Mongabay.co.id

Derita Nelayan Tradisional Setelah Harga BBM Naik

 

“Naikan saja harga ikannya pak, kan harga BBM naik,” ujar Sakinah (45 tahun) sembari membersihkan ikan hasil tangkapan suaminya, Darmin (50 tahun) yang sedang melepas penat di atas pelantar teras rumahnya.

Darmin baru saja berlabuh setelah satu hari penuh mencari ikan. Sambil menyeruput teh panas buatan istrinya, ia membalas, “Kalau kita naikan, orang tidak mau beli.”

Percakapan mereka sore itu terjadi setelah Pemerintah Joko Widodo menaikan harga BBM seminggu yang lalu. Sebagai nelayan kecil dengan kapal 10 GT, Darmin merasakan dampak kenaikan harga BBM. “Jelas berdampak, kebutuhan utama kita melaut adalah BBM,” katanya kepada Mongabay Indonesia di rumahnya, Sabtu, 10 September 2022.

Wakil Ketua Nelayan Mandiri Teluk Mata Ikan, Kelurahan Sambau, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri) itu sejak kecil hampir setiap hari melaut di perairan pesisir Teluk Mata Ikan. Tidak hanya dipersulit naiknya harga BBM, ia juga merasakan perubahan iklim dan kerusakan lingkungan membuat hasil tangkapan ikan berkurang.

 

Kebutuhan Pokok Nelayan

Setelah selesai membersihan, Sakinah kemudian mengunggah foto ikan hasil tangkapan suaminya media sosial. Tidak menunggu terlalu, beberapa orang kemudian menghubunginya untuk membeli ikan.

Rata-rata ikan yang didapatkan Darmin adalah jenis ikan karang. Tidak semua ikan hasil tangkapannya dijual, sebagian juga dimasak untuk makan keluarganya. “Ikannya sudah habis. Besok lagi ya. Hari ini cuma dapat sedikit,” ujar Sakinah kepada seorang pelanggannya melalui sambungan telepon.

Hari itu, Sakinah hanya mendapatkan Rp140 ribu dari penjualan 4 kilo ikan yang dijual Rp35 ribu per kilogramnya. Ikan sebanyak itu didapatkan Darmin bersama menantunya dengan pancing selama 9 jam melaut, mulai dari 08.00 WIB sampai 15.00 WIB.

baca : Solar Satu Harga untuk Nelayan Hanya Mitos (8)

 

Beberapa ikan karang hasil tangkapan Darmin, nelayan Teluk Mata Ikan, Nongsa, Batam, Kepulauan Riau, Sabtu, 10 September 2022. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Hasil penjualan ikan, tidak sebanding dengan modal yang dikeluarkan Darmin. Dalam satu trip melaut, Darmin membutuhkan tiga liter pertalite seharga Rp30 ribu, dan umpan (udang) seharga Rp70 ribu. Total modalnya  sekitar Rp100 ribu, dengan keuntungan Rp40 ribu. “Belum kita bicara tenaga dan waktu yang dihabiskan,” kata bapak empat anak ini.

Selain modal dana, proses Darmin mendapatkan pertalite juga butuh biaya. Ia harus membeli pertalite dalam botol-botol kecil menggunakan sepeda motor di SPBU.

Kondisi seperti itu harus dilakukan Darmin beberapa tahun belakangan. Setelah pemerintah melarang membeli BBM di SPBU menggunakan jerigen.

Ia menyingung terkait minyak subsidi untuk nelayan. Beberapa waktu lalu hal itu pernah dirasakannya. Darmin bisa mendapatkan BBM subsidi khusus nelayan setelah memperoleh surat izin dari dinas kelautan setempat. Namun subsidi itu tidak berlangsung lama, pasalnya butuh waktu mengurus, apalagi surat-surat tersebut secara berkala harus diperpanjang. “Untuk mendapatkan BBM subsidi itu susah juga,” katanya.

Kondisi yang dihadapi Darmin diaminkan Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kepri Eko Fitriandi yang menerima keluhan dari beberapa nelayan. Bersama pengurus HNSI, ia melapor kepada Gubernur Kepri terkait pernyataan keberatan nelayan atas kenaikan harga BBM belum lama ini.

Eko menambahkan, daerah kepulauan sangat terdampak. Karena, nelayan-nelayan pulau butuh biaya transportasi tambahan untuk mengangkut BBM dari SPBU ke pulau-pulau.

Misalnya harga pertalite di SPBU saat ini Rp10 ribu per liter, bisa naik 30 persen sampai tangan nelayan di pulau-pulau. “Dari Rp10 ribu harganya bisa menjadi Rp 13 ribu, bahkan sampai Rp20 ribu per liter,” kata Eko.

baca juga : Pengganti BBM, Elpiji Jadi Pilihan Nelayan

 

Beberapa kapal dan nelayan sedang melaut di perairan Teluk Mata Ikan Nongsa Batam. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Kenaikan harga BBM dikhawatirkan menurunkan daya beli ikan oleh masyarakat karena harga kebutuhan masyarakat yang ikut naik, termasuk harga ikan. “Akhirnya masyarakat kita memilih makanan pengganti ikan seperti tempe dan tahu yang lebih murah,” kata dia.

Kondisi itu membuat nelayan semakin sengsara karena hasil tangkapan tidak laku, padahal sudah mengeluarkan modal besar untuk melaut ditengah naiknya harga BBM. “Tentu angka kemiskinan bertambah lagi,” katanya.

Nelayan di Kepri juga dihadapkan masalah kelangkaan BBM subsidi, karena hanya 30-40 persen nelayan yang mendapatkan subsidi berdasarkan surat Tanda Daftar Kapal Perikanan (TDKP). Sehingga 40 persen tersebut yang menutupi kekurangan subsidi 60 persen lainnya.

Kondisi itu tidak memungkinkan sehingga menyebabkan BBM subsidi langka. “Misalkan begini, ada 100 nelayan di Batam dapat minyak subsidi, yang punya TDKP 30 persen. Mana bisa menutup yang 70 nelayan lainnya, sehingga minyak itu langka,” jelas Eko.

Nelayan kesulitan mengurus TDKP karena jarak kantor Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepri yang cukup jauh. Sehingga menghemat biaya mereka lebih memilih tidak mengurus surat tersebut. “Belum lagi potensi terjadinya kecurangan-kecurangan distribusi BBM kepada nelayan membuat barang satu ini langka,” katanya.

Eko menyarankan pemerintah Provinsi Kepri turun ke pulau-pulau membuka gerai untuk pendaftaran TDKP. Sehingga solar subsidi merata dirasakan oleh nelayan yang membutuhkan. “Kalau 100 persen dari total jumlah nelayan yang mendapatkan subsidi solar sudah mengurus TDKP, BBM tidak akan langka lagi,” katanya.

Meski Gubernur Kepulauan Riau sudah menyampaikan bahwa kenaikan BBM merupakan masalah nasional, tetapi menurut Eko nelayan harus mendapat perhatian.

baca juga :  Begini Mandiri Energi Ala Kampung Nelayan Kondangmerak

 

Seorang nelayan tradisional dari Pulau Batam, Kepulauan Riau, yang melaut di daerah perbatasan antara Singapura-Indonesia. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Sedangkan Ketua Aliansi Nelayan Natuna Hendri mengatakan efek domino kenaikan harga BBM sangat berdampak terhadap nelayan Natuna membuat biaya melaut semakin tinggi, seperti harga es, ransum makan, hingga alat-alat penangkapan yang diprediksi naik 30 persen karena biaya transportasi dari luar Natuna. Padahal hasil tangkapan ikan berkurang karena intrusi kapal asing dan kapal cantrang dari Jawa di Laut Natuna Utara.

Kondisi itu diperparah lagi kata Hendri, ketika harga jual beli ikan terutama jenis ikan ekspor dan ikan lokal antar pulau tidak naik, karena harga ikan mengikuti harga pasar.

“Kalau harga jual ikan tidak naik, sementara kebutuhan melaut semakin tinggi, itu akan berakibat kepada semakin menurunnya pendapatan nelayan,” kata Hendri. Kondisi ini sudah terjadi setiap kali pemerintah menaikan harga BBM.

 

Kerusakan Lingkungan Menurunkan Hasil Tangkapan

Peribahasa “sudah jatuh ketiban tangga” itulah yang cocok mengambarkan kondisi nelayan Indonesia saat ini. Tidak hanya menjerit karena naiknya BBM, menurunnya tangkapan ikan akibat kerusakan lingkungan dan perubahan iklim memperparah nasib mereka.

Seperti yang terjadi di Pesisir Teluk Mata Ikan tempat Darmin melaut. Pesisir kawasan ini dipenuhi sedimentasi lumpur yang berasal dari pengerukan bukit di darat. Lumpur itu bahkan menumpuk setinggi betis orang dewasa.

Sedimentasi lumpur itu menutupi dan merusak terumbu karang tempat hidup ikan-ikan di pesisir Teluk Mata Ikan rusak. “Dulu disini bersih, pasir pantainya putih, karang-karang banyak, sekarang sudah rusak,” kata Darmin.

Belum lagi perubahan iklim yang terjadi beberapa tahun belakangan membuat hasil tangkapan menurun drastis sampai 50 persen.

menarik dibaca : Panen Matahari di Atas Kapal Nelayan Natuna

 

Darmin memperlihatkan alat pancing yang digunakannya mencari ikan di Perairan Teluk Mata Ikan, Nongsa, Batam, Kepulauan Riau. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Eko juga membenarkan hal itu, salah satu penyebab menurunnya hasil tangkapan nelayan tersebut karena perubahan cuaca yang tidak menentu dampak perubahan iklim yang terjadi beberapa tahun belakangan.

Tidak hanya di Kepulauan Riau hampir diseluruh dunia dampak perubahan iklim terhadap nelayan. “Hampir semua mengeluhkan kurangnya hasil tangkap empat tahun belakangan. Menangkap ikan ini sifatnya berburu, untung-untungan di kasih Allah. Ikan bisa tidak dapat, sedangkan pengeluaran BBM sudah pasti naik,” katanya.

Sementara Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim mengatakan keberatan nelayan dilatarbelakangi oleh fakta bahwa 70 persen biaya produksi nelayan adalah pembelian BBM.

Abdul mengungkapkan, solusinya permasalahan ini adalah pemerintah bisa melakukan penyaluran BBM bersubsidi nelayan dengan melibatkan organisasi nelayan yang berbadan hukum. “Misalnya subsidi melalui koperasi nelayan,” katanya kepada Mongabay Indonesia, Sabtu, 10 September 2022.

Solusi berikutnya, pemerintah pusat dan daerah perlu memastikan bahwa dampak negatif akibat kenaikan harga BBM ini perlu diiringi dengan pengalokasian insentif biaya hidup selama 3-6 bulan agar ekonomi keluarga nelayan tidak ambruk. “Terlebih bagi mereka yang berprofesi sebagai nelayan kecil atau awak kapal perikanan berukuran di bawah 10 GT,” katanya.

baca juga : Kenapa BBM Indonesia Kualitasnya Masih Buruk?

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono meninjau Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Nelayan (SPBN) di TPI Tawang, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Minggu (11/9). Foto : KKP

 

Upaya KKP Penuhi BBM Nelayan

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengupayakan kebutuhan BBM bagi nelayan di tiap daerah akan terpenuhi. Selain stok yang terpenuhi, pendistribusian juga harus tepat sasaran. Secara intensif KKP terus melakukan koordinasi dengan PT Pertamina dan BPH Migas untuk memenuhi hal tersebut.

“Kita sudah list dan kita sudah sampaikan ke BPH Migas dan Pertamina, mudah-mudahan dalam waktu yang tidak lama sudah bisa teratasi,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono saat mengecek ketersediaan BBM bersubsidi untuk para nelayan di TPI Tawang, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Minggu (11/9/2022).

“Dari hasil pengecekan di lapangan, kita melihat SPBN tadi tidak beroperasi. Informasi dari Pak Bupati karena kuota BBM bersubsidinya terbatas. Nelayan tadi juga menyampaikan keluhan soal solar,” ungkap Trenggono melalui siaran pers KKP.

Selain itu, dia juga meminta kepolisian melakukan pengawasan optimal untuk menjamin penyaluran BBM bersubsidi benar-benar diterima oleh nelayan yang berhak. Pengawasan ketat harus dilakukan mengantisipasi terjadinya kecurangan penyaluran BBM bersubsidi bagi nelayan.

 

Exit mobile version