Mongabay.co.id

Kondisi Budidaya Kerapu di Sumbar: Permintaan Tinggi, Produksi Rendah

 

Siang itu, sebuah boat putih berjalan melambat ke arah Pantai Paku, Sungai Nyalo Mudiak Aia, Kecamatan Koto XI Tarusan, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat.

Pio, remaja pengemudi boat itu datang menjemput saya untuk mengantarkan ke keramba jaring apung (KJA) milik CV. Andalas Samudera Sejati (ASS) di kawasan Teluk Sungai Nyalo. KJA milik Ali Poluk (53) itu berjarak 15 menit dari pantai ke arah laut.

Tiba di tujuan, terlihat KJA berbahan plastik yang sangat kokoh sehingga bisa dilewati beberapa orang dewasa. Tali-tali jaring pembatas yang dipasang disekelilingnya terlihat sudah ditumbuhi lumut dan karang-karang kecil.

KJA itu berjumlah 200 lubang, namun hanya terisi sekitar 100 lubang. Sebagian besar diisi ikan kerapu cantang (Eniphelus sp.) dan sebagian lagi berisi kerapu cantik, silangan dari kerapu macan dan batik.

KJA ini dilengkapi sebuah rumah kayu kecil sebagai rumah tunggu yang terhubung dengan jalan titian kecil yang terbuat dari papan. Untuk penerangan mereka menggunakan panel tenaga surya.

baca : Menteri KKP Ubah Kebijakan untuk Tingkatkan Ekspor Ikan Kerapu

 

Keramba Jaring Apung (KJA) ikan kerapu milik CV. Andalas Samudera Sejati di Sungai Nyalo Mudiak Aia, Kecamatan Koto XI Tarusan, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Ali Poluk mengantar saya melihat-lihat isi keramba. Setiap keramba diisi ikan yang berbeda ukuran mulai dari anakan hingga kerapu dewasa siap panen.

Setiap kotak keramba bisa memuat ikan sebanyak 150-200 kilogram. Ikan dibesarkan mulai dari benih berukuran 3 hingga 12 sentimeter selama empat bulan. Setelah itu, benih ikan siap dibesarkan.

“Dari benih jadi bibit, bibit kita pelihara disini selama kurang lebih 10 bulan hingga mencapai berat 6 hingga 9 ons,” jelasnya, Senin (20/6/22). Menurut Ali ukuran segitu merupakan ukuran ideal untuk dijual di pasaran, biasa disebut kualitas super.

Sementara untuk bibit kerapu, pembudidaya kerapu di Sumbar termasuk juga CV. ASS masih bergantung pihak luar. Sebagian lagi berasal dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP).

“Sumbar tidak menghasilkan bibit sendiri. Jumlahnya bibitnya masih sangat sedikit karena terkendala indukan. Bibit saya beli sendiri dari Bali. Kolam ada 200 lubang, hanya terpakai 100 buah yang diisi bibit kerapu sekitar 30-50 ribu ekor,” jelas Adi, manajer CV. ASS.

baca juga : CKIB Percepat Proses Ekspor Kerapu Hidup dari Maluku ke Hong Kong   

 

Ali Poluk, pemilik KJA ikan kerapu di Sungai Nyalo Mudiak Aia, Kecamatan Koto XI Tarusan, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Mereka ingin menghasilkan bibit sendiri, tapi terkendala tenaga ahli pembibitan kerapu. “Sekarang fokus kami menata perusahaan ini untuk lebih baik. Jika pembesaran sudah baik, kami usahakan untuk melakukan pembibitan. Saat ini kami lagi mencoba menghasilkan kerapu dengan persentase angka kehidupan yang lebih tinggi,” katanya.

Untuk pakan ikan kerapu, pembudidaya biasa menggunakan pakan alami berupa rucah. Selain lebih murah, rucah juga tergolong alami dan mudah didapat. Rucah adalah ikan-ikan kecil beraneka jenis yang dipasok nelayan disekitar perairan Sungai nyalo. Dalam satu bulan biasanya CV. ASS bisa menghabiskan sekitar 1-2 ton rucah.

 

Permintaan Tinggi, Persediaan Kurang

Pemasaran budidaya kerapu di Sumatera Barat masih mengandalkan kedatangan kapal dari Hongkong yang datang menjemput hasil budidaya 1-2 tahun sekali, yakni pada bulan Oktober atau November tergantung kesediaan kerapu di Sumbar.

Untuk sekali kedatangan, kapal Hongkong bisa mengangkut maksimal 25 ton ikan kerapu. Namun pembudidaya di Sumbar hanya bisa menyediakan kurang dari 20 ton kerapu.

“Ikan kerapu ini diekspor dalam keadaan hidup ke Hongkong menggunakan kapal laut apabila jumlahnya sudah mencapai 20 ton. Pada tahun 2021, ekspor hanya dilakukan satu kali sebanyak 17 ton karena tidak tersedianya pasokan,” sebut Adi.

Pembudidaya menjual kerapu cantik dan kerapu cantang 10 dolar atau Rp140 ribu per kilogram. Pembudidaya kerapu di Sumbar masih mengekspor ke Hongkong karena harga jual di dalam negeri masih sangat rendah sekitar Rp50-60 ribu/kg.

baca juga : Ribuan Ikan Kerapu Mati di Keramba Petani Lhokseumawe, Apa Penyebabnya?

 

Ikan kerapu cantang (Eniphelus sp.) berbobot 9 ons ini merupakan kualitas super dengan harga 10 dollar/kg. Foto: Vinolia/ Mongabay indonesia

 

Selain membudidayakan sendiri, CV. ASS ini juga menampung hasil kerapu budidaya masyarakat, baik perorangan atau kelompok yang ada di Sumbar. Namun belum banyak ikan kerapu yang bisa dikumpulkan. Bahkan kuota permintaan kapal Hongkong sebesar 20-25 ton untuk sekali angkut belum terpenuhi. Mereka hanya bisa disediakan sekitar 15-20 ton kerapu.

Adi menjelaskan ekspor kerapu dari Sumbar terkendala minimnya minat pembudidayaan kerapu. “Pembudidaya masih sedikit. Di Mentawai, saya hanya mengumpulkan 1-2 ton kerapu. Di Pesisir Selatan 1-2 ton, sedangkan Air Bangis sekarang tidak ada lagi,” sebutnya.

Minimnya pembudidayaan kerapu di Sumbar, lanjutnya, karena belum tersedianya bibit kerapu, butuh modal besar, dan jangka waktu pembesaran kerapu yang panjang sekitar satu tahun. Padahal budidaya kerapu bisa menjadi alternatif saat cuaca buruk untuk melaut. Kendala lain, penyakit dan kondisi alam yang susah ditebak sehingga menyebabkan upwelling arus laut yang tak jarang membuat kerapu mati.

 

Pendampingan DKP

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Pemprov Sumbar, Desniarti menyebut pemerintah mempunyai program tahunan untuk meningkatkan ekspor kerapu. “Tiap tahun kami ada program pengembangan budidaya kerapu, pembinaan kelompok berupa pelatihan, menyediakan benih dan pakan yang diproduksi di Sungai Nyalo dan Sungai Bungin, Pesisir Selatan meski masih dalam jumlah kecil,” jelasnya.

Desniarti tidak menampik minimnya motivasi nelayan untuk melakukan budidaya kerapu dikarenakan terkendala modal untuk membeli benih dan pakan ditambah lagi kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan kala itu Susi Pudjiastuti beberapa tahun lalu yang melarang kapal Hongkong masuk ke Indonesia.

“Awalnya kami sudah mengembangkan usaha budidaya kerapu. Kami beri bantuan keramba dan benih. Tetapi ada kebijakan pembatasan kapal Tiongkok oleh Menteri Susi dahulu. Disaat orang-orang mau panen, pasar susah. Disitu agak menurun minat pembudidaya,” sebut Desniarti.

Ditambah lagi masa pembudidayaan yang lama, yaitu 9 bulan untuk jenis kerapu cantik dan 1,5 tahun untuk kerapu bebek. Kendala lainnya yaitu harga jual yang murah di pasar lokal, sehingga sulit untuk balik modal bagi pembudidaya.

baca juga : Bermasalah di Indonesia Timur, Budidaya Kerapu Sukses di Natuna

 

Aktivias pembudidayaan ikan kerapu di KJA milik CV. Andalas Samudera Sejati di Sungai Nyalo Mudiak Aia, Kecamatan Koto XI Tarusan, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Saat ini, DKP Sumbar mencoba mengembalikan semangat pembudidaya kerapu. “Selain dari APBD, kita coba dengan CSR dari BUMN seperti Pertamina, dan perbankan untuk membantu pembudidaya. Untuk modal awalnya, mereka sudah punya KJA. Tinggal pembelian benih dan pakannya,” katanya.

Dari data DKP Sumbar, saat ini ada 35 kelompok pembudidaya kerapu dengan rata-rata 5-7 orang per kelompok. Kelompok ini mulai aktif tersebar di Pesisir Selatan, Nagari Sungai Nipah, Sungai Bungin dan Sungai Nyalo.

“Beberapa KJA yang sudah kosong di perairan Mandeh, kami alihkan ke kelompok Sungai Bungin yang cukup aktif. Tahun ini kami akan bantu benih dan pakan dengan mengupayakan CSR dari BUMN,” pungkas Desniarti.

 

Exit mobile version