Mongabay.co.id

Polemik Cantrang Pantura: Dinilai Merusak, Bagaimana dengan JTB? (4)

 

Ada tiga pertimbangan utama yang menjadi dasar diperbolehkan-tidaknya penggunaan alat penangkapan ikan (API), sebagaimana diatur Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No.18/2021 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan. Yakni, tidak merusak ekosistem, pro terhadap keberlanjutan perikanan, dan tidak membahayakan penggunanya.

Atas dasar itu pula pemerintah kemudian melarang penggunaan cantrang sebagai API karena dinilai merusak ekosistem laut. Sebagai gantinya, pemerintah mengalihkanya ke Jaring Tarik Berkantong (JTB), sekalipun secara teknis, penggunaan JTB relatif sama dengan cantrang.

“Berdasarkan sosialisasi BBPI (Balai Besar Penangkapan Ikan) Semarang, hal utama yang membedakan adalah ukuran dan bentuk jaring. Secara ukuran, dari 1 inch, menjadi minimal 2 inch. Sedangkan bentuknya, dari diamond mesh ke square mesh,” kata peneliti senior Fisheries Center Resource of Indonesia (FCRI) Irfan Yulianto kepada Mongabay Indonesia, Juli lalu.

Masalahnya, dengan cara kerja yang sama, pertanyaannya kemudian, seberapa efektif JTB mampu menekan dampak kerusakan ekosistem, sebagaimana tudingan pemerintah pada cantrang. Menurut Irfan, untuk menjawabnya, harus ada evaluasi. Apakah perubahan bentuk mata jaring itu berdampak atau tidak.

Irfan mengatakan, perubahan nama dari cantrang menjadi JTB diikuti perubahan kontruksi. Namun, untuk mengetahui apakah perubahan kontruksi itu membawa dampak, harus dilakukan evaluasi. Baik secara teknis maupun mekanis.

“Kan ekspektasinya, perubahan kontruksi ini mengecilkan dampak lingkungannya karena cantrang dianggap merusak. Nah pertanyaannya adalah apakah sudah dites, diuji secara statistik. Itu yang saya tidak bisa menjawab,” terangnya.

baca : Polemik Cantrang : Kebijakan Pelarangan Setengah Hati (1)

 

Para kru kapal menurunkan jaring cantrang dari kapal di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan, Jawa Timur, 3 Juli 2022. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Irfan meyakini, secara teori, peralihan cantrang ke JTB sudah dilakukan perhitungan secara matang. Akan tetapi, untuk mengetahui efektifitasnya, harus dibuktikan secara ilmiah dengan melakukan uji petik di lapangan. Dan hal itu, kata Irfan, menjadi tugas pemerintah atau lembaga penelitian/universitas untuk melaksanakannya.

“Secara sosial juga begitu. Apakah peralihan JTB ini mendapat penerimaan atau tidak. Kalau secara ekonomi, jumlah ikannya masih sama tetapi ukurannya beda, itu kan bisa dihitung. Yang sosial ini beda cerita karena masalah rasa. Nah itu yang harus diuji,” lanjutnya.

Lalu, bagaimana dengan cara kerja JTB yang dianggap sama dengan cantrang, yang itu berarti sama-sama berpotensi merusak ekosistem? Menurut Irfan, ada anggapan yang salah terkait potensi kerusakan akibat penggunaan cantrang. Terutama bahwa cantrang merusak terumbu karang.

Menurutnya, cantrang bukan termasuk alat tangkap yang menyasar ikan karang. Sebab, target alat ini adalah ikan demersal lumpur, bukan di daerah berkarang. “Jadi ini yang miss leading. Kalau terumbu karang, nelayan yang akan rugi karena jaringnya akan rusak,” terang Irfan.

Kendati demikian, ia tak menampik bila penggunaan cantrang merusak habitat ikan. Terutama dasar perairan yang berlumpur. Namun, yang menjadi masalah, menurut sepengetahuannya sejauh ini belum ada hasil riset terkait seberapa parah dampak kerusakan habitat dasar berlumpur akibat penggunaan cantrang ini.

“Kita tahu teorinya, pada saat dia (cantrang) dioperasikan di dasar, merusak dasar perairan. Tetapi pertanyaan dasarnya adalah seberapa parah kerusakannya, apa saja yang dirusak? Itu kan sampai sekarang belum ada kajiannya secara spesifik. Jadi kalau dianggap (cantrang) dibawa ke terumbu karang, itu miss leading. Karena cantrang tidak dioperasikan di terumbu karang, tapi daerah berlumpur. Makanya kalo kita riset, hasil tangkapannya adalah pari kekeh dan pari kikir,” kata Irfan.

baca juga : Polemik Pelarangan Cantrang : Bagaimana Kondisi di Lapangan? (2)

 

 

Karena itu, dengan cara kerja yang sama, pertanyaan kemudian, seperti apa dampak dari penggunaan JTB ini. “Kalau dari teorinya ya tetap merusak. Cuma saya tidak mau bergosip seberapa parah kerusakannya, apa saja yang rusak. Ini yang harus dievaluasi dengan baik dan benar. Harus fair,” terangnya.

Dengan cara kerja yang sama, Irfan meyakini, ada dua hal yang harus dicermati dari penggunaan JTB ini. Pertama, akan tetap mengakibatkan kerusakan pada habitat ikan demersal yang sebelumnya belum pernah dilakukan kajian secara detail. Dan yang kedua, ukuran dan jenis ikan tangkapan juga harus diuji dengan pendekatan statistik.

Menurut Irfan, riset perlu dilakukan untuk menghindari munculnya polemik tanpa didukung data memadai.

 

Tuai Banyak Kritikan

Pada sisi yang lain, keputusan pemeritah mengganti cantrang dengan JTB menuai banyak kritikan. Sejumlah pihak menuding bila JTB hanya medium kompromi antara pemerintah dengan para pelaku usaha perikanan.

“Itu hanya akal-akalan pemerintah supaya bisa lebih diterima, karena kalau tetap pakai nama cantrang, akan banyak protes dari nelayan tradisional,” kata Parid Ridwanuddin, manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI. Alasannya, desain dan cara kerja JTB sama dengan cantrang. Hanya beda pada ukuran mata jaring yang 2 inch lebih besar ketimbang cantrang. Dengan kata lain, Parid menilai, keberadaan JTB tetap memiliki daya rusak terhadap dasar perairan.

Namun demikian, tudingan Parid dibantah pemerintah. Melalui siaran persnya, KKP menepis tudingan bila JTB memiliki daya rusak yang sama dengan cantrang. Itu karena peralihan nama itu, juga disertai dengan perubahan kontruksi jaring. Misalnya, bila bentuk mesh (mata jaring) pada cantrang berbentuk diamond, pada JTB, bentuknya berubah menjadi square.

Perbedaan lainnya, ada pada panjang tali selambar dan tali ris atas. Menurut KKP, panjang tali selambar cantrang adalah 1.600 meter sehingga memiliki daya sapu yang luas. Sedangkan JTB, tidak sampai 900 meter.

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, Muhammad Zaini bilang, JTB termasuk kategori jaring tarik dengan ukuran mesh di atas 2 inci. ‘’Selain itu, JTB hanya dapat dioperasikan di WPP 712 (Perairan Laut Jawa) di atas 12 mil dan WPP 711 (perairan Selat Karimata, Laut Natuna dan Laut Cina Selatan) di atas 30 mil dengan jumlah yang terbatas,” katanya, dikutip dari laman KKP, Senin (25/7/2022).

Zaini memastikan bahwa kapal JTB yang melaut telah mengantongi izin sesuai ketentuan perundangan. Karena itu, menyikapi adanya isu nelayan cantrang yang masih beroperasi, Zaini menegaskan akan menindak tegas. Dikatakannya, tidak ada lagi izin kapal cantrang yang diterbitkan karena dinilai tak ramah lingkungan.

baca juga : Polemik Cantrang: Nelayan Pantura Enggan Berganti Alat Tangkap (3)

 

Seorang nelayan memperbaiki jaring cantrang di kawasan Pelabuhan Perikanan Nusantara, Brondong Kabupaten Lamongan, Jatim, 3 Juli 2022. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Terpaksa Ikuti Permintaan Pemerintah

Ketua Paguyuban Nelayan Kota Tegal (PNKT) Jawa Tengah, Said mengatakan, kendati tudingan bahwa cantrang merusak ekosistem masih diperdebatkan, ia manut saja dengan kebijakan pemerintah untuk menggantinya dengan Jaring Tarik Berkantong (JTB). “Ya bagaimana lagi. Apa kita mau gontok-gontokan dengan pemerintah?,” ungkapnya, pada awal Juli lalu.

Menurut Said, sekalipun kajian yang pernah dilakukannya menepis tudingan pemerintah terkait daya rusak cantrang, ia merasa tidak nyaman bila polemik soal cantrang terus berlarut. Baginya yang terpenting saat ini bisa melaut. Sayangnya, di tengah kesediaan untuk berganti ke JTB, para nelayan eks cantrang ini justru dihadapkan persoalan lain: kuota terbatas dan proses pembaruan izin yang ribet.

Dikatakan Said, dari sekitar 700 kapal cantrang yang ada di Tegal, masih ada 150-an kapal yang proses perizinannya belum kelar. Untuk nekat melaut, kata Said, para pemilik kapal jelas tidak berani mengingat ancaman denda administrasi yang begitu memberatkan. “Ini yang kami dorong supaya pemerintah bisa melakukan percepatan,” katanya.

Peneliti alat tangkap perikanan dari Pusat Studi Pesisir dan Kelautan (PSPK) Universitas Brawijaya Malang, Sukandar mengungkapkan, cantrang sejatinya bukan satu-satunya praktik pelanggaran perikanan tangkap oleh kapal-kapal besar. Karena dalam praktiknya, penggunaan API terlarang juga jamak dipakai nelayan kecil (tradisional).

“Coba itu, minitrawl kan juga marak dipakai oleh nelayan-nelayan kecil. Kenapa itu juga tidak banyak dipersoalkan?” katanya. Belum lagi API terlarang lainnya, seperti dogol maupun lempira dasar. Soal potensi konflik yang ditimbulkan dari penggunaan API terlarang di luar cantrang ini juga tak kalah besarnya.

Menurut Sukandar, ada banyak faktor yang menyebabkan keberadaan API terlarang atau ilegal sulit diberantas. Selain harganya yang relatif murah, untuk membuatnya pun relatif mudah. Di lapangan, banyak jaring cantrang yang dibuat sendiri oleh para nelayan.

“Artinya, bagaimana alat ini ada memang tidak ada standarnya karena dibuat sendiri oleh nelayan,” ungkapnya. Situasi itu diperparah dengan jumlah personel pengawas yang terbatas. Kelemahan ini yang pada akhirnya menjadi celah bagi para pelaku hingga memicu konflik antar nelayan.

perlu dibaca : Mencari Solusi Cantrang

 

 

Dadik, nelayan harian asal Genengwetan, Kecamatan/Kabupaten Rembang Jawa Tengah mengakui hal itu. Kepada Mongabay, nelayan yang sehari-hari mencari rajungan ini mengaku risau dengan maraknya penggunaan API terlarang oleh sebagian nelayan tradisional. Sebab, aktivitas mereka dipastikan merusak ekosistem perairan.

“(Jaring minitrawl) kerjanya seperti trawl begitu. Jadi ditenggelamkan sampai ke dasar laut, lalu ditarik,” terangnya. Namun, demikian, ia menyebut bila nelayan pengguna minitrawl itu kebanyakan bukan berasal dari Jawa Tengah, melainkan Jawa Timur.

Dadik mengakui, kehadiran perahu minitrawl meningkatkan resistensi di kalangan para nelayan tradisional. Bahkan, beberapa kasus penggunaan minitrawl berakhir dengan pembakaran moda penangkapan. Seperti yang terjadi dua bulan sebelumnya, tatkala mendapati sebuah kapal minitrawl beroperasi di perairan Pati, Jawa Tengah.

Murod, Sekretaris Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Lamongan, Jawa Timur tak mengelak maraknya penggunaan minitrawl di kalangan pencari rajungan. Menurutnya, para pelaku sebenarnya menyadari bahwa aktivitas mereka berdampak pada keberlanjutan perikanan. Namun, motif ekonomi menjadikan kebiasaan itu berlangsung hingga saat ini.

“Agak sulit memang untuk meminta teman-teman tidak menggunakan API terlarang ini karena sudah menjadi kebiasaan. Selain itu, hasil tangkapan minitrawl juga lebih banyak ketimbang jaring biasa,” terangnya ketika ditemui di sebuah warung di kawasan pesisir Lamongan, awal Juli lalu.

Menurut Murod, rendahnya harga rajungan saat ini menjadikan nelayan kian enggan menanggalkan alat tangkap terlarang ini. Sebab, dengan mintrawl, para pelaku berharap mendapat hasil tangkapan lebih banyak. Dengan begitu, rendahnya harga rajungan bisa terkonversi oleh hasil tangkapan yang lebih banyak.

baca juga : Nelayan Natuna Protes Jaring Tarik Berkantong mirip Cantrang

 

Aktivitas bongkar muatan hasil tangkapan ikan di kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Picu Konflik Antarnelayan

Di sisi lain, selain tak ramah lingkungan, penggunaan API terlarang juga acapkali berpotensi memicu konflik antar nelayan. Pada April lalu, sebuah kapal cantrang asal Jawa Tengah dibakar nelayan non cantrang saat melakukan aktivitasnya di perairan selatan Kalimantan.

Soal ini, Sekretaris Asosiasi Nelayan Dampo Awang, Kabupaten Rembang Lestari, Jawa Tengah, Priyanto tak mengelaknya. Namun demi begitu, ia menyebut bila konflik yang terjadi antara nelayan cantrang dan tradisional lebih banyak dipicu kesalahpahaman. “Secara tidak langsung ini juga menjadi kelemahan pemerintah mengatasi persoalan ini,” katanya.

Terpisah, Kepala Bidang Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Jawa Tengah Kurniawan Priyo Anggoro mengatakan, menurunnya hasil tangkapan yang mendasari keengganan nelayan untuk berganti API dari cantrang ke JTB bisa jadi benar. Namun demikian, secara kualitas, hasil tangkapan JTB justru dinilai lebih baik.

Pada cantrang, kata Kurniawan, hasil tangkapan cenderung tak selektif. Karena itu, sebagian ikan tangkapan bernilai ekonomi rendah. “Ini berbeda dengan JTB. Perubahan mata jaring akan membuat ikan tangkapan lebih selektif dan sudah pada tingkat konsumsi. Dengan demikian, kualitas jelas lebih baik dan menguntungkan secara ekonomi,” katanya melalui jawaban tertulisnya kepada Mongabay Indonesia, pertengahan Juli lalu.

Kurniawan menjelaskan, kebijakan pelarangan cantrang ini merupakan bagian dari upaya untuk menjaga kelestarian sumber daya ikan. Terlebih, dalam pelaksanaannya, API acapkali digunakan pada wilayah yang bukan menjadi jalur penangkapan ikan hingga berpotensi menimbulkan konflik dengan nelayan lain.

baca juga : Kapal Cantrang Asal Luar Madura Kembali Resahkan Nelayan Masalembu

 

Nelayan menata ikan pari di di kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Kota Tegal. Ikan pari menjadi salah satu tangkapan dominan alat cantrang. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Dimensi mata jaring cantrang yang terlalu rapat, juga dinilai tidak pro terhadap kelestarian sumber daya ikan di masa depan. Sebab, ikan-ikan yang belum cukup umur akan ikut tertangkap oleh jaring. Karena itu, bila pun nelayan memaksakan diri untuk tetap menggunakan cantrang, tegas Kurniawan, nelayan dimaksud harus siap untuk berhadapan dengan aparat. Pihaknya memastikan untuk memberi sanksi yang tegas.

“Dan kami akan terus bersinergi dengan PSDKP, Pol Airud dan juga Lanal TNI AL untuk melakukan pengawasan dan pembinaan kepada para nelayan dalam rangka menjaga kelestarian sumber daya ikan,” tulis Kurniawan.

Jefri Tri Afandi dan M. Zaenuri dalam risetnya mengenai Perikanan Cantrang dan Permasalahannya di Lamongan (2020) mengakui, perikanan cantrang memberi keuntungan bagi nelayan penggunanya. Namun, turut berdampak pada pasokan sumber daya ikan di masa mendatang. Termasuk juga potensi terjadinya konflik. Di Lamongan, insiden perampasan bahan bakar kapal cantrang berikut jaring yang digunakannya pernah dilakukan oleh para nelayan kecil non cantrang.

Namun demikian, ia juga tak memungkiri bila kebijakan pelarangan juga akan membawa dampak dalam jangke pendek. Misalnya, berkurangnya pasokan jumlah ikan oleh para pedagang, menurunnya omzet oleh pengusaha karena stok bahan baku yang berkurang. (bersambung)

 

 

Seri liputan tentang cantrang Pantura Jawa ini merupakan hasil kerjasama antara Mongabay Indonesia dengan Fisheries Resource Center of Indonesia (FRCI)

 

Exit mobile version