- Para nelayan di kawasan pantai utara (Pantura) Jawa menghadapi berbagai permasalahan terkait kebijakan pengelolaan perikanan tangkap oleh Pemerintah. Selain rumitnya masalah prosedur perizinan kapal dan melaut, para nelayan Pantura juga menghadapi masalah kelangkaan dan naiknya harga solar untuk BBM kapalnya.
- Nelayan Pantura Jawa merasakan kelangkaan solar sejak sejak awal tahun 2022. Bahkan banyak SPBN di beberapa kota di Pantura Jawa tutup tidak beroperasi. Selain langka, harga solar untuk nelayan pun makin mahal. Padahal Pemerintah telah menetapkan harga solar subsidi pada kisaran Rp12 ribu. Tetapi di lapangan, para nelayan Pantura membeli solar dengan harga berkisar Rp14-16 ribu per liternya.
- Kelangkaan dan mahalnya harga solar berdampak secara berantai pada berhentinya operasional kapal tangkap ikan, sepinya pelabuhan perikanan dan industri pengolahan ikan serta masyarakat pesisir yang bergantung pada sektor perikanan tangkap laut
- DKP Jateng menyatakan tata kelola niaga solar dan penetapan harganya merupakan kewenangan Kementerian ESDM. DKP Provinsi, hanya mengawasi penyaluran solar dengan menerbitkan rekomendasi bagi pemilik kapal. Sedangkan KKP akan berkoordinasi dengan kementerian ESDM dan pihak terkait penerapan dan pendistribusian BBM satu harga untuk nelayan.
- Tulisan ini merupakan bagian kedelapan dari delapan tulisan sebagai hasil liputan mendalam tentang polemik pelarangan alat tangkap ikan jenis cantrang dan permasalahan yang dihadapi nelayan di beberapa kota di Pantura Jawa. Silakan baca tulisan pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam dan ketujuh.
Berbagai persoalan melingkupi pengelolaan perikanan tangkap nusantara. Dari hulu, hingga hilir. Di tengah rumitnya prosedur perizinan, para nelayan juga harus dihadapkan pada persoalan lain yang tak kalah pelik: mahal dan sulitnya mendapatkan solar.
Di Kota Pasuruan, Jawa Timur, nelayan setempat bahkan sempat mendatangi kantor DPRD setempat untuk menyampaikan keluhan perihal sulitnya mendapatkan solar. Kalau pun ada, kuota pembelian solar dibatasi hanya Rp300 ribu.
Situasi yang sama juga terjadi di daerah lain di Pantai Utara (Pantura) Jawa yang memang menjadi basis nelayan. Seperti Lamongan (Jawa Timur), Rembang, Pati, hingga Tegal, Jawa Tangah. Bahkan, saat harga solar oleh Pemerintah masih pada kisaran Rp12 ribu, para nelayan harus mengeluarkan biaya BBM Rp14-16 ribu per liternya.
Koordinator nelayan purse seine Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Fandholi mengatakan, sulitnya mendapatkan solar menambah persoalan yang dihadapi nelayan saat ini. Sebab, para nelayan yang sudah pusing perihal perizinan, kini harus susah payah mendapatkan solar. “Kalau pun ada, jumlahnya sangat terbatas,” katanya yang ditemui awal Juli 2022 lalu.
Keluhan yang sama disampaikan Sekretaris Asosiasi Nelayan Indonesia Dampo Awang Rembang, Jawa Tengah, Lestari Priyanto. Menurutnya, kelangkaan solar ini sudah terjadi sejak awal tahun lalu. Bila pun ada, harganya mahal. Tak pelak, situasi itu kian menambah beban para nelayan.
Imbas lainnya, banyak kapal yang tak bisa melaut karena tak mendapat kuota solar. “Pemerintah apa berpikir kesana? Pemerintah hanya menghitung angka. Ketika pemerintah menaikkan harga BBM, dampaknya lebih panjang. Kalau kapal tak bisa berangkat, ABK, buruh lepas juga tidak bisa bekerja,” kata Lestari Priyanto yang akrab dipanggil Riook.
baca : Polemik Cantrang : Kebijakan Pelarangan Setengah Hati (1)
Dampak dari kebijakan kenaikan solar ini, lanjutnya, aktivitas pelabuhan Rembang yang dulu ramai, kini relatif sepi. Dalam sehari, hanya ada 2-4 kapal yang bersandar untuk bongkar muatan. Sebuah industri kecil pengolah ikan yang ada di sekitar pelabuhan bahkan harus beroperasi buka-tutup karena pasokan ikan tak lancar.
Riook menilai pemerintah memang tak pernah serius mengurusi nelayan. Beberapa Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Nelayan (SPBN) di sejumlah tempat yang menjadi simpul nelayan banyak yang terbengkalai karena tidak terpakai. Seperti di Pasuruan, Lamongan, Pati, Rembang, hingga Tegal.
Di Rembang dan Tegal, dua stasiun SPBN milik Pertamina dan AKR bahkan sudah mulai terlihat kusam karena tak pernah dipakai. “Yang seperti ini seharusnya tidak perlu terjadi. Lha wong BBM itu kebutuhan paling pokok untuk nelayan, SPBN-nya malah tidak terpakai. Aneh pemerintah ini,” kata Riook.
Sebagai sektor yang menjadi sumber penghasilan banyak orang, hal itu seharusnya tak perlu terjadi. Bagaimanapun caranya, pemerintah seharusnya mencari solusi supaya pasokan BBM untuk para nelayan lancar dan mudah.
“Harusnya (BBM untuk nelayan) difasilitasi. Wong pelabuhan (Rembang) ini besar. Kalau perlu, kapal Pertamina yang sandar disini,” terang Riook. Agar bisa melaut, para nelayan harus membeli ke Semarang. Itu pun, 7-10 hari baru dikirim.
Riook mengatakan pemerintah seharusnya memiliki infrastruktur yang cukup untuk memperlancar pasokan BBM untuk nelayan. Tetapi terkesan bukan menjadi prioritas pemerintah dan hanya hanya sibuk mengejar setoran.
“Coba kalau disini ada SPBU khusus yang menjual solar industri ke nelayan. Dan itu sudah kita sampaikan. Tapi faktanya banyak SPBU yang mati tidak beroperasi.
Di beberapa kesempatan, pemerintah memang terlihat memberikan perhatian kepada para nelayan. Tetapi, menurut Riook, hal itu hanya terbastas pada nelayan-nelayan kecil. Padahal, nelayan besar juga perlu solar karena masyarakat yang bergantung pada aktvitas nelayan besar juga banyak. Ada ribuan ABK yang bergantung hidup dari kegiatan kapal-kapal besar ini.
baca juga : Polemik Pelarangan Cantrang : Bagaimana Kondisi di Lapangan? (2)
Keluhan yang sama juga disampaikan Adi Ipank, seorang pemilik kapal asal Pati, Jawa Tengah yang ditemui awal Juli 2022. Menurutnya, kebijakan pemerintah soal solar satu harga tak ubahnya mitos belaka. Faktanya, harga solar untuk nelayan bervariasi, antara Rp14-16 ribu.
Pada Juni 2022 lalu, Adi membeli solar seharga Rp14 ribu. Namun, karena tidak bisa membayar kontan, ia pun kena Rp14.500. “Kalau cash Rp14 ribu. Karena 50 persen, saya bayar Rp14.500. Sisanya nanti setelah kapal datang,” katanya.
Adi menyebut, tidak seragamnya harga solar tersebut bukan semata persoalan sistem rantai pasok bahan bakar pada nelayan. Tetapi, adanya pihak-pihak yang sengaja memainkan harga guna meraup untung.
“Dapat seribu per liter saja sudah dapat berapa? Wong untuk kapal kecil, itu kebutuhan sekitar 10 ton solar. Bayangkan kalau kapal saya (yang melaut ke perairan) Papua. Itu sekali trip bisa sampai 90 ton. Dan ini kalau tidak ada permainan ya nggak mungkin,” jelasnya.
Bagi Adi, ketidakjelasan pasokan dan harga solar jelas memberatkan nelayan. Namun, ia juga tidak bisa berbuat banyak. Bagi dirinya, berapapun harga solar, asal ada, tetap dibelinya ketimbang hanya parkir kapal dan tidak bisa melaut.
Operasional Membengkak
Ketua Paguyuban Nelayan Dukuh Pabean, Kabupaten Rembang, Kadromi mengatakan, kapal-kapal dengan ukuran di atas 30 GT paling terdampak dengan kelangkaan dan kenaikan harga solar. Sebab, sebelumnya, para pemilik terlanjur mengeluarkan biaya besar untuk pengurusan dokumen.
Kadromi bilang, dulu, Rp200 juta sudah cukup untuk dipakai modal kapal dengan ukuran 60-100 GT. Tetapi, dengan kenaikan harga BBM sekarang ini, biaya operasional kapal membengkak hingga dua kali lipat. Terlebih, dalam waktu yang sama, harga kebutuhan pokok seperti minyak goreng dan cabai juga naik.
“Mana ada harga solar Rp12 ribu. Tidak satu harga. Di lapangan (solar) tidak ada,” kata Romi, sapaannya akhir Juni lalu. Saat wawancara ini berlangsung, solar non subsidi masih ditetapkan seharga Rp12.250. Terbaru, pemerintah menetapkan harga solar non subsidi menjadi Rp16 ribu.
baca juga : Polemik Cantrang: Nelayan Pantura Enggan Berganti Alat Tangkap (3)
Menurut Romi, para pemilik kapal cenderung memilih membeli solar melalui agen. Kendati harga solar lebih mahal dari ketetapan pemerintah, tetapi lebih murah dibanding membeli langsung ke Pertamina.
“Harga solar di Pertamina lebih mahal, Rp16 ribu. Kita tidak kuat, jadi ambil di Migas dengan harga Rp13 ribu sampai Rp14 ribu per liter. Saya tidak tahu kenapa (harga solar di Pertamina) jadi mahal, padahal untuk Dexlite saja dari pemerintah cuma Rp12 ribu,” ungkapnya.
Romi mengatakan, untuk kapal dengan ukuran 100 GT misalnya, BBM yang dibutuhkan setidaknya 50 drum dengan kapasitas 200 liter atau sekitar 10 ribu liter. Dengan harga Rp16 ribu per liter, itu berarti nelayan harus mengeluarkan Rp160 juta hanya untuk BBM.
Belum perbekalan lain seperti logistik. Seperti cabai, yang untuk sekali berangkat, katanya, setidaknya butuh 15 kilogram, cabai rawit 50 kilogram, dan cabai hijau 10 kilogram. “Dengan rata-rata harga cabai yang tembus Rp100 ribu, itu berarti untuk cabai saja sudah Rp7,5 juta,” lanjut Romi. Belum termasuk beras, minyak goreng, air mineral. Atau bahkan es batu yang sekali trip ia perlu 60-70 ton.
Romi mengatakan, besarnya kebutuhan logistik itu sejalan dengan zona fishing ground yang didapatnya. Yakni di sekitar perairan Natuna (WPP 711). “Dan itu kalau misalnya kita tangkapan kita 60 ton, dibandingkan dengan rata-rata harga ikan yang cuma Rp6 ribu, kita dapat berapa? Bisa menutup operasional saja sudah untung-untungan,” katanya.
Banyak SPBN Mangkrak
Penelusuran Mongabay Indonesia, hampir semua stasiun pengisian bahan bakar nelayan (SPBN) tak beroperasi. Seperti di Pasuruan, Rembang, Pati, hingga Tegal. Di beberapa lokasi itu, kondisi SPBN mangkrak dan tak terawat. Di Rembang, dua SPBN milik Pertaminan dan AKR, terbengkalai karena tak terpakai.
Hadi Sutrisno, koordinator Front Nelayan Bersatu (FNB) Kabupaten Pati mengeluhkan hal yang sama. Menurutnya, kenaikan harga solar yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir kian menambah beban para nelayan. “(Kenaikan harga solar) ini sudah 100 persen lebih. Awalnya dulu Rp8 ribu, lalu naik menjadi Rp14-16 ribu dalam tempo yang sangat singkat,” katanya.
perlu dibaca : Polemik Cantrang : Akurasi Data Jadi Modal Utama Perikanan Terukur (6)
Hadi mengatakan, para nelayan, terutama kapal dengan ukuran besar sejatinya tidak berharap adanya subsidi. Akan tetapi, paling tidak pemerintah bisa membuat kebijakan solar industri khusus untuk nelayan.
“Dulu pernah ada (kebijakan solar untuk nelayan). Sekarang saya juga tidak tahu kenapa harga solar untuk nelayan lebih mahal daripada yang di darat. Kita ingin tahu yang jadi masalah dimana, mengapa bisa lebih mahal, penyebabnya apa?” katanya.
Hadi menceritakan, selama ini, para pemilik kapal memang tidak bisa langsung membeli bahan bakar ke Pertamina. Pembelian harus dilakukan melalui agen yang telah mendapat izin sebagai pemasok ke solar untuk nelayan (pelabuhan). Izin diberikan oleh otoritas pelabuhan.
Hanya, yang jadi masalah harga yang dipatok tidak seragam, bahkan cenderung fluktuatif. Bahkan, beda agen, harga yang diberikan kerap berbeda-beda. “Makanya, saya juga bingung soal harga solar ini bagaimana,” keluhnya.
Di sisi lain, Sekretaris Jenderal Koalisi Perikanan untuk Keadilan Rakyat (KIARA), Susan Herawati menyebut sulitnya akses bahan bakar hanya satu dari berbagai persoalan yang melingkupi para nelayan. Masalah ini sudah terjadi selama bertahun-tahun.
Susan pun menduga ada pihak-pihak tertentu yang secara sengaja memelihara situasi ini terus berlanjut dengan motif mencari untung. “Saya yakin otorita terkait, bahkan Pertamina pun bukan tidak tahu karena ini sudah menjadi persoalan menahun. Selama itu pula nelayan terus menjadi korban,” katanya.
Nelayan, lanjut Susan, sejatinya kerap melakukan protes. Akan tetapi, karena terdesak urusan perut, berapapun harga solar, tetap dibeli demi tetap bisa melaut.
Ketua Paguyuban Nelayan Kota Tegal (PNKT) Said mengamini pernyataan Susan. Dalam sebuah pertemuan dengan Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, persoalan itu sempat ia sampaikan. Moeldoko, cerita Said, bahkan mengaku sempat kaget dengan harga solar yang didapat nelayan.
“Kan lucu. Kita beli solar Dexlite di SPBU saja harganya Rp12 ribuan. Tapi, nelayan malah harus beli dengan harga sampai Rp16-17 ribu. Itu pun dengan kualitas yang lebih rendah dari Dexlite. Kalau boleh memilih, kita beli Dexlite saja. Makanya, tuntutan kita minta harga BBM industri, tapi khusus untuk nelayan,” ungkapnya.
Menurut Said, nelayan sejatinya tidak mempersoalkan harga solar yang mahal. Itu bila harga ikan turut naik. Sayangnya, harapan itu tak terjadi. Saat harga bahan bakar terus membumbung tinggi, sedangkan harga ikan di pasaran relatif statis berkisar Rp6 ribu per kilogram.
menarik dibaca : Pengganti BBM, Elpiji Jadi Pilihan Nelayan
Sedangkan Kepala Bidang Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Jawa Tengah Kurniawan Priyo Anggoro melalui jawaban tertulisnya kepada Mongabay Indonesia, pertengahan Juli lalu mengatakan, selama ini, tata kelola niaga solar berikut penetapan harganya menjadi kewenangan Kementerian ESDM.
DKP Provinsi, kata Kurniawan, hanya bertugas melakukan pengawasan penyaluran dengan menerbitkan rekomendasi bagi pemilik kapal.
Terkait kelangkaan BBM, Direktur Perikanan Tangkap KKP, Muhammad Zaini dalam sebuah pertemuan dengan nelayan pertengahan Juli lalu mengatakan, kelangkaan BBM yang terjadi tak lepas dari resesi global yang terjadi saat ini.
Khusus usulan penerapan BBM satu harga khusus untuk nelayan, pihaknya menyatakan akan mengkoordinasikannya dengan instansi terkait. “BBM bersubsidi hanya untuk nelayan kecil, tidak untuk pelaku usaha dengan kapal besar,” kata Zaini.
Saat ini pihaknya telah menjalin kesepakatan bersama kementerian dan atau lembaga terkait dengan harapan kuota BBM untuk nelayan bisa dipenuhi dan distribusi dipercepat. Dan penyaluran ke stasiun-stasiun BBM nelayan semakin lancar.