Mongabay.co.id

Mata Pencaharian Nelayan Terancam Akibat Sampah Plastik di Lautan

 

 

Sampah plastik di perairan laut selain merusak biota yang ada di dalamnya, juga bisa mengganggu mata pencaharian nelayan tradisional. Dampak yang ditimbulkan dari benda yang tidak mudah terurai secara alami itu bisa mengakibatkan alat tangkap mereka menjadi rusak.

Karena sifatnya yang bisa membelit itu pula tidak jarang baling-baling yang digunakan sebagai komponen penting untuk mendorong perahu tersebut patah atau putus, sehingga perjalanan melaut terhambat.

Akibatnya, nelayan merasa rugi dari segi waktu maupun hasil tangkapan. Seperti yang diungkapkan Calim, nelayan asal Muara Angke, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.

Dia bilang, dari timbulan sampah yang melilit jaring itu otomatis penghasilannya menurun, waktu yang semestinya bisa digunakan pergi melaut bisa habis karena digunakan untuk membersihkan jaring.

baca : Sampah Laut yang Menyulitkan Nelayan Kedonganan

 

Seorang nelayan membetulkan baling-baling perahunya yang terlilit sampah plastik di pesisir Muara Angke, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Padahal ketika dia berangkat melaut, hasil dari tangkapannya jika di jual itu bisa mendapatkan uang kurang lebih Rp300 ribu.

“Kalau membersihkan sampah plastik yang nyangkut di jaring itu bisa menghabiskan waktu sampai tiga harian, berbeda dengan ngelepasin rajungan yang hanya 2-3 jam selesai,” kata pria kelahiran 1974 ini, akhir Mei 2022 lalu.

Berdasarkan pengalaman yang dirasakan, timbulan sampah plastik yang mencemari lautan itu bisa lebih parah ketika musim hujan, hal itu dikarenakan sampah-sampah dari pemukiman warga dibantaran sungai semakin cepat hanyut mengikuti arus air menuju ke muara sungai.

Sehingga, seringkali ia menemukan sampah yang ikut tergulung di dalam jaring ketika melaut. Selain sampah, air limbah dari industri juga menjadi ancaman yang nyata di kawasan pesisir Utara Jakarta.

baca juga : Cerita Pencari Sampah Jaring Nelayan dari Merauke

 

Sampah plastik yang mencemari lautan berdampak buruk pada biota laut. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Menurut dia, dengan kondisi air laut yang tercemar plastik dan air limbah membuat ikan-ikan maupun rajungan mati, selain itu kedua biota ini semakin sulit ditemukan hidup di kawasan pesisir.

“Padahal dulu sebelum laut tercemar mencari ikan maupun rajungan dipinggiran itu mudah. Namun, sekarang harus menjauh dari bibir pantai,” ungkap Calim, yang sudah 12 tahun merasakan pahit manisnya menjalani hidup sebagai nelayan ini.

 

Ikan Enggan Terperangkap

Kondisi lautan yang tercemar sampah plastik maupun air limbah semakin mengkhawatirkan. Sementara tantangan yang dihadapi dalam pengelolaanya masih sangat besar, artinya belum bisa tertangani dengan baik atau masih sulit dipecahkan.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan, di tahun 2020 wilayah lautan Indonesia sudah tercemar oleh sekitar 1.772 gram sampah per meter persegi (g/m2). Diperkirakan jumlah sampah di laut Nusantara secara keseluruhan sudah mencapai 5,75 juta ton. Hal ini dikarenakan luas lautan Indonesia yang totalnya 3,25 juta km2.

baca juga : Menteri Kelautan Bersihkan Sampah di Pantai Nongsa Batam. Ada Apa?

 

Selain merusak biota laut, sampah plastik juga bisa mengganggu mata pencaharian nelayan. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Nelayan lain, Nur Faizin (32), mengaku meski melaut dengan jarak tempuh 1 mil dari daratan, sampah plastik itu masih banyak dijumpai, bahkan seringkali nyangkut di jaring yang digunakan untuk menangkap ikan. Akibatnya ikan tidak jadi terjebak.

“Ibaratkan orang jalan kaki lalu kemudian ada comberan, ya tidak mau lewat. Begitu juga dengan ikan, dia akan menghindar kalau di jaring ada sampahnya, di Demak kami menyebutnya ngeplek,” terang pria asal Dusun Menco, Desa Berahan Wetan, Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Selasa (07/06/2022).

Dia bilang, kondisi jaring ini bisa rusak berat jika sampah-sampah itu datang bersama ombak besar. Kalau sudah mengalami peristiwa seperti itu jaring sudah tidak bisa diselamatkan, nelayan harus mengganti alat tangkap ikan yang digunakan itu. Sedangkan untuk beli jaring yang baru bisa habis Rp15 juta.

Di Pesisir Demak, selain sampah plastik, saat musim hujan para nelayan tradisional juga terganggu dengan adanya sampah pelepah pisang. Dibadingkan musim kemarau, timbulan sampah yang mencemari lautan ketika musim hujan ini semakin parah, bisa naik hingga 80%. Hal itu dipicu juga dengan adanya sampah kiriman dari daerah-daerah lain.

Menurut dia, permasalahan sampah yang dihadapi ini merupakan persoalan klasik yang hingga saat ini masih belum selesai. Sehingga ancaman terhadap mata pencaharian nelayan tradisional dari hari semakin mengkhawatirkan.

baca juga : Mencari Cara Terbaik untuk Menghentikan Sampah di Laut

 

Kondisi bibir pantai yang dipenuhi berbagai macam sampah di pesisir Jenu, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Untuk itu, Faizin berharap Pemerintah mempunyai skema yang penanganan sampah yang baik, misalnya mengajak kerja sama nelayan membersihkan laut yang tercemar sampah plastik maupun jenis limbah lainnya.

“Dalam tanda kutip sampah ini dihargai seperti halnya membeli ikan. Sehingga nelayan juga bisa mendapatkan nilai ekonomis dari sampah yang dibersihkan. Mereka bisa bekerja sambil membersihkan lingkungan,” ujar pria yang juga pedagang ikan ini.

Penanganan Belum Maksimal

Dalam mengatasi permasalahan sampah ini, banyak pihak sudah melakukan berbagai upaya. Bahkan, bagi Pemerintah Indonesia permasalahan sampah sendiri menjadi masalah yang serius. Melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut, Pemerintah berkomitmen untuk mengurangi limbah padat hingga 30 persen melalui metode 3R.

Diantaranya yaitu Reuse (menggunakan kembali sampah plastik yang masih dapat digunakan, Reduce (mengurangi segala sesuatu yang dapat menjadi sampah, dan Recycle (mengolah kembali sampah menjadi barang atau produk baru yang bermanfaat dalam kehidupan sehari).

Melalui aturan tersebut Pemerintah Indonesia juga menargetkan bisa mengelola 70 persen limbah padat pada 2025 mendatang. Juga bisa mengurangi produksi sampah plastik di laut hingga mencapai 70 persen pada 2025.

baca juga : Dilema Warga Meski Sampah di Cilincing Sudah Dibersihkan

 

Jaring nelayan yang terlilit sampah di Desa Keranji, Kecamatan Paciran, Lamongan, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Muhammad Syafii (36), Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Kabupaten Demak mengatakan, dengan adanya berbagai aturan untuk penanganan dan pengelolaan sampah itu dia berharap Pemerintah lebih giat lagi mensosialisasikan ke masyarakat, termasuk warga yang ada di peisir.

Karena menurutnya meski aturan sudah banyak dibuat, namun kenyataanya di laut sampah plastik maupun sampah lain masih mengganggu aktivitas nelayan. Karena keberadaan sampah-sampah ini cukup masih dijumpa di lautan, ada di permukaan, tengah maupun di dasar laut, sehingga nelayan sulit menghindari.

“Itu artinya penerapan aturan masih belum maksimal. Di pesisir warga masih seringkali membuang sampah di tepi laut, kalau sudah mencemari lautan dampaknya selain jaring, mesin juga bisa rusak,” katanya.

Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Nani Hendri menyebut persoalan sampah ini merupakan persoalan bersama yang harus dipecahkan secara bersama. Pencemaran sampah plastik di laut menjadi permasalahan lintas batas.

 

Seekor hiu paus sedang memakan ikan kecil termasuk sampah plastik. Foto : shutterstock

 

Perlu penanganan secara komprehensif oleh berbagai pihak, bahkan lintas sektoral. Untuk mengatasi masalah ini secara tuntas diperlukan kebijakan terobosan dari persepektif ekonomi dan keuangan. Mekanisme kerjasama internasional dan keterlibatan produsen plastik dinilai sangat diperlukan.

Kaitanya dengan keuangan, dia memaparkan data terbaru dari hasil penelitian National Plastic Action Partnership (NPAP), kemitraan yang menjadi jembatan penghubung antara Pemerintah dengan masyarakat umum, khususnya sektor swasta.

“Data dari NPAP tersebut diketahui kalau total investasi yang dibutuhkan oleh Indonesia pada periode 2017 hingga 2040 besarnya mencapai USD18 miliar,” terang Nani.

 

Exit mobile version