Mongabay.co.id

Mengapa Konflik Manusia dengan Gajah Sumatera di Aceh Tinggi?

Gajah liar betina ini ditemukan mati di areal perkebunan masyarakat di Desa Sri Mulya, Kecamatan Peunaron, Kabupaten Aceh Timur.

 

 

Konflik manusia dengan gajah sumatera [Elephas maximus sumatranus] di Provinsi Aceh terus terjadi.

Terbaru, satu individu gajah sumatera liar ditemukan mati di areal kebun masyarakat di Desa Sri Mulya, Kecamatan Peunaron, Kabupaten Aceh Timur, Aceh, Jumat [14/10/2022]. Berdasarkan hasil nekropsi tim BKSDA Aceh, gajah betina umur 6-7 tahun itu, mati akibat mengkonsumsi pupuk yang berada di pondok di kebun tersebut.

Data Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh menunjukkan, periode Januari hingga Agustus  2022, konflik manusia dengan gajah sebanyak 68 kasus. Sebarannya di Kabupaten Aceh Jaya, Aceh Selatan, Nagan Raya, Bener Meriah, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Tengah, Aceh Utara, Aceh Tamiang, Aceh Timur, Aceh Barat, Aceh Tenggara, dan Kota Subulussalam.

Sementara, tahun 2021 [145 kasus], tahun 2020 [111 kasus], pada tahun 2019, jumlah konflik mencapai 106 kali.

Pertikaian paling sering adalah gajah masuk kebun atau makan tanaman pertanian masyarakat.

“Satu penyebab utama adalah habitatnya rusak, atau berubah menjadi areal pertanian dan perkebunan,” terang Kepala Seksi Konservasi Wilayah I BKSDA Aceh Kamarudzaman, Rabu [20/07/2022].

Kamarudzaman memaparkan yang terjadi di Kabupaten Aceh Utara. BKSDA Aceh bersama lembaga mitra sudah tidak tahu kemana harus menggiring gajah yang berkonflik, karena sebagian besar habitatnya telah menjadi perkebunan sawit.

“Tidak sedikit gajah terjebak di perkebunan. Kami berupaya maksimal, jangan sampai satwa dilindungi ini ada yang menjadi korban, terlebih mati,” tambahnya.

Baca: Selama Habitatnya Dirusak, Konflik Manusia dengan Gajah Tetap Terjadi

 

Gajah liar betina ini ditemukan mati di areal perkebunan masyarakat di Desa Sri Mulya, Kecamatan Peunaron, Kabupaten Aceh Timur, Aceh, Jumat [14/10/2022]. Foto: Dok. Polres Aceh Timur

 

Kepala BKSDA Aceh Agus Arianto mengatakan, pihaknya bersama lembaga pemerintah lain di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota beserta mitra, terus meminimalisir konflik.

Untuk mengantisipasi gajah masuk kebun atau permukiman masyarakat, barrier atau parit dibuat di Aceh Timur, Aceh Selatan, dan beberapa daerah. Pagar kejut atau power fencing dengan arus listrik rendah juga dibangun di Kabupaten Pidie, Aceh Timur, dan Bener Meriah.

“Semua ini tidak bisa dilakukan BKSDA Aceh dan lembaga mitra tanpa partisipasi aktif masyarakat,” jelasnya, awal Agustus 2022.

Untuk mengatasi konflik, didirikan juga tujuh Conservation Response Unit [CRU] di Aceh Timur, Aceh Utara, Bener Meriah, Pidie, Aceh Jaya, Aceh Barat, dan Aceh Selatan. Di setiap CRU, terdapat tiga atau empat gajah jinak yang difungsikan membantu meminimalisir konflik.

“Semua kegiatan itu untuk menyelesaikan konflik sementara, paling penting adalah masyarakat mengganti tanaman yang disukai gajah seperti sawit, pinang, jagung, atau tebu. Dengan begitu kita bisa hidup berdampingan,” paparnya.

Baca: Instruksi Penyelamatan Satwa Liar dari Jerat dan Perburuan Telah Dikeluarkan, Implementasi Lapangan?

 

Gajah betina liar yang terluka dan kurus ini ditemukan di Kabupaten Aceh Besar, pada 2018 lalu. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kepala Bidang Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan [DLHK] Aceh, Muhammad Daud mengatakan, penanganan konflik manusia dengan gajah terkendala masalah, seperti pertanian dan perkebunan.

“Kebutuhan lahan di Aceh meningkat karena pertumbuhan penduduk,” ungkapnya, akhir Juni 2022.

Terkait satwa liar, Aceh telah memiliki Qanun atau Perda Aceh Nomor 7 Tahun 2016 tentang Kehutanan Aceh dan Qanun Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Satwa Liar. DLHK Aceh bersama lembaga terkait, akademisi, dan LSM tengah menyelesaikan Strategi dan Rencana Aksi Pengelolaan [SRAP] Satwa Liar.

“Rencana pembangunan Kawasan Ekosistem Esensial [KEE] Aceh sebagai koridor dan habitat satwa liar, termasuk gajah, juga dilakukan dengan melibatkan sejumlah pihak.”

KEE merupakan ekosistem di luar kawasan Suaka Alam atau Kawasan Pelestarian Alam yang mempunyai nilai penting ekologis, guna menunjang kelangsungan kehidupan melalui upaya konservasi keanekaragaman hayati untuk kesejahteraan masyarakat.

KEE bukan hanya kawasan hutan, bisa jadi juga lahan pertanian atau perkebunan masyarakat. Jika itu lahan masyarakat, kepemilikannya tidak berubah.

“Yang diatur hanya pengelolaan. Misal, lahan masyarakat yang berada di koridor gajah, harus jenis tanaman yang tidak disukai gajah,” jelas Daud.

Baca: Rancangan Pergub Aceh Tentang Konflik Satwa Liar Disusun, Sebagai Bencana Luar Biasa

 

Barier gajah atau parit buatan di Aceh Selatan ini dibuat untuk mencegah terjadinya konflik antara manusia dengan gajah liar. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kenapa konflik tinggi?

Kenapa konflik manusia dengan gajah di Aceh terus terjadi setiap tahun? Tim peneliti Yayasan Leuser International [YLI] tahun 2021 telah melakukan analisis.

Kepala Peneliti Yayasan Leuser International [YLI], Renaldi Safriansyah dalam webinar “Akar Permasalahan Konflik Manusia-Gajah di Aceh dan Solusi-Solusi Berbasis Alam” pada Rabu, [02/02/2022] memaparkan hasil riset konflik manusia dengan gajah sumatera di Aceh sejak 2015 hingga 2020.

Data dikumpulkan berdasarkan laporan masyarakat yang dicatat Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh. Selain itu, ditambah data lapangan di Kabupaten Pidie dan Kabupaten Bener Meriah.

“Berdasarkan data, populasi gajah di Aceh menurun dari 800 individu pada 2003 menjadi 539 individu pada 2020. Hasil pemantauan berbagai pihak menunjukkan, gajah tersebar dalam 35 kelompok yang berada di 13 kabupaten. Aceh Jaya, Aceh Utara, dan Aceh Barat dengan populasi terbanya,” ujarnya.

Selama 2015-2020, jumlah konflik manusia dengan gajah mencapai 456 kasus. Daerah paling banyak konflik adalah Kabupaten Aceh Timur, Pidie, Aceh Jaya, dan Aceh Utara.

“Periode ini tercatat 46 individu gajah terbunuh, terbanyak di Aceh Timur. Konflik dengan manusia penyebab utama kematian gajah [57 persen], perburuan [10 persen], dan 33% karena kematian alami,” jelasnya.

Tim peneliti YLI juga menemukan, perusakan tanaman sebesar 46,7 persen dan ancaman gajah sekitar 29,3 persen. Selain itu, konflik menyebabkan kerusakan harta benda [8,5 persen], kematian gajah [8,1 persen], gajah luka [5,1 persen], manusia luka [1,8 persen], dan kematian manusia [0,5 persen].

“Selain itu, pemukiman masyarakat atau lahan pertanian dan perkebunan di tepi hutan yang jaraknya kurang dari satu kilometer dengan habitat gajah, rentan konflik,” ujarnya.

Renaldi mengatakan, penyebab konflik manusia dengan gajah semakin sering terjadi, karena habitat gajah menyempit akibat menyusutnya kawasan hutan.

Data Global Forest Watch [2021] menunjukkan, Aceh kehilangan sekitar 51.821 hektar hutan primer selama 2017–2020. Rinciannya, 2017 [17.820 hektar], 2018 [15.071 hektar], 2019 [10.200 hektar], dan 2020 [8.730 hektar].

Kawasan hutan yang merupakan habitat gajah telah beralih fungsi menjadi perkebunan sawit, karet, pinang, pisang, dan tanaman lainnya. Pembangunan proyek-proyek skala besar seperti jalan raya, pembangkit listrik tenaga air, dan lainnya juga berdampak pada habitat gajah.

“Rencana pembangunan 12 ruas jalan baru yang melalui hutan Peureulak – Lokop, Kabupaten Aceh Timur, tembus ke Kabupaten Gayo Lues, menyebabkan habitat gajah terfragmentasi yang dikhawatirkan meningkatkan konflik dengan manusia. Perlindungan dan pengelolaan habitat melalui pendekatan multi-stakeholder management harus dilakukan,” jelasnya.

Semua pemangku kepentingan harus menerapkan prinsip natural based solutions dengan pendekatan infrastruktur hijau dan infrastruktur alam.

“Langkah-langkah perlindungan untuk meminimalis dampak negatif pembangunan infrastruktur skala besar terhadap satwa liar, tidak boleh dilupakan,” ujarnya.

Baca juga: 251 Ribu Hektar Hutan Aceh Rusak, Upaya Pemulihan?

 

Pembalakan liar yang terus berlangsung di Aceh, terutama di hutan Leuser berdampak pada rusaknya habitat gajah. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Data Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan [HAkA] Aceh menunjukkan, dari Juni 2020 hingga Juli 2021, provinsi ini kehilangan tutupan hutan sebesar 19.443 hektar. Atau, dalam setiap 27 menit, Aceh kehilangan satu hektar tutupan hutan.

Manager Geographic Information System [GIS] HAKA, Lukmanul Hakim mengatakan, angka deforestasi tersebut merupakan hasil pemantauan dan analisis citra satelit, seperti Google Earth, Citra Planet, dan verifikasi lapangan.

“Sekitar 58 persen tutupan yang hilang berada di hutan lindung, hutan produksi, dan taman nasional. Sementara 42 persen berada di areal penggunaan lain,” ujarnya.

Dia menambahkan, wilayah yang tutupannya berkurang berada di 21 kabupaten/kota, akibat pembalakan liar, perambahan, dan alih fungsi.

“Pada 2021 Aceh Tengah kehilangan tutupan hutan 3.342 hektar, Aceh Timur [1.910 hektar], Aceh Utara [1.507 hektar], Aceh Barat [1.433 hektar], Gayo Lues [1.368 hektar], Aceh Selatan [1.259 hektar], dan Bener Meriah [1.158 hektar],” ujarnya.

 

Gajah sumatera, dulu dihormati kini dianggap sebagai pengganggu. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sudah mengingatkan

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Aceh, Ahmad Shalihin menjelaskan,  pihaknya sudah mengingatkan akan potensi konflik manusia dengan manusia. Ini dikarenakan pengelolaan kawasan hutan tidak dilakukan secara benar.

“Pemulihan kawasan hutan harus segera dilakukan. Perusahaan pemegang HGU perkebunan sawit yang lokasinya berada di jalur lintasan gajah, penting ditinjau ulang,” ujarnya.

Upaya perbaikan tata kelola lingkungan hidup harus dimulai dari Revisi Tata Ruang Aceh yang belum mengakomodir isu konflik satwa dan manusia.

“Ini diharapkan menjadi solusi, atas tumpang tindihnya pemanfaatan ruang yang tidak memperhatikan habitat satwa. Upaya penegakan hukum lingkungan pun harus dilakukan tegas, tidak reaksioner saat ada kejadian luar biasa,” paparnya.

 

Exit mobile version