- Laju pertumbuhan penduduk di Jakarta per tahun mencapai 0,92 %. Hal ini berpengaruh terhadap peningkatan bahan bakar transportasi yang digunakan oleh masyarakat. Dampaknya kualitas udara di Jakarta menjadi tidak sehat.
- Sebuah penelitian global menyebutkan, dampak dari polusi udara itu bisa merusak setiap organ dan hampir setiap sel dalam tubuh manusia.
- Transportasi masih menjadi penyumbang polusi udara terbesar di DKI Jakarta. Hal ini dipicu dengan jumlah kendaraan bermotor yang berbanding lurus terhadap pencemaran udara dan kemacetan.
- Dinas Lingkungan Hidup Pemprov DKI Jakarta tengah menyusun Grand Design Pengendalian Pencemaran Udara (GDPPU). Untuk mengurangi polusi udara di Jakarta GDPPU ini akan memuat rencana aksi dengan target pengurangan di tahun 2030.
Pencemaran udara yang terjadi di perkotaan seperti DKI Jakarta mengakibatkan dampak yang serius dan merugikan bagi kesehatan masyarakat. Sebuah penelitian global menyebutkan, dampak dari polusi udara itu bisa merusak setiap organ dan hampir setiap sel dalam tubuh manusia. Penelitian yang diterbitkan Forum of International Societies Enviromental Committee menjelaskan, kerusakan sel tubuh bisa dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Polusi udara juga bisa menyebabkan penyakit jantung, paru-paru, diabetes dan dimensia, bahkan masalah hati, kulit rusak, kesuburan, janin maupun perkembangan anak-anak. Selain itu juga risiko kematian dini, penurunan produktivitas kerja dan produktivitas pertanian jadi terganggu.
Hasil riset terbaru Greenpeace Asia Tenggara dan Center for Research in Energy dan Clean Air (CREA) menunjukkan, kerugian ekonomi dari polusi udara mencapai USD8 miliar per hari, atau 3,3% dari produk domestik bruto (PDB) dunia, atau setahun USD2,9 triliun.
Sementara itu, laju pertumbuhan penduduk di Jakarta per tahun mencapai 0,92%. Hal ini berpengaruh terhadap peningkatan bahan bakar transportasi yang digunakan oleh masyarakat. Dampaknya kualitas udara di Jakarta menjadi tidak sehat.
Humas Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Yogi Ikhwan memaparkan, transportasi masih menjadi penyumbang polusi udara terbesar di DKI Jakarta. Hal ini dipicu dengan jumlah kendaraan bermotor yang berbanding lurus terhadap pencemaran udara dan kemacetan, selain itu juga pada sektor industri manufaktur. Tetapi polusi dari sektor transportasi diklaim mengalami penurunan.
“Karena industri pengolahan itu sudah bergeser ke luar daerah, Jakarta saat ini fokus di kota industri jasa,” jelas Yogi, dalam acara Media Briefing bertema ‘Upaya Pemprov Jakarta Menuju #LangitBiru di Menteng, Jakarta Pusat, Jum’at (28/01/2022).
baca : Ternyata Udara Tidak Sehat di Jakarta Lebih Tinggi Setelah PPKM Darurat. Kok Bisa?
Umumnya, lanjut Yogi, bahan bakar kendaraan yang digunakan warga yaitu solar dan bensin, selain itu juga pelumas, meski bukan jenis bahan bakar tetapi termasuk berpengaruh juga terhadap kualitas kinerja mesin yang akhirnya menghasilkan emisi.
Adapun pemakaian bensin ini cenderung meningkat menggantikan minyak solar. Sedangkan trend porsi penggunaan energi di sektor manufaktur cenderung mengecil, dan digantikan dengan proporsi sektor transportasi yang semakin besar.
Adapun berdasarkan data yang disajikan, 2020 jumlah total kendaraan di Jakarta sekitar 20,22 juta unit. Rata-rata kenaikan jumlah kendaraan sepeda motor (4,9%) lebih rendah dibandingkan mobil penumpang (7,1%). Untuk jumlah mobil beban, naik (5,3%) dan bus (4,5%).
Langkah Pengendalian
Untuk itu, dalam perbaikan kualitas udara yang lebih baik Pemprov DKI Jakarta melakukan berbagai upaya, salah satunya seperti yang tertuang dalam Intruksi Gubernur Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara. Aksi itu diantaranya yaitu, pertama, memastikan tidak ada angkutan umum yang berusia di atas sepuluh tahun, dan tidak lulus uji emisi beroperasi di jalan serta menyelesaikan peremajaan seluruh angkutan umum melalui program Jak Lingko pada tahun 2020.
Kedua, mendorong partisipasi warga dalam pengendalian kualitas udara melalui perluasan kebijakan ganjil genap, serta peningkatan tarif parkir di wilayah yang terlayani angkutan umum massal mulai tahun 2019, dan juga penerapan kebijakan congestion pricing yang dikaitkan pada pengendalian kualitas udara pada tahun 2021.
baca juga : Akankah Mutu Udara Jakarta dan Kota-kota Lainnya Membaik?
Ketiga, memperketat ketentuan uji emisi bagi seluruh kendaraan pribadi mulai tahun 2019, dan memastikan tidak ada kendaraan pribadi berusia lebih dari sepuluh tahun yang dapat beroperasi di wilayah DKI Jakarta pada tahun 2050. Keempat, mendorong peralihan ke moda transportasi umum dan meningkatkan kenyamanan berjalan kaki melalui percepatan pembangunan fasilitas pejalan kaki di 25 ruas jalan protokol, arteri dan penghubung angkutan umum massal pada tahun 2020.
Kelima, memperketat pengendalian terhadap sumber penghasilan polutan tidak bergerak, khususnya pada cerobong industri aktif yang menghasilkan polutan melebihi nilai maksimum baku mutu emisi yang berada di wilayah DKI Jakarta pada tahun 2019.
Keenam, mengoptimalkan penghijauan pada sarana dan prasarana publik dengan mengadakan tanaman berdaya serap polutan tinggi mulai tahun 2019, dan juga mendorong adopsi prinsip green building pada seluruh gedung melalui penerapan insentif dan disinsentif.
Terakhir, merintis peralihan ke energi terbarukan dan mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, dengan menginstalasi solar panel rooftop pada seluruh gedung sekolah, gedung pemerintah daerah, dan fasilitas kesehatan milik pemerintah daerah.
Selain itu, Dinas Lingkungan Hidup Pemprov DKI Jakarta juga tengah menyusun Grand Design Pengendalian Pencemaran Udara (GDPPU). Untuk mengurangi polusi udara di Jakarta, GDPPU ini akan memuat rencana aksi dengan target pengurangan di tahun 2030. Adapun pelaksanaanya dilakukan bekerjasama dengan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB).
perlu dibaca : Mencari Solusi Tanpa Polusi Atasi Pencemaran Udara Perkotaan
Yogi menyebut, pada 2 Desember 2021 GDPPU sudah dikonsultasikan ke publik dengan mengundang berbagai stakeholders, seperti akademisi, NGO dan Pemerintah Pusat.
“Dengan adanya Grand Design ini, harapannya pada 2030 semua misi ini bisa tercapai, Jakarta bisa mengembalikan langit biru, dan dampak polusi udara berkurang,” ujarnya.
Dalam perbaikan kualitas udara, Pemprov DKI Jakarta menyebut dibandingkan pada tahun 2019 yang mencapai 183 hari, jumlah kualitas udara tidak sehat di ibu kota berkurang menjadi 90 hari pada pada tahun 2020.
Tantangan di Negara Berkembang
Untuk mengatasi polusi udara di negara berkembang seperti Indonesia itu menghadapi berbagai tantangan. Sebab, di negara berkembang yang dibangun adalah perekonomiannya. Sehingga sektor manufaktur seperti pabrik dan transportasi bisa meningkat. Dampaknya polusi udara yang ditimbulkan tinggi.
Ririn Radiawati Kusuma, Indonesia Country Coordinator for Enviromental Health at Vital Strategies menjelaskan, meski demikian sebenarnya tantangan itu bisa diimbangi dengan pembangunan yang ramah lingkungan, seperti green ekonomi dan juga mengontrol cerobong pabrik-pabrik penyumbang polusi udara tersebut.
Selain itu menurut Ririn, tantangan umum di negara berkembang dalam mengatasi polusi udara yaitu kualitas udara ambien jauh di atas standar kualitas udara yang aman untuk kesehatan. Kenaikan polusi udara yang modern seperti kendaraan-kendaraan umum maupun pribadi turut menjadi tantangan tersendiri, begitu juga dengan adanya sumber tradisional yang persisten seperti masih adanya penggunaan kayu bakar untuk memasak, atau ada juga yang membakar sampah.
“Kalau di Jakarta untuk pembakaran sampah ini sudah mengalami penurunan, karena adanya pelarangan dari Pemerintah,” ujarnya, Kamis (03/02/2022).
baca juga : Polusi Udara, Pembunuh Senyap di Jabodetabek
Berikutnya yaitu aktivitas pengendalian prioritas yang tidak terlalu cocok dengan sumber terbesar. Menurut Ririn, kalau di Jakarta sekarang ini sudah banyak riset-riset yang membahas polusi udara, sehingga untuk aksi yang dilakukan sesuai dengan data riset yang sudah ada. Untuk mengukur sumber emisi itu ada dua pendekatan yaitu top down dan bottom up, setelah menemukan sumber polusi yang terbesar sehingga dalam mengatasinya itu bisa fokus.
Tantangan lainya, katanya, aksi tingkat kota yang terbatas. Karena pergerakan polutan itu tergantung pada arah angin, curah hujan, kelembaban, dll. Sehingga bisa jadi polusi itu berasal dari luar Jakarta. Selain itu, kompleksitas, biaya untuk pemantauan dan modelling limited capacity for enforcement juga menjadi tantangan lainnya. Terakhir, fokus yang belum jelas dan polusi udara yang terjadi musiman, dan penegakan hukum yang terbatas.
“Yang perlu dilakukan oleh negara berkembang dalam mengatasi polusi udara adalah bekerjasama dengan berbagai stakeholder, bisa akademisi dan juga NGO. Apalagi Jakarta kan (tagline-nya) kota kolaborasi,” ungkap Ririn. Nantinya, hasil riset itu diserahkan ke pemerintah untuk menjadi basis pembuatan kebijakan publik.