Mongabay.co.id

Polemik Pelarangan Cantrang : Bagaimana Kondisi di Lapangan? (2)

 

Pemerintah memutuskan untuk melarang penggunaan cantrang di seluruh wilayah perairan Indonesia. Hal itu seiring dengan terbitnya Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Laut Lepas serta Penataan Andon Penangkapan Ikan

Sayangnya, kebijakan itu tak sepenuhnya diterima para nelayan. Hasil penelusuran Mongabay Indonesia di beberapa simpul nelayan Pantura Jawa sepanjang Juni-Juli lalu, cantrang masih jamak digunakan sebagai alat tangkap. Seperti di Lamongan (Jawa Timur), Rembang, Pati, dan Tegal di Jawa Tengah.

Ada beberapa alasan yang menjadikan para nelayan enggan mengganti alat tangkap dari cantrang ke jaring tarik berkantong (JTB), sebagaimana rekomendasi pemerintah. Selain sudah menjadi kebiasaan sejak lama, para nelayan khawatir penggantian cantrang ke JTB akan menurunkan pendapatan mereka.

Agus Mulyono, koordinator Aliansi Nelayan Indonesia (ANI) Lamongan, Jawa Timur menyebut, penggunaan cantrang sudah menjadi kebiasaan nelayan dari dulu. Ia pun meyakini kebijakan itu tidak akan berjalan efektif.

Agus yang dua periode menjabat Kades Kandangsemangkon ini mengaku sempat menanyakan efektivitas JTB dalam menangkap ikan. Akan tetapi, tidak mendapat jawaban memuaskan. “(JTB) itu tidak efisien bagi nelayan. Dan kalau diterapkan betul, kami tidak akan mendapat ikan,” kata Agus yang ditemui Mongabay Indonesia, Rabu, 6 Juli 2022.

Para nelayan, lanjutnya, tidak bersedia menggunakan JTB bila hasil yang didapat tidak setara dengan cantrang. Karena alasan itu pula, sebagian besar kapal di Lamongan belum memperbarui izin sebagai konsekuensi peralihan alat tangkap. Apalagi, berkas dan juga prosedur yang dilalui dirasa cukup merepotkan.

baca : Polemik Cantrang : Kebijakan Pelarangan Setengah Hati (1)

 

Sejumlah nelayan membongkar jaring cantrang di kawasan Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Versi Agus, sedikitnya ada 2.500 kapal ikan yang berangkat dan berlabuh di Pelabuhan Lamongan. Dari jumlah itu, 700 kapal diantaranya merupakan jenis cantrang dengan kapasitas maksimal 30 GT. ”Sisanya kapal-kapal lain dengan ukuran yang lebih kecil,” ungkapnya.

Statistik perizinan di laman kkp.go.id., seolah mengonfirmasi pernyataan Agus perihal keengganan para nelayan setempat mengurus perizinan ini. Merujuk data yang terpampang di laman KKP, dari ratusan kapal yang ada di Lamongan, baru satu kapal yang mengantongi Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI).

Sutikno, wakil kapten penangkap ikan di Lamongan mengatakan, larangan penggunaan cantrang oleh pemerintah membuat para nelayan enggan mengurus pembaruan izin. Walhasil, mereka tetap memakai cantrang sebagai alat tangkap utama saat mencari ikan.

“Kan mestinya melakukan pembaruan izin untuk penggantian alat tangkap. Tapi ya gimana wong cantrang ini sudah menjadi kebiasaan. Tidak mau kalau disuruh ganti,” ujarnya yang ditemui Minggu, 3 Juli 2022.

Kendati tidak mengantongi SIPI, Sutikno pun tetap berangkat ke Perairan Masalembu, Kabupaten Sumenep yang memang menjadi daerah tangkapannya.

Sutikno mengatakan, saat ini, beban nelayan semakin berat. Selain kenaikan setoran Pendapatan Nasional Bukan Pajak (PNBP), banyak item lain yang membutuhkan biaya. Termasuk pula imbas kenaikan harga solar, yang menjadikan biaya operasional membengkak. Mengganti cantrang, berpotensi menurunkan hasil tangkapan. Dan itu berarti merugi.

Akan tetapi, ceritanya akan menjadi berbeda ketika pemerintah memiliki informasi yang lebih detil terkait cantrang dan JTB. Misalnya, perbandingan perolehan tangkapan antara yang dihasilkan cantrang dan JTB.

“Kalau hasilnya seimbang ya tidak masalah. Masalahnya, dengan tangkapan rata-rata saja kadang tidak cukup menutupi operasional karena harga ikan turun. Pemerintah apa berpikir soal itu,” lanjut nelayan yang mengoperasikan kapal berukuran 30 GT ini.

baca juga : Mencari Solusi Cantrang

 

Sejumlah nelayan perempuan mengumpulkan hasil tangkapan ikan di kawasan Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Kini, sebagai buntut pelarangan cantrang, kapal-kapal di Lamongan sulit mengurus dokumen. Namun demikian, ia dan nelayan yang lain masih bisa melaut hanya dengan berbekal Surat Keterangan Melaut (SKM) yang diterbitkan Kantor Kesyahbandaran setempat.

“Karena masih pakai cantrang, untuk perbaruan dokumen memang tidak bisa. Kami ya hanya mengandalkan SKM dari Syahbandar. Kalau ada risiko kena operasi di laut, ya risiko ditanggung sendiri-sendiri. Syahbandar tidak mau bertanggungjawab, cuma memberikan SKM begitu saja,” ungkapnya.

Lamongan sendiri merupakan salah satu penghasil perikanan tangkap terbesar di Jawa Timur. Memiliki panjang pantai sekitar 45 kilometer, daerah di pesisir Pantura Jawa ini memiliki 2.500 kapal penangkap ikan.

Penuturan yang sama disampaikan Tarmolan, salah satu pemilik kapal cantrang di Lamongan. Menurutnya, cantrang paling banyak menghasilkan ketimbang alat tangkap yang lain. Dengan dimensi panjang 70 meter misalnya, ia bisa mendapat tangkapan hingga 20 ton sekali trip. Hampir semua jenis ikan dasar, besar atau kecil bisa tertangkap.

Karena itu, kebijakan pemerintah soal penggantian cantrang menjadi JTB, tak bisa diterima oleh Tarmolan. JTB, kata dia, tidak cocok dengan kondisi perairan yang menjadi wilayah tangkapan nelayan.

Menurut Tarmolan, keengganan nelayan mengganti alat tangkap bukan semata karena biaya penggantian. Sebab, untuk membeli jaring baru seukuran miliknya, hanya sekitar Rp10 juta. Tetapi, lebih karena hasil tangkapan. Nelayan dengan sendirinya akan berganti alat tangkap ikan bila terbukti menghasilkan lebih banyak daripada alat tangkap yang lama (cantrang).

“Kalau ganti alat atau jaring tapi tidak menghasilkan (lebih banyak) buat apa? Bakal repot karena melaut itu juga ada biaya operasionalnya. Tidak mungkin nelayan mau kalau hasil tangkapan lebih sedikit daripada biaya operasionalnya. Nelayan mau berganti alat tangkap kalau JTB memang terbukti lebih menghasilkan,” lanjutnya.

baca juga : Kapal Cantrang Asal Luar Madura Kembali Resahkan Nelayan Masalembu

 

Aktivitas bongkar muatan hasil tangkapan ikan di kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Tarmolan pun sempat memberi hitung-hitungan berapa ongkos yang harus dikeluarkan ketika melaut. Dikatakannya, untuk kapal seukuran 29 GT seperti miliknya, setidaknya memerlukan dua truk es batu (800 bal). Dengan setiap balnya Rp10 ribu, itu berarti butuh Rp8 juta hanya untuk es batu.

Bagaimana dengan BBM? Untuk logistik ini, Tarmolan biasa menghabiskan 30 drum atau sekitar 6.000 liter sekali trip. “Kalau yang GT-nya besar ya bisa lebih dari itu. Itu belum perbekalan lain seperti beras, lauk-pauk dan lainnya,” jelasnya.

Biaya operasional seperti ini yang selalu menjadi kalkulasi nelayan. Apakah tangkapan yang didapat sudah cukup menutup biaya operasional. “Kalau belum, selama logistik masih ada ya tetap lanjut,” ungkapnya.

Tarmolan menegaskan, selama ini, nelayan cukup mandiri memenuhi kebutuhannya sendiri. Tidak ada pendampingan. Teknologi alat tangkap, selama ini juga nelayan sendiri yang mengusahakan. Bukan dari pemerintah. Untuk semua itu, nelayan tak pernah mengeluh.

Ia meminta pemerintah untuk benar-benar mempertimbangkan segala hal dalam menentukan kebijakan. Sebab, kebijakan apapun yang diambil, akan berdampak di tingkat bawah. Bagaimanapun tingkat eskalasinya.

Satu yang nelayan paling perlukan adalah peranan pemerintah dalam menjaga stabilitas harga ikan. Sebab, selama ini, para nelayan acapkali terombang-ambing oleh harga ikan yang mudah naik turun. “Kalau mau, bagaimana harga ikan tetap stabil sehingga nelayan tak merugi. Ini yang seharusnya dilakukan pemerintah,” ujarnya.

Tarmolan menilai, selama ini pemerintah abstain terkait persoalan tersebut. Pemerintah baru hadir untuk menarik retribusi, pajak dan sebagainya. Dia menyebut, dengan rata-rata harga ikan saat ini hanya berkisar Rp6-8 ribu. Angka itu masih jauh dari harga keekonomian para nelayan yang ditaksir di Rp12 ribu per kilogramnya.

“Pemerintah tidak tanggung jawab disitu, menjaga harga ikan,” tegasnya. Bagi Tarmolan, selama 30 tahun menjadi nelayan, saat ini merupakan periode paling sulit. Permasalahan yang dihadapi para nelayan sekarang ini begitu kompleks. Mulai dari sulitnya mendapat BBM, perizinan berbelit, harga ikan terlalu murah, hingga sulit mendapat tangkapan.

perlu dibaca : Dialog Dengan Jokowi, Nelayan Curhat Ketidakstabilan Harga Ikan dan Isu Cantrang

 

Aktivitas bongkar muatan hasil tangkapan ikan di kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Dalam sehari, para nelayan hanya mampu menebar jaring maksimal 12 kali. Itu pun, tidak semua kesempatan dapat menghasilkan ikan. “Sekali tebar itu satu jam. Kalau tidak ada ikan ya pindah, begitu terus sampai dapat ikan,” jelasnya pemilik kapal yang mengaku turut melaut bersama ABK ini.

Dibanding dulu, tidak ada apa-apanya. Sekarang ikan sepi. Kapal makin banyak, eksploitasi penangkapan ikan berlebih, wilayah konservasi tidak pernah ditambah. Karena itu, makin kesini, jangkauan nelayan makin jauh. “Kalau harganya baik, nelayan tidak perlu mengambil banyak-banyak,” ungkapnya.

Satu kapal ada lebih dari satu jenis tangkapan. Untuk ikan demersal jenis Kuningan misalnya, ada Kuningan besar, Kuningan kecil, Tanggung, Pari, hingga Cumi. Hanya saja, saat ini dinilai belum musim tangkapan Cumi. Tarmolan mengatakan, musim tangkapan Cumi biasanya terjadi pada bulan Agustus-September.

Lamongan punya pantai sepanjang 47 kilometer dari Kecamatan Paciran dan Brondong. Berdasar data Pemkab setempat, jumlah kapal mencapai 3.432 unit dengan pusat kegiatan berada di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Brondong.

Pelabuhan ini memiliki luas 8 hektare dengan 25-30 kapal melakukan bongkar muat setiap harinya. Rata-rata total hasil tanglapan menapai 79 ribu ton per tahun dengan nilai transaksi harian mencapai Rp1-1,5 miliar.

baca : Tepatkah Operasional Kapal Cantrang Sekarang?

 

Kapal ikan harian yang mulai banyak menggunakan jaring minitrawl diparkir di Pelabuhan Perikanan Rembang, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Pertanyakan Hasil Kajian

Para nelayan cantrang mempertanyakan pernyataan sejumlah pihak yang menyebut penggunaan cantrang merusak ekosistem laut, terutama terumbu karang. Sebab, dalam praktiknya, para nelayan justru menghindari terumbu karang dalam menyasar tangkapan. “Kalau pun kena karang, jaring itu pasti rusak,” kilah Ketua Paguyuban Cantrang Dukuh Pabean, Desa Tasikagung, Kecamatan Rembang, Kabupaten Rembang, Kadromi.

Ramelan, sesepuh nelayan Rembang tak mengelak adanya keberatan dari para nelayan terkait pelarangan cantrang ini. Dirinya bahkan terang-terangan meminta tetap dilegalkan karena tumpuan hidup banyak orang.

Bukan hanya nelayan. Banyak pula petani yang mengandalkan tambahan pendapatan dari kegiatan perikanan di Rembang. Itu karena sebagian lahan pertanian di Rembang merupakan sawahan tadah hujan. Sehingga saat kemarau tiba, mereka bergeser ke pesisir atau pelabuhan untuk menjadi buruh lepas.

Mbah Suro, sapaan akrab Ramelan, mengamini hasil tangkapan cantrang lebih banyak ketimbang menggunakan alat tangkap lain, sekalipun ia tak menjelaskan detail perbandingannya.Terlebih lagi, cantrang sudah menjadi kebiasaan para nelayan sejak dulu kala.

Ia bahkan sempat memimpim rombongan ke Jakarta guna melakukan protes pelarangan cantrang oleh KKP saat masih dipimpin Susi Pudjiastuti. Bersamaan dengan keberangkatan itu, JTB yang sempat dipasang dan dipakai sebagai alat tangkap pengganti cantrang dilepas guna dikembalikan ke Jakarta.

Oleh para nelayan, JTB sempat diujicobakan. Tapi, rupanya tanpa hasil. Tidak banyak mendapat tangkapan. Kalau pun ada, hanya beberapa kilogram dari tiga hari melepas jaring. Oleh para nelayan, JTB pun akhirnya untuk dikembalikan lagi ke Jakarta.

Saat berada di Jakarta, Mbah Suro juga sempat terlibat perdebatan terkait daya rusak cantrang, sebagaimana disebutkan pemerintah. Ia menepis pernyataan KKP yang menyebut cantrang laiknya trawl. “Saya tantang. Mana buktinya. Silakan cek barangnya. Mana yang beda dan mana yang sama dari kedua alat ini,” kenangnya.

baca juga : Nelayan Maluku Utara Minta Pemerintah Cabut Aturan Diperbolehkannya Cantrang

 

Sejumlah nelayan memperbaiki jaring cantrang di kawasan Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Menurut Mbah Suro, alat tangkap trawl dilengkapi dengan papan pengembang. Karena itu, trawl bisa berfungsi di dasar laut berlumpur, atau di tengah untuk menyasar ikan yang mengambang. Sedangkan cantrang, katanya, itu ditebar dengan cara melingkar, lalu ditarik.

Soal opsi JTB sebagai API pengganti cantrang, Mbah Suro menilainya sebagai opsi tak masuk akal. Apalagi, cara kerja JTB juga persis sama dengan cantrang. Sama-sama menyasar ikan dasar laut. Karena itu, hanya demi lolos pemeriksaan, beberapa nelayan tetap membawa cantrang sebagai persediaan.

“Jadi, nanti kalau ada operasi di atas laut, JTB ini yang ditunjukkan. Padahal yang dipakai ya tetap cantrang. Begini ini kan pemerintah mestinya bijak. Keras tidak apa-apa. Tapi yang bijak. Karena catrang ini kan sudah sejak lama. Asal tidak di zona 1 (12 mil dari daratan) kan tidak masalah, tidak mengganggu nelayan kecil,” sarannya.

Alasan yang sama juga disampaikan para nelayan di Rembang, Pati dan juga Tegal. Hadi Sutrisno, koordinator Front Nelayan Bersatu (FNB) Pati menyebut, beberapa koleganya yang telah beralih ke JTB mengaku kecewa dengan hasil tangkapan.

“Hasil tangkapan turun, tak maksimal. Kisaran 20-30 persen,” kata Hadi. Dengan biaya operasional yang makin tinggi, beberapa nelayan yang telah mengganti alat memilih untuk parkir kapal karena tidak sebanding dengan biaya operasional.

Senada dengan Hadi, Sekretaris Asosiasi Nelayan Dampo Awang Kabupaten Rembang, Lestari Priyanto menyebut kebijakan pemerintah yang meminta nelayan cantrang mengganti alat tangkap kurang tepat. Bahkan merugikan. “Kalau pertimbangannya merusak ekosistem atau terumbu karang, saya rasa tidak. Karena nelayan cantrang ini justru berusaha menghindari karang karena bisa merusak jaring,” ungkapnya.

Riook, sapaan akrabnya mengatakan, dulunya cantrang adalah jaring payang. Namun, oleh nelayan kemudian dimodifikasi dengan memperkecil mata jaring guna memperkuat daya tangkap. Tidak mudah kendor. “Tetapi, pemerintah menangkapnya berbeda. Ini dianggap menghabiskan ikan-ikan kecil, padahal bukan itu maksudnya. Supaya lebih kuat saja,” jelas Riok.

baca juga : Cerita Nelayan Natuna, Terjepit Antara Kapal Cantrang dan Kapal Asing

 

Sejumlah nelayan memperbaiki jaring cantrang di kawasan Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Karena dalam sebuah kesempatan audiensi dengan pemerintah, Riook sempat menyampaikan alasan itu kepada pihak KKP di Jakarta. Termasuk juga kepada Komisi IV DPR RI, selaku komisi yang membidangi sektor perikanan.

Menurut Riook, para nelayan sebenarnya sudah cukup mandiri. Di sela kesibukan melaut, mereka terus belajar untuk memperbaiki kelengkapan penangkapan. “Tanpa ada sentuhan dari KKP, tanpa campur tangan pemerintah, nelayan cari alat sendiri, memodifikasi sendiri,” ujarnya.

Belum ada ceritanya, lanjut Riook, KKP turut ke lapangan guna memperkenalkan alat tangkap yang efektif pada nelayan. Karena itu, sikap pemerintah yang melarang cantrang dinilainya sebagai langkah mundur. “Itu kan tidak ideal. Ketika pemerintah buat aturan, harus disesuaikan dengan kondisi saat ini. Seharusnya cukup dibatasi. Tidak usah diminta ganti,” jelas Riook.

Riook sendiri mengaku menjadi salah satu korban kebijakan pemerintah terkait pelarangan cantrang ini. Sempat memiliki tiga unit kapal, ia lantas menjual kapalnya tepat menjelang Idul Fitri lalu. Sebab, gara-gara pelarangan cantrang, perputaran uangnya pun seret hingga tak mampu untuk membayar angsuran di bank.

“Silakan (cantrang) dilarang. Tapi kasih solusi, kok repot tenan. Cuma kami ini bisa apa? Kalau sudah capek, mentok ya demo. Dan pasti itu tidak main-main wong semua nganggur. Sementara ini masih ditahan” lanjutnya.

Riook yang sudah 30 tahun menjadi nelayan ini pun sempat membandingkan bagaimana kondisi nelayan saat ini dibanding dulu. Dari sarana dan prasarana, menurutnya, nelayan sekarang lebih banyak terbantu dibanding ketika ia lulus SMA, awal ketika ia melaut.

“Fasilitas di pelabuhan kan lebih lengkap sekarang dibanding dulu. Kan dulu semua pakai otot, sekarang sudah banyak peralatan dan fasilitas. Jadi ketika pendaratan, nelayan tidak terlalu berat,” ungkapnya. Namun demikian, dari sisi hasil tangkapan, menurut Riook, lebih banyak dulu ketimbang sekarang. Sekalipun, ia tidak merinci detail perbandingannya.

 

Suasana bongkar muatan di Pelabuhan Perikanan Pantai Tasikagung, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia 

 

Pola kerja juga demikian. Dulu, ia hanya perlu sepekan melaut dan pulang dengan membawa hasil tangkapan. Tetapi kini, nelayan perlu waktu hingga berbulan-bulan untuk memperoleh hasil tangkapan seperti yang dinginkan. Itu pun dengan lokasi atau jangkauan yang lebih jauh.

Dulu, nelayan hanya perlu melaut di jalur pendek. Tak lebih dari 10 mil. Tetapi, kini mereka harus berangkat ke lokasi yang lebih jauh seperti Natuna, Makassar, hingga perairan Arafura di Maluku. Makin banyaknya kapal pencari ikan dinilai menjadi salah satu penyebabnya.

Kemudahan akses perbankan menjadikan siapapun bisa memiliki kapal. Termasuk dirinya. Riook mengaku sempat memiliki dua unit kapal. “Habis karena kebijakan pemerintah, pelarangan trawl itu. Pernah punya lagi cantrang ya gagal lagi. Karena lama nggak bisa melaut, akhirnya ya selesai,” ungkapnya getir.

Darah nelayan pada diri Riook mengalir dari ayahnya yang seorang nakhoda. Kebetulan, ketika itu, sang ayah merupakan nakhoda kapal milik warga Blimbing, Lamongan. Bahkan, dari para nelayan Blimbing pula masyarakat pesisir Rembang banyak belajar.

Sebelum menjadi nelayan, Riook sempat bekerja di sebuah pabrik pengolahan terinasi. Setahun kemudian, ia undur demi menjadi anak buah kapal (ABK) yang dinakhodai ayahnya sendiri. Berbekal tabungan serta akses perbankan, beberapa tahun kemudian, ia membeli satu unit kapal berukuran 10 GT.

“Waktu itu kan kapal masih murah,” terangnya. Gagal menjadi pemilik kepal, Riook kini memilih untuk mencari penghasilan di darat dengan menyewakan fasilitas bongkar ikan. Seperti keranjang basket.

Riook mengatakan, apapun kebijakan yang diambil pemerintah pasti akan ada dampaknya di bawah. Pelarangan trawl dan cantrang, misalnya, lambat laun membuat aktivitas pelabuhan sepi. Tidak banyak kapal yang bisa melaut karena terbentur perizinan. Imbasnya, sirkulasi ekonomi di pelabuhan pun terganggu.

Bagi nelayan seperti dirinya yang masih memiliki tanggungan angsuran, jalan satu-satunya adalah menjual kapal. “Kalau pun dokumen lengkap, nelayan masih harus dihadapkan dengan harga BBM yang dari waktu ke waktu makin tinggi. Nelongso rasane,”pungkasnya. (bersambung)

 

Seri liputan tentang cantrang Pantura Jawa ini merupakan hasil kerjasama antara Mongabay Indonesia dengan Fisheries Resource Center of Indonesia (FRCI)

 

Exit mobile version