Mongabay.co.id

Pulihkan Ekosistem Mangrove yang Kritis, Kembalikan Sumber Ekonomi Pesisir

 

Upaya untuk memulihkan ekosistem mangrove yang mengalami degradasi, terus dilakukan melalui berbagai cara oleh Pemerintah Indonesia. Selain dilakukan sendiri, pemulihan juga dilakukan dengan melibatkan banyak pihak dari dalam dan luar negeri.

Pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan di Indonesia, diyakini tak hanya untuk memberikan perlindungan terhadap ekologi lingkungan di laut dan pesisir. Namun juga, akan bisa meningkatkan ekonomi sosial masyarakat di pesisir.

Demikian diungkapkan Asisten Deputi Bidang Pengelolaan Perubahan Iklim dan Kebencanaan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Kus Prisetiahadi di Jakarta belum lama ini.

Perlunya keterlibatan dari masyarakat, karena dengan menjadi sumber ekonomi baru, itu akan memberikan dampak positif kepada Indonesia maupun dunia. Itu sangat baik untuk memperkuat upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim melalui pendekatan pentahelix (pemerintah, akademisi, komunitas/masyarakat, bisnis dan media).

Adapun, pelibatan masyarakat dilakukan dalam setiap strategi dan program yang fokus pada program rehabilitasi dan pembibitan mangrove dengan luasan mencapai 600 ribu hektare. Mereka hadir untuk terlibat dalam banyak program dan kegiatan di sekitar ekosistem mangrove.

Sebut saja, program ekowisata dan produk turunan mangrove lain, proyek ekosistem karbon biru (EKB), pembangunan pusat mangrove, kemitraan antara Pemerintah dengan swasta, serta kerja sama internasional yang fokus pada kegiatan penelitian dan pengembangan.

“Strategi kerja sama dengan dukungan dana dari luar negeri menjadi salah satu faktor pendukung untuk percepatan rehabilitasi mangrove di Indonesia,” ungkap dia.

baca : Ekosistem Karbon Biru dalam Peta Konservasi Nasional

 

Wisatawan menikmati hutan mangrove di Pulau Mangare, Gresik, Jatim. Salah satu jenis tumbuhan mangrove itu adalah api-api (Avicennia sp.). Foto : Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Kerja sama yang dimaksud, mencakup pengelolaan dengan melibatkan teknologi dan ilmu pengetahuan terbaru. Metode seperti itu diterapkan melalui kerja sama dengan sejumlah negara seperti Persatuan Emirat Arab, Arab Saudi, Korea Selatan, dan Singapura.

Selain itu, Kus Prisetiahadi juga menyebutkan kalau kerja sama yang dilakukan Indonesia melibatkan Bank Dunia serta Bank Pembangunan dan Investasi Jerman (KFW). Seluruh negara dan instansi luar negeri tersebut sudah menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan Indonesia.

“Sudah ditandatangani MoU dengan beberapa negara,” tutur dia.

Sejumlah program dan kegiatan yang fokus dilaksanakan adalah pengembangan MBZ International Mangrove Research Center for Climate (MBZIMRC) di Bangka Belitung. Kemudian, ada juga rencana rehabilitasi mangrove seluas 150 ribu ha di sembilan lokasi yang diajukan Arab Saudi.

Sementara, kerja sama dengan Singapura dilakukan dengan fokus pada pengembangan riset untuk proyek EKB sebagai solusi mitigasi perubahan iklim. Untuk kerja sama tersebut, Indonesia akan mengusulkan sejumlah alternatif lokasi yang bisa menjadi proyek percontohan.

Dia bilang, tanggal untuk setiap pelaksanaan sudah ditentukan saat ini. Namun, ada beberapa pihak yang tidak ingin disebutkan nominal angka untuk dana yang mereka kucurkan dalam program rehabilitasi mangrove di Indonesia.

“Kita mengusulkan dengan proposal dan mereka sedang mempelajari terlebih dahulu untuk finalisasi,” tambah dia.

Kus Presetiahadi meyakini, program rehabilitasi mangrove secara nasional melalui kerja sama internasional, tak hanya akan memberikan manfaat secara ekonomi bagi masyarakat pesisir. Lebih dari itu, swasta juga bisa mendapatkan keuntungan dengan penjualan karbon (carbon trading).

baca juga : Karbon Biru di Tengah Tantangan dan Hambatan

 

Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan dan Kehutanan Kemenko Marves Nani Hendiarti (kiri berdiri) menemani delegasi Arab Saudi melihat kawasan Hutan Mangrove Tanjung Pasir, Tangerang, Banten dalam kerjasama rehabilitasi mangrove untuk kredit karbon. Foto : Kemenko Marves

 

Salah satu negara yang sudah melakukan kunjungan, adalah Arab Saudi. Mereka datang tak hanya untuk berkunjung langsung ke lokasi hutan mangrove yang akan menjadi proyek kerja sama antara Indonesia dan negara tersebut.

Namun juga, mereka datang untuk membahas lebih lanjut pengembangan ekosistem mangrove di Indonesia sebagai salah satu upaya untuk mengatasi perubahan iklim di Indonesia. Hal tersebut diungkapkan Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan dan Kehutanan Kemenko Marves Nani Hendiarti.

Selama berada di Indonesia, Arab Saudi melihat langsung kawasan Hutan Mangrove Tanjung Pasir di Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten dan Taman Wisata Alam Mangrove di Kapuk, Jakarta Utara, Provinsi DKI Jakarta.

Saat berada di lokasi mangrove, Indonesia bersama Arab Saudi melakukan diskusi dengan masyarakat setempat tentang bagaimana keterlibatan mereka dalam pengelolaan mangrove di sana. Juga, berdiskusi bagaimana mangrove bisa menjadi sumber ekonomi bagi masyarakat sekitar.

Nani Hendiarti menerangkan, khusus untuk mangrove di Tanjung Pasir, pengembangan akan terus dilakukan melalui program penanaman kembali. Selain itu, akan dikembangkan juga metode silvofishery untuk tambak ikan bandeng yang ada di sekeliling lokasi mangrove.

“Ke depannya, kawasan ini akan dijadikan sebagai lokasi wisata edukasi,” terang dia.

Menurut dia, penerapan metode tersebut dilakukan di Tanjung Pasir, karena sebelumnya sudah ada aktivitas perikanan budi daya di lokasi tersebut. Dengan demikian, hutan mangrove di sana menjadi lokasi untuk lebih dari satu aktivitas.

Agar aktivitas tidak terganggu, maka ekosistem mangrove di Tanjung Pasir harus dijaga dengan baik dan sekaligus bagaimana agar hutan bisa menghasilkan kualitas udara yang baik juga. Itu kenapa, pengelola harus terus berusaha menjaga hutan mangrove tetap bersih, terutama bebas dari sampah plastik.

perlu dibaca : Karbon Biru dalam Ekonomi Biru di Perairan Laut Indonesia

 

Kawasan Hutan Mangrove Tanjung Pasir, Tangerang, Banten yang masuk dalam program rehabilitasi mangrove nasional. Foto : Kemenko Marves

 

Diketahui, kawasan mangrove Tanjung Pasir merupakan pengembangan lokasi melalui kerja sama antara Perusahaan Umum Kehutanan Negara Kesatuan Pemangkuan Hutan (Perum Perhutani KPH) Banten dengan Pemerintah Kabupaten Tangerang.

“Kerja sama dilakukan untuk memanfaatkan jasa lingkungan hutan lindung Tangerang yang ada di pusat mangrove dan sekaligus menjadi ekowisata,” jelas dia.

Adapun, salah satu kegiatan rehabilitasi mangrove di Tanjung Pasir sudah berlangsung pada awal 2021 dengan dilakukan penanaman 5.000 batang pohon mangrove dengan melibatkan banyak kementerian.

 

Peta Mangrove

Nani Hendiarti menyebutkan, pengelolaan mangrove di Indonesia dilakukan berdasarkan Peta Mangrove Nasional 2021. Berdasarkan panduan tersebut, kawasan Mangrove dengan kondisi kritis sudah berkurang luasnya dari 600 ribu ha pada 2011–2013 menjadi 300 ribu ha pada 2021.

“Itu bisa terjadi karena meningkatnya kesadaran masyarakat pesisir,” tegas dia.

Secara keseluruhan, saat ini Indonesia memiliki lahan mangrove seluas 4,12 juta ha. Rinciannya, seluas 3,36 juta ha adalah lahan eksisting dan seluas 750 ribu ha adalah lahan potensi habitat mangrove.

Untuk pengelolaan hutan mangrove, saat ini sudah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2020-2024 dan diturunkan menjadi enam program prioritas nasional.

Di antaranya, program untuk membangun lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan kebencanaan, dan perubahan iklim.

Sementara, merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 120 Tahun 2020 tentang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), ditetapkan target percepatan rehabilitasi mangrove seluas 600.000 hektar bisa diselesaikan pada periode 2021-2024.

“Namun, itu diestimasi membutuhkan dana sekitar Rp23 triliun,” tutur dia.

Deputi Bidang Perencanaan dan Evaluasi BRGM Profesor Satyawan Pudyatmoko menerangkan, BRGM secara khusus melaksanakan kegiatan rehabilitasi mangrove melalui penanaman seluas 34.911 ha, atau 105 persen dari total 33.000 ha target penanaman pada 2021.

baca juga : BRGM: Rehabilitasi Mangrove Bukan Pekerjaan Mudah

 

Perjalanan melintasi sekitar situs mangrove Bangko Tappampang, Tanakeke, Takalar, Sulawesi Selatan, menggunakan katinting. Kawasan seluas 51,55 hektar ini terancam antara lain oleh industri arang. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Agar program percepatan rehabilitasi mangrove bisa tetap menjaga keberlanjutan, maka BRGM menyusun konsep rehabilitasi mangrove pada level lanskap. Pengelolaan berbasis lanskap tersebut, tujuannya untuk menyeimbangkan kepentingan penggunaan lahan yang saling berkompetisi.

Dengan demikian, kegiatan perikanan budi daya (akuakultur), perikanan tangkap, konservasi sumber daya hayati, fungsi perlindungan, ekowisata, dan fungsi sebagai sarana transportasi air dapat berlangsung secara harmonis.

Dia menerangkan, penanaman mangrove akan memberi manfaat tidak sedikit bagi masyarakat di pesisir. Tetapi, saat melaksanakan penanaman harus dilakukan dengan sistem atau cara yang berkelanjutan.

“Jangan sampai penanaman itu menyengsarakan,” ucapnya.

Menurut dia, saat ini di Indonesia terdapat 130 lanskap mangrove, sehingga diperlukan kolaborasi antar pemangku kepentingan. Kerja sama tersebut menjadi penting, karena semua kegiatan rehabilitasi tidak bisa dilakukan sendiri oleh satu pihak.

Selain fungsi ekonomi, ekosistem mangrove juga bisa menjadi EKB yang mampu menyerap karbon dioksida (CO2) dalam jumlah yang sangat banyak. Kemampuan tersebut muncul bersama dengan ekosistem padang lamun yang juga ada di ekosistem pesisir.

Merujuk pada Peraturan Presiden RI Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon, pemanfaatan karbon melalui dua ekosistem tadi, harus ditindaklanjuti dengan melaksanakan prosedur menghitung efektivitas penyerapan dan penyimpanan karbon.

Kemudian, juga harus ada mekanisme pemberian dan pendistribusian manfaat antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sehingga pelaksanaannya dapat memberikan manfaat yang besar untuk kepentingan masyarakat.

Di sisi lain, dengan tantangan dan segala keterbatasan yang ada, Pemerintah Indonesia tetap optimis akan bisa memenuhi komitmen pengurangan emisi hingga 29 persen pada 2030 mendatang. Komitmen tersebut menjadi bagian kesepakatan Paris (Paris Agreement) yang dihasilkan dari Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-21 (COP21) di Paris, Prancis, 2015.

menarik dibaca : Berlindung di Balik Kokohnya Benteng Ekosistem Pesisir

 

Warga antusias tanam mangrove bersama Presiden Jokowi di Batam. Foto: Yogi Eka Saputra/ Mongabay Indonesia

 

Perencana Ahli Utama Kementerian PPN/Bappenas Arifin Rudiyanto pada pekan lalu mengatakan, potensi EKB dari ekosistem mangrove memang harus bisa dikelola dengan baik oleh Indonesia. Namun, harus ada standar pedoman dalam pengelolaan EKB.

Pedoman diperlukan, karena penerapan strategi nasional dan pengelolaan potensi besar EKB harus memerlukan koordinasi dan integrasi dengan kementerian dan pemangku kepentingan lain. Selain itu, perlu juga disusun dokumen kebijakan yang bisa menjadi landasan hukum untuk pengelolaan karbon biru di Indonesia.

Menurut dia, walau potensi EKB di Indonesia masih sangat besar, namun ada potensi pelepasan karbon dioksida (CO2) ke perairan laut, disebabkan oleh perusakan ekosistem pesisir. Rincinya, ada potensi pelepasan CO2 setara dengan 19 persen total emisi perusakan hutan tropis.

Apabila EKB dikelola dengan baik secara strategis untuk adaptasi dan mitigasi menuju ketahanan iklim, dia yakin Indonesia dapat berkontribusi lebih untuk penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29 persen secara nasional, dan 41 persen secara global hingga 2030.

Diketahui, selain menjadi negara dengan luasan mangrove terbesar di dunia, Indonesia juga memiliki padang lamun terluas di dunia yang mencapai 293 ribu ha. Kedua ekosistem tersebut menghadirkan potensi karbon biru yang sangat besar.

perlu dibaca : Padang Lamun, Gudang Karbon yang Terancam Punah

 

Seorang penyelam menjelajahi padang lamun dengan terumbu karang di perairan Indonesia. Foto : shutterstock

 

Baik mangrove atau padang lamun yang ada di Indonesia disebut Bappenas sebagai ekosistem pesisir yang bisa menyimpan karbon alami (carbon sink) besar dalam waktu yang sangat lama dengan jumlah sedikitnya mencapai 3,3 gigaton atau 17 persen dari karbon biru global.

Dengan potensi sangat besar tersebut, Pemerintah Indonesia saat ini memprioritaskan ekosistem karbon biru dalam perencanaan tata kelola ruang dan konservasi pesisir, baik yang ada di Indonesia ataupun secara global.

 

 

Exit mobile version