Mongabay.co.id

Elektrifikasi Kendaraan, Cara Efektif Kendalikan Pencemaran Udara di Jakarta

 

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerbitkan dokumen Strategi Pengendalian Pencemaran Udara (SPPU). Strategi itu merupakan tindak lanjut dari amar putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 16 September 2021, yang mengabulkan gugatan warga tentang polusi udara.

SPPU adalah dokumen komprehensif berisi strategi dan rencana aksi untuk menanggulangi dampak pencemaran udara di Jakarta. Dokumen strategi ini akan menjadi panduan bagi Pemprov DKI Jakarta hingga 2030.

“Rangkaian strategi ini mencakup langkah-langkah pengendalian pencemaran udara dari hulu ke hilir, mulai dari pengembangan dan revisi kebijakan hingga pengawasan dan penegakan hukum,” terang Asep Kuswanto, Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Senin (19/9/2022).

SPPU berisi serangkaian strategi peningkatan tata kelola pengendalian pencemaran udara, juga mengurangi emisi pencemar udara dari sumber bergerak maupun sumber tidak bergerak. Di dalamnya, terdapat lebih dari 70 rencana aksi yang pelaksanaannya membutuhkan kolaborasi lintas sektor.

Terdapat tiga strategi utama dalam program pengendalian pencemaran udara. Pertama, peningkatan tata kelola pengendalian pencemaran udara. Yang akan dicapai melalui, peningkatan kualitas dan kuantitas inventarisasi emisi yang berkelanjutan, peningkatan sistem pemantauan dan evaluasi mutu udara, pengkajian dampak pencemaran udara terhadap kesehatan, sosial dan ekonomi.

“Kegiatan lainnya adalah pembentukan tim kerja lintas sektoral pengendalian, penyusunan regulasi dan kebijakan terkait pengendalian pencemaran udara, serta pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelaku pencemaran udara,” kata Asep.

baca : Polusi Udara Jakarta Parah, Desak Pemerintah Serius Atasi Pencemaran

 

Panorama Kota Jakarta yang diseliputi kabut asap pada Februari 2017. Jakarta, salah satu daerah dengan polusi tinggi karena beragam penyebab, salah satu polusi dari kendaraan bermotor. Foto: Sapariah Saturi

 

Strategi kedua adalah pengurangan emisi udara dari sumber bergerak. Dalam pelaksanaan strategi ini Pemerintah DKI Jakarta akan menyelenggarakan, peremajaan angkutan umum dan pengembangan transportasi ramah lingkungan untuk transportasi umum dan daerah, penerapan uji emisi kendaraan bermotor, dan pengembangan kawasan rendah emisi.

Pengendalian emisi juga dilakukan melalui pengurangan mobilitas dalam rangka kerja sama pilar pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil, peningkatan infrastruktur penghubung ke sarana transportasi umum, pengembangan manajemen rekayasa lalu lintas hingga peningkatan peran serta masyarakat dalam perbaikan kualitas udara.

Strategi ketiga adalah pengurangan emisi pencemaran udara dari sumber tidak bergerak. Beberapa kegiatan untuk menjalankan strategi ini di antaranya, peningkatan ruang terbuka dan bangunan hijau, peningkatan instalasi panel surya atap, pengendalian emisi melalui infrastruktur ramah lingkungan serta pengendalian polusi udara dari kegiatan industri.

“Pemprov DKI Jakarta, melalui Dinas Lingkungan Hidup berkomitmen untuk dapat mengimplementasikan SPPU dengan melibatkan partisipasi semua pihak, sebagaimana amanat putusan gugatan warga,” terang Asep.

Sebelumnya, Agustus 2019, warga DKI Jakarta didampingi organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Tim Advokasi Gerakan Ibu Kota (Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta) menggugat pemerintah pusat dan daerah akibat pencemaran udara di provinsi itu. Tercemarnya udara Jakarta disebut menyebabkan hak masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak terpenuhi.

Para tergugat di antaranya Presiden Republik Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Banten dan Gubernur Jawa Barat.

Setelah lebih dari dua tahun bersidang, pada 16 September 2021,  Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan sebagian gugatan warga. Putusan Majelis Hakim antara lain, menghukum presiden mengetatkan baku mutu udara ambien nasional agar cukup melindungi kesehatan manusia, lingkungan dan ekosistem. Juga menghukum KLHK mesupervisi Gubernur Jakarta, Gubernur Banten dan Gubernur Jawa Barat dalam pengetatan emisi lintas batas provinsi Jakarta, Banten dan Jawa Barat.

baca juga : Diklaim Membaik, Ini Langkah Pengendalian Polusi Udara di Jakarta

 

Rasio volume kendaraan dengan panjang jalan di Jakarta yang sudah tidak lagi seimbang, membuat kemacetan menjadi keseharian. Jumlah kendaraan pribadi dan kemacetan menjadi faktor boronya konsumsi BBM di Indonesia. Foto : Jay Fajar / Mongabay Indonesia

 

Elektrifikasi Kendaraan untuk Kendalikan polusi

Elektrifikasi kendaraan dinilai sebagai program yang efektif untuk mengendalikan polusi. Sebab, menurut catatan Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), sektor transportasi disebut sebagai pencemar terbanyak bagi di DKI Jakarta dan sekitarnya.

KPBB mencontohkan, polutan PM10, misalnya, diperkirakan mencapai 39 ribu ton per hari, yang 47% di antaranya dari kendaraan bermotor, 20% industri, 11% domestik, 4% kegiatan konstruksi, pembakaran sampah 5%, serta debu jalan 11%. Sementara, PM2,5 sekitar 29ribu ton per hari, yang 57 persennya bersumber dari transportasi.

Ahmad Syafrudin, Direktur Eksekutif KPBB menyebut, beban emisi polutan udara yang dihasilkan kendaraan bermotor di Jabodetabek tercatat mencapai 19.165 ton per hari yang bersumber dari sepeda motor (45%), truk (20%), bus (13%), mobil diesel (6%), mobil bensin (16%) dan kendaraan roda tiga (0,2%). Sedangkan, beban CO2e tercatat 318.840 ton per hari, yang bersumber dari truk (43%), bus (32%), sepeda motor (18%), mobil bensin (4%), mobil diesel (3%) dan roda tiga (0,01%).

“Adopsi sepeda motor listrik akan serta-merta menurunkan pencemaran udara sebesar 45%, juga menurunkan level emisi CO2 hingga 44%. Elektrifikasi juga patut diterapkan pada bus, agar menghilangkan potensi emisi pencemaran udara dan mampu menurunkan kontribusi emisi CO2,” ujarnya dalam Media Briefing bertajuk “Grand Strategy si Macan Keras: Saatnya Revisi Perda Pengendalian Pencemaran Udara Jakarta”, Rabu (21/9/2022).

Sementara itu, lanjutnya, truk dikonversi dalam standard Euro4 dengan BBM yang sesuai kualitasnya. Peralihan itu dipercaya dapat menurunkan emisi hingga 70%. Seperti halnya truk, kendaraan penumpang semisal sedan dan MPV, dikonversi ke kendaraan berstandard Euro4. Namun, dengan preferensi kuat dikonversi ke kendaraan listrik.

Agar elektrifikasi kendaraan bermotor optimal dalam mereduksi emisi, maka konversi pembangkit listrik tenaga fosil atau fossil fired power plant (PLTU batubara/BBM dan PLTD) menuju renewable power plant harus dilakukan sejalan dengan konversi kendaraan listrik.

“Jadi banyak kritik, konversi kendaraan listrik hanya memindahkan emisi, maka dapat dijawab dengan mengembangkan renewable energy atau power plant yang menghasilkan listrik dari tenaga air, surya, panas bumi. Sehingga dengan demikian emisinya bisa nol. Baik pencemaran udara maupun gas rumah kaca,” tambah Ahmad Syafrudin.

baca juga : Akankah Mutu Udara Jakarta dan Kota-kota Lainnya Membaik?

 

Presiden Joko Widodo mencoba motor listrik nasional Gesits di halaman belakang istana Merdeka Jakarta, Rabu (7/11/2018). Foto: dok. Biro Pers Setpres

 

Sebagai langkah awal, Strategi Pengendalian Pencemaran Udara (SPPU) DKI Jakarta dinilai dapat dilakukan dengan menjalankan razia emisi, baik emisi kendaraan bermotor, emisi pabrik, power plant, pembakaran sampah dan lain sebagainya.

Pada tahap awal, razia emisi dinilai lebih efektif diterapkan ketimbang uji emisi. Sebab, lanjut Ahmad Syafrudin, untuk menjalankan uji emisi setidak-tidaknya diperlukan 2500 bengkel. Sementara, saat ini, belum banyak bengkel yang memiliki peralatan uji emisi.

Pemprov DKI Jakarta juga diminta mengundangkan SPPU sebagai bahan revisi Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 2 tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Tidak adanya regulasi yang mengikat dinilai membuat strategi ini, dalam pelaksanaannya, tidak cukup punya kekuatan.

“Rencananya (SPPU) diusulkan menjadi Peraturan Gubernur, tapi kami rasa tidak cukup. Karena SPPU melibatkan lintas sektor, kelembagaan dan tidak akan mempan kalau hanya diatur Gubernur. Apalagi pak Anies Baswedan sempat bilang bahwa, kontributor pencemaran udara tidak hanya datang dari internal tapi juga dari luar DKI Jakarta,” tambah Ahmad Syafrudin.

Berdasarkan catatan KPBB, tren kualitas udara DKI Jakarta relatif buruk dalam 10 tahun terakhir. Pada tahun 2020, konsentrasi rata-rata PM2,5 (46,1 g/m3), PM10 (59,03 g/m3), O3 (83,3 g/m3 ) dan SO2 (42,76 g/m3). Sementara itu, konsentrasi dalam rata-rata 8 jam, NO2 dan CO masing-masing adalah 14,92 g/m3 dan 3610 g/m3.

Dampaknya menyebabkan sakit atau penyakit seperti ISPA, asma, pneumonia, broncho-pneumonia, jantung koroner, kanker, hipertensi, gagal ginjal, penurunan daya intelektual anak-anak dan menguras biaya kesehatan warga Jakarta sebesar Rp 51,2 T per tahun 2016.

Tanpa penanganan yang efektif, beban emisi di Jabodetabek diperkiakan akan meningkat 1,8-3,5 kali lipat pada tahun 2030.

 

Exit mobile version