Mongabay.co.id

Hutan Kerangas untuk Pulihkan Lahan Bekas Tambang Timah

 

 

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang luas daratannya mencapai 1,6 juta hektar, memiliki ekosistem hutan kerangas Sundaland atau The Sundaland Heath Forest.

Dikutip dari oneearth.org, ekoregion Sundaland Heath Forests di Indonesia terbatas di Kalimantan dan Bangka Belitung. Ekosistem merupakan hutan yang tumbuh di tanah berpasir putih, wilayah dataran tinggi hingga pantai.

“Lantai hutan berasal dari tanah yang terangkat dari dasar laut, memiliki kadar asam, serta dikeringkan dengan baik sehingga melarutkan nutrisi yang terkandung. Tanah ini diperkirakan terangkat dari dasar laut pada periode pertengahan Pleistosen,” tulisnya.

Secara ekologi, eksistensi ekosistem hutan kerangas sangat penting sebagai penyedia jasa lingkungan, khususnya air, serta habitat bagi keanekaragaman hayati. Namun, khusus di Bangka Belitung, ekosistem ini punya peran penting dalam pemulihan lahan bekas tambang timah.

Dr. Dina Octavia dalam webinar internasional dengan tema “Lahan Pasca Tambang: Kajian Toksikologi dan Pengelolaan Keanekaragaman Hayati” oleh Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumber Daya Alam, Fakultas Teknik dan Sains, Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung, Rabu [27/07/2022], menjelaskan hutan kerangas berperan sebagai sumber benih alami jika dikaitkan dengan upaya pemulihan pasca tambang timah melalui pendekatan restorasi.

“Banyak tumbuhan pionir, seperti kernuduk dan pelawan, serta spesies dari Myrtaceae, dapat beradaptasi dengan baik di lahan kritis, sehingga dapat mendominasi komunitas,” katanya.

Baca: Lubang Bekas Tambang Timah Dijadikan Lokasi Wisata, Benarkah?

 

Kawasan hutan kerangas berusia tua di Bangka ini, bisa dilihat dari diameter pohon pelawan yang cukup besar. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Dalam penelitian lainnya, Dina mengatakan, penggunaan spesies pionir lokal lebih dianjurkan dalam rehabilitasi, guna menghindari invasi alien species yang dapat mengganggu ekosistem,” tulisnya dalam “Karakteristik Tanah dan Vegetasi di Hutan Kerangas dan Lahan Pasca Tambang Timah di Kabupaten Belitung”.

Dia membagi kawasan hutan kerangas berdasarkan pengetahuan tradisional masyarakat sekitar, yakni Rimba [Hutan kerangas sekunder tua], Bebak [Hutan kerangas sekunder muda], dan Padang [Hutan kerangas terdegradasi].

Jenis-jenis pionir lokal yang dianjurkan adalah beruta [Dicranopteris linearis], keremuntingan [R. tomentosa], keletaan [M. malabathricum], simpor bini [D. suffruticosa], sekudang pelandok [S. buxifoilum], gelam [M. lecadendron], pelawan kiring [T. obovata], renggadaian [P. alternifolium], seru [S. wallichii], sapu padang [B. frutescens], arang-arang [S. napiforme], serta paku-pakuan seperti resam [D. linearis].

“Beberapa pertimbangan dalam memilih spesies pionir antara lain bersifat fast growing, toleran, sedikit membutuhkan unsur hara, berperan sebagai catalitc species, mudah dipropagasi, murah dan mudah dalam pemeliharaan serta sesuai dengan penggunaan lahan,” tulisnya.

Dalam prosesnya, restorasi lahan pasca tambang, perlu menambahkan bahan organik serta peningkatan mikroorganisme, mengingat prosesnya membutuhkan waktu puluhan hingga ratusan tahun.

“Dalam perbaikan tanah, perlu penambahan bahan organik untuk memperbaiki tekstur tanah, aplikasi pupuk polimer untuk meningkatkan kapasitas petukaran kation, aplikasi pupuk mikoriza untuk mendukung penyerapan fosfor dalam tanah sehingga tersedia bagi tumbuhan,” tulisnya.

Baca: Tambang Timah yang “Melubangi” Jejak Rempah Nusantara di Pulau Bangka

 

Pemanfaatan tumbuhan lokal dalam upaya restorasi lahan bekas tambang harus segera dilakukan di Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Dalam dokumen IKPLHD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2021, lahan kritis di Bangka Belitung mencapai 20.438,085 hektar, kategori sangat kritisnya 28,3 hektar, yang sebagian besar diakibatkan pertambangan serta perkebunan skala besar.

“Lahan kritis paling banyak berada di kawasan hutan lindung [9.379,436 ha], hutan produksi [7.805,503 ha], serta kawasan hutan konservasi [23,519 ha],” tulis dokumen tersebut.

Dokumen yang sama menjelaskan, telah dilakukan upaya rehabilitasi hutan dan lahan dengan luas 1.496,36 hektar [tahun 2020]. Jenis bibit pohon yang banyak ditanam adalah alpukat, durian, jambu mete, cemara laut serta bakau. Sementara realisasi reklamasi lahan pasca-tambang darat, yang dilakukan 2011-2020, baru mencapai 2.652 hektar.

Menurut Dina, kendala utama pemulihan lahan bekas tambang timah adalah masih adanya kegiatan ilegal serta benturan peruntukan fungsi lahan sesuai rencana tata ruang wilayah setempat.

Disisi lain, penanaman akasia [A. mangium] dan jambu mete [A. occidentale] di beberapa lokasi di Belitung, tidak menunjukkan keanekaragaman yang tinggi. Hanya didominasi jenis tersebut saja, bahkan sulit dijumpai rumput di permukaan tanah.

“Restorasi hutan memerlukan komitmen para stakeholder. Saat ini kita sudah merasakan dampak rusaknya hutan kita, terutama banjir yang terjadi di Bangka maupun Belitung,” katanya.

Baca juga: Bukan Sulap, Lahan Bekas Tambang di Sawahlunto Bisa Digarap

 

Family Nephentes merupakan tumbuhan pionir sekaligus spesies kunci dalam suksesi hutan kerangas. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Rentan

Saat ini, belum ada data luasan hutan kerangas di Bangka Belitung. Merujuk penelitian MacKinnon dkk [1997], Bangka Belitung satu-satunya wilayah di Sumatera yang memiliki hutan kerangas sangat luas, seperti di Kalimantan [seluas 6.668.200 ha].

Menurut Dina, hutan kerangas di Bangka Belitung sejak dulu menjadi kawasan rentan.

“Tumbuh di atas pasir kuarsa yang menjadi target pertambangan.”

Dalam disertasi berjudul “Bioprospeksi Hutan Kerangas: Analisis Nepenthes Gracilis Korth. Sebagai Stimulus Konservasi” oleh Kissinger [2013], hutan kerangas berstatus rentan, berdasarkan IUCN [The International Union for The Conservation of Nature – World Conservation Union].

Masih penelitian yang sama, hutan kerangas mempunyai laju pertumbuhan dan perkembangan relatif lambat dibandingkan hutan Dipterocarpaceae campuran.

“Hutan kerangas yang mengalami kebakaran, laju ketahanan [survival rate] dari semai menuju pancang sangat kecil [3,2 persen]. Sekali mengalami degradasi, akan berkembang menjadi savana terbuka atau padang,” tulisnya.

 

Lahan bekas tambang di Pulau Bangka yang belum perbaiki. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Potensi tumbuhan obat

Berdasarkan penelitian Dina Octavia berjudul “Komposisi Vegetasi dan Potensi Tumbuhan Obat di Hutan Kerangas Kabupaten Belitung Timur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung”,  dijelaskan jumlah spesies tumbuhan obat yang teridentifikasi berdasarkan pengetahuan masyarakat lokal sebanyak 101 jenis.

Di antaranya, jemang [Rhodamnia cinerea], gelam [Malaleuca Leucadendron], keremuntingan [Rhodomyrtus tomentosa], keleta’an [Melastoma polyanthum], sekudong pelandok [Syzygium buxifolium] dan famili tumbuhan yang anggotanya paling banyak dimanfaatkan sebagai obat adalah Myrtaceae atau jambu-jambuan.

“Menurut Pratiwi [2010] keberadaan keremuntingan di lahan bekas tambang timah dapat dijadikan sebagai pionir untuk meningkatkan unsur hara tanah dan pencegah erosi. Keremuntingan juga telah terbukti memiliki kandungan antioksidan yang berguna bagi tubuh [Putra et al., 2009]. Di masyarakat, tumbuhan ini dimanfaatkan sebagai obat sakit perut dan penurun tekanan darah tinggi,” tulisnya.

Bagian tumbuhan yang paling banyak digunakan adalah akar. Sedangkan kelompok penyakit yang paling banyak disembuhkan berupa demam, panas dalam, dan masuk angin.

“Komposisi vegetasi di hutan kerangas berpotensi sebagai cadangan plasma nutfah tumbuhan obat indonesia,” tulisnya.

 

Exit mobile version