergantung hidup dari perkebunan, pertanian dan perikanan. Ada masuk industri, paling banyak tambang, mengubah hidup warga, bukan sejaktera, tetapi sebaliknya… Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Padahal, di dua kabupaten ini memiliki izin usaha pertambangan paling banyak dibanding Halmahera Selatan, Halmahera Utara, Kepulauan Sula dan Taliabu.

BPS Haltim merilis, angka kemiskinan 2021 meski mengalami penurunan namun terbilang tertinggi di Malut. Persentase penduduk miskin di Haltim pada Maret 2021 sebesar 14.580 orang (15,04%), berkurang 390 orang dibanding tahun sebelumnya sebesar 14.970 orang (15,45%).

Faktor-faktor diduga memengaruhi penurunan angka kemiskinan di Haltim periode Maret 2020- Maret 2021 karena ada peningkatan harga-harga komoditas hasil perkebunan seperti kopra.

Hamka B, Kepala BPS Haltim, menerangkan, persentase penduduk miskin di Haltim sejak Maret 2017-Maret 2021 cenderung fluktuatif, tetapi ada tren menurun.

Setelah Haltim, kabupaten termiskin kedua di Malut adalah Halmahera Tengah. Di kabupaten ini 13% penduduk miskin. Padahal, di sana juga beroperasi beberapa perusahaan, salah satu yang terbesar PT IWIP.

BPS Halteng mencatat, penduduk miskin di Halteng 2021 capai 7.650 jiwa dari 63.190 penduduk.

Iwan Fajar Prasetyawan, Kepala BPS Halteng, mengatakan, penduduk miskin di Halmahera Tengah Maret 2021 sebesar 7.650 orang (13,52%), berkurang tipis dari Maret 2020 sebesar 7.700 orang (13,56%).

Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi pengurangan kemiskinan di Halteng, katanya, karena terjadi peningkatan nilai tukar petani (NTP) pada Maret 2021 (98,54) dibandingkan Maret 2020 (98,33).

Berdasarkan dokumen Laporan Perekonomian Malut yang dirilis Kantor Perwakilan Bank Indonesia provinsi itu Februari 2022 menunjukkan, lapangan usaha pertambangan dan penggalian maupun industri pengolahan mencatatkan pertumbuhan tinggi dan jadi pendorong pertumbuhan ekonomi Malut.

Fenomena pertumbuhan tinggi pada pertambangan dan industri pengolahan terjadi sejalan beroperasinya sejumlah smelter baru di provinsi ini.

Sampai triwulan IV 2021, terdapat 10 smelter beroperasi, dan ekspor. Tiongkok, menjadi negara tujuan ekspor utama. Ada beberapa smelter juga selesai dibangun.

“Sejalan dengan meningkatnya ekspor produk turunan nikel, kebutuhan nikel mentah juga makin meningkat, hingga pertumbuhan sektor pertambangan di Maluku Utara akan terus berlangsung untuk mendukung pengoperasian smelter-smelter itu,” tulis laporan itu.

Data Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) dalam laporan ekonomi, sepanjang 2021, investasi masuk ke Maluku Utara Rp43,10 triliun.

 

Tambang PT IWIP di Halmahera Tengah. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Mohtar Adam, pakar ekonomi Malut mengatakan, pertumbuhan ekonomi 2021 itu sekitar 16% didominasi industri pertambangan. Pertumbuhan ekonomi Malut yang tinggi itu sebenarnya sebuah bencana ekonomi.

Gambaran ekonomi ini terkesan baik tetapi isi penuh masalah dan menyemai benih bencana.

Fenomena ini, katanya, sebenarnya sama ketika Malut masih berstatus kabupaten dulu. Industri kayu merajelala pada 1980-an hingga mendorong pertumbuhan ekonomi tertinggi Maluku, sumbangan dari Malut.

Kala itu, Malut punya pabrk kayu lapis di Sidangoli (Halmahera) dan Mangole (Kepulauan Sula) di bawah bendera Barito Pasifik Timber Group.

Ada juga perusahaan pisang Cavendish di Galelala dan masuk industri tambang emas PT Nusa Halmahera Minerals. Hal itu memacu pertumbuhan ekonomi Malut sampai dua digit.

Indonesia dijuluki Macan Asia tidak terlepas dari kontribusi Malut.

Setelah reformasi dan terdampak konflik, eknomi Malut anjlok sampai minus 14%.

Fenomena serupa ‘ekonomi tumbuh’ ini kemungkinan terulang dengan penggerak smelter. Saat COVID-19 pada 2020 saja, Malut jadi penyumbang pertumbuhan ekonomi luar biasa.

Ketika ekspor dari semua provinsi turun, Malut justru naik. “Boleh dibilang Malut menjadi penggerak ekonomi Tiongkok karena rata- rata ekspor nikel dibawa ke Tiongkok. Dari sini Tiongkok kemudian mengolah dan membuat barang jadi.”

Kondisi ini, nyaris masyarakat lokal tidak mendapatkan apa apa dari tingginya pertumbuhan ekonomi itu.

“Negeri ini terlalu kaya. Pertumbuhan ekonomi tinggi disumbangkan Halmahera Timur dan Halmahera Tengah dari insdustri tambang tetapi berdasakan angka- angka statistik dua kabupaten ini mengoleksi masyarakat miskin terbanyak di Malut. Negeri kaya tambang tapi masyarakat miskin.”

Kaya sumberdaya tetapi masyarakat miskin, katanya, akan sangat resisten konflik di masa depan.

Dia ingatkan pengalaman lalu bangga dengan PT Nusa Halmahera Mineral yang menjadi pengekspor emas terbesar di Malut.

“Ternyata titik konflik tahun 1999 ada di sana. Kita tidak tahu titik konflik di masa depan ada di Halteng, Haltim atau Halsel.   Perlu disadari, pusat sumberdaya alam ini bisa jadi sumber konflik. Perlu diwasapadai.”

Dia mengingatkan, para pihak perlu menyadari, kehidupan ekonomi rakyat Malut itu bergantung pada pertanian dan perkebunan. Sejak nenek moyang, masyarakat mengandalkan kehidupan pada perkebunan kelapa, pala dan cengkih serta hasil pangan lain.

Kini, masyarakat berhadapan dengan masuknya industri tambang yang menyebabkan perubahan signifikan.

“Masyarakat tetap hidup dengan pertanian, dalam kondisi ini pemerintah lokal tidak siap merekonstruksi kembali kebijakan ekonominya. Akhirnya, turunan industri tambang juga dikuasai orang luar dan tidak melibatkan masyarakat lokal. Akhirnya mereka hanya jadi penonton.”

 

Kelapa jadi kopra, salah satu hasil perkebunan warga Maluku Utara. Sektor perkebunan dan pertanian makin terjepit setelah industri ekstraktif, seperti tambang masif. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

 

 

Exit mobile version