Mongabay.co.id

Polemik Cantrang : Kebijakan Pelarangan Setengah Hati (1)

 

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki wilayah laut yang begitu luas. Memiliki 17 ribu pulau lebih, luas perairan laut Indonesia mencapai 3,25 juta kilometer persegi. Ditambah 2,01 juta kilometer yang masuk zona ekonomi eksklusif (ZEE), total separuh wilayah Indonesia adalah lautan.

Membentang dari Sabang hingga Merauke, laut Indonesia menyimpan kekayaan yang melimpah, terutama perikanan. Pada 2021 lalu, mengutip data statistik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), nilai ekspor hasil perikanan tangkap Indonesia mencapai 5,7 miliar dolar. Meningkat hampir 10 persen dibanding tahun sebelumnya yang tercatat sebesar 5,2 miliar dolar.

Peneliti senior perikanan tangkap pada Pusat Studi Pesisir dan Kelautan Universitas Brawijaya, Malang, Sukandar, mengatakan sektor kelautan menyimpan potensi sangat besar. Bukan hanya menjadi sumber penghasilan sebagian warga, tetapi juga perekonomian Indonesia. Akan tetapi, pengelolaan yang salah akan menjadi problem tersendiri di kemudian hari.

“Bisa saja karena eksploitasinya yang berlebihan, pengelolaannya yang tak benar justru akan jadi persoalan. Nah, disinilah pemerintah harus berpikir bagaimana pengelolaanya secara benar,” katanya kepada Mongabay, Rabu 13 Juli 2022.

Sukandar melanjutkan, pemerintah sejatinya telah berupa menyusun berbagai strategi tentang pengelolaan perikanan ini. Termasuk, mengatur penggunaan alat penangkapan ikan (API) yang ramah lingkungan, tidak merusak. “Kalau dulu ada (API) trawl yang dilarang, mungkin sekarang adalah terkait pelarangan (API) cantrang ini,” lanjutnya.

Dikatakan Sukandar, cantrang sejatinya bukan termasuk kategori trawl. Akan tetapi, dalam perjalanannya, alat tangkap ini banyak mengalami modifikasi. Baik dari segi bentuk maupun penggunaannya sehingga dinilai dapat menimbulkan kerusakan lingkungan bagi ekosistem laut.

baca : Mencari Solusi Cantrang

 

Sejumlah nelayan memperbaiki jaring cantrang di kawasan Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Portal news.kkp.go.id., sedikit memberi gambaran bagaimana proses metamorfosa alat tangkap ini sejak puluhan tahun silam. Dari waktu ke waktu, kapal pengguna cantrang semakin besar dengan panjang tali selambar mencapai 1.000 meter lebih. Hasil tangkapan pun semakin berubah, mengikuti modifikasi alat.

Pada tahun 1970-an, target tangkapan cantrang adalah ikan demersal (ikan dasar) besar. Namun, mulai kurun 1990-an, berubah menjadi ikan besar dan kecil.

Bersamaan dengan itu, tipologi kapal juga berubah dari yang semula hanya berukuran 5 gross tonnage (GT) di era 1960-1970, menjadi 20 GT dan dilengkapi gardan di 1990-an. “Dan sekarang berkembang lagi menjadi 30 GT pada kurun 2000-an. Bahkan berlemari pendingin (freezer) mulai 2010 dan di atas 30 GT,” tulis KKP.

baca juga : Tepatkah Operasional Kapal Cantrang Sekarang?

 

 

Terkait keputusan pelarangan penggunaan cantrang saat ini, Sukandar berharap pemerintah bisa lebih konsisten. Menempatkan masa depan lingkungan dan ekosistem laut di atas berbagai kepentingan lain. Baik ekonomi maupun politik.

“Karena semua tahu, ada banyak kepentingan yang mengiringi soal isu ini. Saat kepentingan ini lebih kuat, maka yang benar akan kalah. Lingkungan jadi nomor sekian sehingga maju mundur seperti sekarang ini,” jelasnya.

 

Cantrang Kembali Dilarang

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW), Moh Abdi Suhufan mengakui, laut Indonesia menyimpan banyak potensi yang begitu melimpah. Sayangnya, sektor ini banyak mengalami berbagai tekanan. Bukan hanya eksploitasi yang berlebihan, tetapi juga penggunaan alat penangkapan ikan (API) yang tak ramah.

“Untuk menjaga agar perikanan Indonesia ini tetap ada dan bisa menjadi sumber penghidupan generasi berikutnya, bagaimana mewujudkan perikanan berkelanjutan menjadi hal yang sangat penting,” kata Abdi yang dihubungi Mongabay Indonesia, Senin, 27 Juni 2022.

Karena itu, Abdi pun mengapresiasi langkah pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang telah menerbitkan Permen KP No.18 Tahun 2021 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Laut Lepas serta Penataan Andon Penangkapan Ikan. Beleid itu mengatur tentang larangan penggunaan cantrang sebagai alat penangkapan ikan.

Namun demikian, terbitnya beleid itu tidak serta merta membuat tugas KKP selesai. Sebaliknya, jauh lebih penting adalah memastikan regulasi itu berjalan lapangan. Sebab, berkaca pada pengalaman sebelumnya, kebijakan pelarangan cantrang ini tidak pernah benar-benar efektif karena masih jamak dipakai para nelayan.

baca juga : Babak Baru Polemik Cantrang

 

Sejumlah nelayan memperbaiki jaring cantrang di kawasan Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Abdi bilang, larangan penggunaan cantrang bukan hanya untuk kepentingan keberlanjutan perikanan di Indonesia. Lebih dari itu, juga sebagai usaha menjaga agar para nelayan tetap bisa kembali melaut di masa mendatang. Sebab, penggunaan cantrang yang berpotensi merusak ekosistem laut, diyakini akan berdampak pada populasi sumber daya ikan di laut.

“Kalau ekosistemnya rusak, apa ikan-ikan masih ada? Pasti turun. Kalau terus-terusan turun, apa nelayan masih akan melaut? Tentu tidak, karena akan semakin merugi,” katanya.

Menurut Abdi, salah satu alasan paling mendasar larangan penggunaan cantrang adalah cara kerjanya yang menyapu bersih hingga ke dasar lautan. Akibatnya, apapun yang ada di dasar laut, terancam rusak. Potensi kerusakan itu tidak sebanding dengan hasil tangkap cantrang yang didominasi ikan kecil dengan harga relatif murah.

Bukan hanya cara kerjanya yang merusak. Penggunaan cantrang juga berpotensi menimbulkan konflik horizontal antar nelayan. Insiden pembakaran kapal cantrang asal Rembang oleh nelayan di Kalimantan Selatan pada April 2022 lalu adalah salah satu contohnya. Kendati sarat dengan persoalan, pelarangan cantrang ini acapkali kalah oleh kepentingan politik.

Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Parid Ridwanuddin mengamini hal itu. Ia menyebut, larangan pemaian cantrang sebagai alat tangkap sejatinya sudah berlangsung lama. Bahkan sejak zaman Presiden Soeharto dulu, yaitu dengan Keputusan Presiden No.39/1980 tentang penghapusan jaring trawl. Hanya saja, banyaknya kepentingan menjadikan kebijakan ini timbul tenggelam.

“Ada kepentingan politik yang mengiringi. Misalnya, saat Pilgub Jateng dulu, ada salah satu partai yang kebetulan mengusung calon yang meminta agar cantrang diperbolehkan demi meraih dukungan dari para nelayan di Jateng. Karena Jateng menjadi salah satu wilayah dengan nelayan cantrang paling banyak,” kata Parid yang dihubungi Rabu, 29 Juni 2022.

menarik dibaca : Pelegalan Cantrang Jadi Bukti Negara Berpihak kepada Investor

 

Suasana bongkar muatan di Pelabuhan Perikanan Pantai Tasikagung, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Belajar dari kasus tersebut, Parid menilai, pembangunan sektor perikanan acapkali bersinggungan dengan banyak kepentingan. Alih-alih membangun komitmen perikanan berkelanjutan, kebijakan yang diambil justru kerap terkangkangi oleh kepentingan politik. “Dan itu tidak akan berubah selama pucuk pimpinan di kementerian ini masih berasal dari latar politisi, bukan profesional,” ungkapnya.

Cerita yang sama juga terjadi tatkala Menteri Kelautan dan Perikanan dijabat Edy Prabowo. Hanya selang beberapa pekan semenjak dilantik jadi menteri, Edy serta merta memicu kontroversi dengan memperbolehkan kapal cantrang kembali beroperasi. Sekalipun, rencana itu gagal terwujud setelah Edy ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Jadi kuncinya memang di KKP. Kalau dari parpol, biasanya lebih mengakomodir. Kalau menteri dari luar partai atau kalangan profesional, biasanya lumayan kuat soal pelarangan ini, sekalipun terkadang benturannya luar biasa di tingkat atas. Dan itu bisa kita lacak bagaimana dinamikanya,” jelas Parid.

Pada akhirnya, pemerintah memang melarang penggunaan cantrang, sebagaimana tertuang dalam Kepmen KP No.18 Tahun 2021 tentang Penempatan Alat Tangkap dan menggantinya dengan Jaring Tarik Berkantong (JTB). Akan tetapi, keberadaan JTB dengan cantrang sejatinya tidak jauh berbeda. Sebab, cara kerja keduanya sama persis.

Parid mengatakan, pengoperasian kedua alat tangkap itu dengan menarik jaring dari dasar laut menggunakan gardan yang terpasang di kapal. Satu-satunya yang membedakan adalah bentuk dan ukuran mata jaring sebelumya dibawah 1 inchi, kini minimal 2 inchi. Karena itu, Parid menilai bila penamaan JTB hanya sebagai bentuk kompromi antara pemerintah dan nelayan.

“Secara politik, pemerintah belum berani untuk terang-terangan melarang penggunaan cantrang dan sejenisnya. Jadi, jalan satu-satunya ya mengganti nama demi menghindari penggunaan istilah cantrang karena dapat memicu perdebatan. Walaupun sebetulnya keduanya tidak jauh berbeda,” jelasnya.

baca juga : Nelayan Maluku Utara Minta Pemerintah Cabut Aturan Diperbolehkannya Cantrang

 

Aktivitas bongkar muatan di kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Parid mengatakan, ada banyak kajian yang menyebut dampak dari penggunaan cantrang ini. Termasuk, oleh pemerintah sendiri yang dipublikasikan tahun 2018 silam. Dalam kajian itu, pemerintah menyebut ada tiga alasan yang mendasari pelarangan cantrang ini.

Pertama, mendorong kerusakan ekosistem laut, terutama dasar perairan; kedua, eksploitasi sumber daya ikan yang berlebih karena tidak selektif; serta ketiga, memicu konflik sosial, dalam hal ini dengan nelayan tradisional.

 

Jalan Panjang Pelarangan

Di sisi lain, polemik soal cantrang sejatinya sudah berlangsung lama. Tahun 1980 pemerintah mengeluarkan Kepres No.39 Tahun 1980 yang melarang penggunaan jaring trawl. Sebagai catatan, meski semula cantrang bukanlah trawl, namun, cara kerjanya yang ditarik menjadikannya sejenis dengan trawl.

Buku Industri Perikanan Nasional 2017 dan Berbagai Upaya Pembenahan oleh Pemerintah yang disusun Pusat Data dan Analisa Tempo (2019) banyak menyinggung cantrang berikut polemik yang mengiringinya. Kendati polemik cantrang sudah berlangsung lama, namun, eskalasinya meningkat seiring terbitnya Peraturan Menteri No.2/PERMEN-KP/2015 dan Surat Edaran Nomor 72/MEN-KP/II/2016 yang melarang penggunaan cantrang dan menggantinya dengan gillnet.

Sejak awal 2017, pemerintah membagikan gillnet dan menggelar pelatihan bagi nelayan. Namun, belum semua nelayan kebagian dan terpaksa memakai cantrang. Berdasarkan data kantor Staf Kepresidenan kala itu, jumlah nelayan yang telah berganti alat tak sampai 10 persen dari jumlah nelayan di Indonesia.

Untuk menghindari konflik, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti kala itu memperpanjang masa penggunaan cantrang, tetapi hanya untuk daerah tertentu. Susi juga menegaskan, pemerintah akan mengganti cantrang dengan gillnet untuk nelayan, tetapi hanya untuk kapal di bawah 10 GT. Untuk kapal dengan kapasitas lebih besar, pemerintah akan membantu akses ke perbankan.

Susi menyebut, penggunaan cantrang besar merupakan ulah saudagar kapal. Omzet pengguna cantrang dengan bobot di atas 30 GT, berkisar Rp8-12 miliar. Menurut Susi, cantrang yang dipasang di kapal besar bisa merusak dasar laut karena panjang tali selambarnya bisa mencapai 1000 meter lebih dengan luas sapuan mencapai 280 hektar. Kian menurunnya tangkapan udang dan rajungan di kawasan Pantura Jawa disebut Susi karena banyak kapal besar yang memakai cantrang.

baca juga : Kapal Cantrang Asal Luar Madura Kembali Resahkan Nelayan Masalembu

 

Para ABK nelayan cantrang di Lamongan melakukan bongkar muatan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Tercatat, kebijakan pelarangan cantrang ini mengalami beberapa kali penundaan. Pada 24 April 2009, pemerintah memutuskan untuk tetap memperbolehkan cantrang. Hanya, untuk kapal-kapal di bawah 30 GT, izin penggunaannya diserahkan ke Pemerintah Daerah.

Pada 9 Januari 2015, KKP menerbitkan aturan larangan cantrang. Namun, kebijakan ini diprotes para nelayan di bulan berikutnya. Hingga pada 6 April 2015, digelar dialog di Istana Negara bersama Presiden Jokowi dengan dihadiri nelayan dan juga Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.

Pada 3 Juli 2015, Ombudsman RI merekomendasikan kepada pemerintah untuk menunda larangan cantrang. Masa peralihan dan juga minimnya sosialiasi disebut sebagai alasannya. Hingga pada Oktober 2015 – Desember 2016, pemerintah memperbolehkan penggunaan cantrang.

Januari 2017, pemerintah kembali menerbitkan moratorium pelarangan cantrang. Namun, polemik kembali menghangat seiring desakan salah satu parpol parlemen. Sebagai catatan, desakan itu bersamaan dengan momentum pencalonan gubernur Jawa Tengah oleh kader parpol dimaksud.

Namun, seiring dengan lengsernya Susi dan digantikan oleh Edhy Prabowo, kebijakan pelarangan itu kembali dianulir: cantrang kembali diperbolehkan. Hingga kemudian setelah Edhy Prabowo ditangkap KPK, larangan cantrang kembali diberlakukan, seiring dengan terbitnya Keputusan Menteri KP Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penempatan Alat Tangkap Perikanan.

Prof. Ari Purbayanto dalam risetnya menyebut cantrang, alat tangkap populer yang digunakan oleh nelayan Pantura sejak tahun 1960. Setelah pelarangan trawl, sejalan dengan terbitnya Keppres No.39/1980, banyak nelayan trawl yang beralih menggunakan cantrang. Alat ini dioperasikan dengan cara melingkarkan tali selambar yang terhubung dengan jaring ke ke atas kapal. Setelah itu ditarik.

Sebagai catatan, hasil pendataan oleh KKP pada 2015, jumlah kapal cantrang yang beroperasi mencapai 5.781 unit. Dua tahun berikutnya, tepatnya 2017, angkanya naik lebih dari tiga kali lipat, sekitar 14.367 unit. Kini, merujuk data statistik KKP 2020, diperkirakan masih ada 11 ribu kapal bercantrang yang beroperasi hingga saat ini.

baca : Nelayan Natuna Protes Jaring Tarik Berkantong mirip Cantrang

 

 

Bukan hanya merusak ekosistem. Oleh KKP, keberadaan cantrang juga berpotensi menyebabkan kerugian negara hingga triliunan rupiah. Mencapai Rp10,44 triliun di tahun 2015. Karena itu, di tahun yang sama pula, saat KKP dijabat Menteri Susi Pudjiastuti, pemerintah memutuskan untuk melarang semua jenis cantrang di seluruh wilayah perairan Indonesia.

Koordinator Nasional DFW, Moh Abdi Suhufan mengemukakan, selain cantrang, secara umum, pengelolaan perikanan Indonesia juga mengalami naik turun. Banyak terjadi inkonsistensi disana-sini. Bahkan, sejak Susi Pudjiastuti tak lagi menjabat sebagai menteri kelautan dan perikanan, menurutnya, ada sekitar 28 – 29 aturan yang direvisi.

Peneliti senior dari Fisheries Resource Center Indonesia, Irfan Yulianto mengatakan, pelarangan cantrang oleh pemerintah menyisakan pekerjaan besar. Itu karena dari pengalaman sebelumnya, penggunaan alat ini masih jamak dipakai lantaran minimya perangkat yang cukup oleh pemerintah.

“Siapkan dulu protokol pelarangannya. Jangan (cantrang) dilarang tapi di lapangan tetap ada pembiaran. Pemerintah kurang kompak tentang hal ini ditambah dengan perangkatnya terbatas,” ungkapnya.

Bahkan, jika pun akhirnya pemerintah kehabisan akal untuk menegakkan aturan soal ini, ia pun menyarankan pemerintah untuk menata ulang penggunaan cantrang. “Misalnya, dengan melegalkan, tapi dengan ada alokasi dan pengawasan yang kuat,” jelasnya. (bersambung)

 

Seri liputan tentang cantrang di Pantura Jawa ini merupakan hasil kerjasama antara Mongabay Indonesia dengan Fisheries Resource Center of Indonesia (FRCI)

 

 

Exit mobile version