Mongabay.co.id

Pengeringan Hiu untuk Bahan Kosmetik, Pangan dan Kerajinan

 

Sebagai predator puncak bagi ekosistem laut, keberadaan hiu dihadapkan dengan ancaman kelangkaan yang tinggi karena karena penangkapan dan perdagangan hiu masih marak dilakukan oleh masyarakat baik secara terbuka maupun illegal. Hiu yang diperdagangkan tersebut bisa berupa daging kering maupun dalam bentuk basah.

Hampir seluruh bagian tubuh hiu bernilai ekonomis, baik itu sirip, tulang, kulit, daging, hati maupun bagian tubuh lainnya.

Di Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional (PHPT), Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, DKI Jakarta, misalnya. Hampir setiap hari ada pekerja yang melakukan pengasinan daging hiu untuk dijual kering.

Selain itu, dengan memanfaatkan bantuan sinar matahari, kulit, tulang dan sirip hiu juga turut digaringkan di atas alas yang terbuat dari bambu. Sebelum dikeringkan, hiu berukuran kecil dan sedang yang diangkut dari gudang pembeku di Pelabuhan Perikanan Nasional Muara Angke maupun Muara Baru itu terlebih dulu diproses dilapak rumahan.

baca : Perburuan Hiu-Pari yang Tak Pernah Mati

 

Daging hiu yang sudah dipotong-potong kemudian di jemur. Untuk pengolahan daging hiu, selain menjadi ikan asin sebagian juga ada yang dijadikan dendeng, bakso. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Dengan menggunakan pisau, para pekerja terlihat sibuk memisahkan tulang, kulit dan daging hiu. Untuk daging dipotong dengan ukuran yang seragam. Sementara ukuran kulitnya beragam antara 1-2 meter.

“Kalau sudah kering dagingnya nanti dikirim ke Surabaya. Untuk kulit yang kualitas bagus dan sirip nantinya dikirim ke Korea. Masing-masing sudah ada pembeli dan penampung yang berbeda,” ujar Haryanto (40), salah satu pekerja disela aktivitasnya menjemur daging satwa laut yang dikenal juga dengan sebutan cucut ini, Rabu (28/09/2022).

Sementara, lanjut pria berkulit sawo matang itu, tulangnya dikirim ke pabrik untuk bahan baku obat maupun kosmetik. Jika cuaca mendukung atau sinar matahari cukup terik, waktu penjemuran hanya membutuhkan dua hari. Namun, jika cuaca kurang bagus penjemurannya bisa molor menjadi 4-5 hari.

 

Melalui Pelelangan

Sugih Suryagalih dan Darmawan dalam penelitiannya Studi Pengelolaan Perikanan Hiu di Pantai Utara Pulau Jawa menjelaskan, dalam mendaratkan hiu di pelabuhan Muara Baru itu banyak dilakukan di dermaga pembongkaran hasil tangkapan kapal. Setelah itu langsung dipasarkan melalui pelelangan.

Untuk hiu yang tidak terjual didalam lelang, maka akan disimpan di cold storage agar kondisinya bisa bertahan lama. Namun, menurut penelitian itu, sebagian besar pemasaran hiu terjual baik melalui pasar pelelangan maupun jalur pemasaran lain.

Bagian badan yang dipasarkan sebagian besar dijadikan fillet. Sedangkan kulit dan tulang dijadikan kerupuk serta obat. Untuk bagian sirip hiu sudah hilang sejak didaratkan, karena dipasarkan melalui kapten atau awak kapal perikanan (AKP).

“Sirip hiu mempunyai nilai ekonomis tinggi, sekitar Rp500.000 hingga Rp800.000 per kilo yang ditentukan berdasarkan jenis hiu,” tulis Singgih Wibowo dan Heru Susanto dalam buku setebal 156 halaman itu.

baca juga : Bukan Hanya Komodo, Hiu dan Pari Juga Terancam Dampak Perubahan Iklim 

 

Dengan memanfaatkan bantuan sinar matahari, kulit, tulang dan sirip hiu juga turut digaringkan di atas alas yang terbuat dari bambu. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Setidaknya ada empat spesies besar yang mendominasi di Pelabuhan Muara Baru, spesies itu antara lain adalah hiu moro (Carcharhinus falciformis), hiu super (Carcharhinus fitzroyensis), hiu air (Carcharhinus sorrah), dan hiu gepeng (Alopias pelagus).

Dalam jurnal Sumber Daya dan Pemanfaatan Hiu yang ditulis Singgih Wibowo dan Heru Susanto menyebut, untuk pengolahan daging hiu, selain menjadi ikan asin sebagian ada juga yang dijadikan dendeng, bakso, abon, tepung, silase, surimi dan pindang.

Pembuatan produk pangan seperti itu biasanya dilakukan setelah pengurangan kadar urea. Siripnya dijadikan bahan sop. Sedangkan giginya digunakan untuk hiasan dan juga dibuat aksesoris. Sementara hatinya untuk pembuatan minyak ikan.

Kulitnya disamak, namun masih sedikit dan terbatas pada kulit yang lebar dan utuh, seperti menjadi sarung tangan golf. Untuk kulit yang luka potong dan sisa-sisa potongan pengolahan masih merupakan limbah, dan sebagian kecil dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan kerupuk kulit dan bahan perekat.

baca juga : Ada Apa dengan Perdagangan Hiu dan Pari di Indonesia?

 

Hampir seluruh bagian tubuh hiu bernilai ekonomis, baik itu sirip, tulang, kulit, daging, hati maupun bagian tubuh lainnya. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Lokasi Penyuplai

Sebagai negara dengan tingkat keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia Indonesia merupakan negara yang masuk kawasan Coral Triangle. Dengan potensi itu juga, Indonesia jadi tempat yang subur bagi industri hiu.

International Union for Conservation of Nature (IUCN) menduga ada 127 jenis hiu yang hidup di perairan negara yang memiliki luas wilayah mencapai 3.257.357 km2 ini.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang saat ini melebur ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) hanya menyebut 114 jenis, tertinggi dari beberapa negara asia lainnya. Akan tetapi, hingga 2018, 220 spesies hiu telat teridentifikasi hidup di perairan Indonesia.

Andhika Prima Prasetyo, Peneliti pada Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan dalam opininya di Mongabay Indonesia menyebut, masih banyak masyarakat pesisir dan urban yang menggantungkan hidup dari hiu baik sebagai nelayan penangkapan, pengolahan atau konsumen yang membelinya karena harganya terjangkau.

Sebagai negara dengan populasi manusia yang tinggi ke-4, Indonesia mempunyai komunitas tradisional yang berasosiasi dengan laut yang signifikan.

baca juga : Mencari Formula Efektif untuk Pengendalian Perburuan Hiu dan Pari

 

Pekerja mengemasi kulit hiu yang sudah kering di Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional (PHPT), Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, DKI Jakarta. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Fakta tersebut, membuat pengelolaan dan konservasi hiu di Indonesia sangat problematik. Secara umum hiu tertangkap sebagai tangkapan sampingan (by-catch), serta ada pula komunitas yang memang menjadikan hiu sebagai tangkapan utama.

Dalam beberapa tahun terakhir, lanjut dia, hiu sebagai tangkapan sampingan bergeser maknanya karena memiliki nilai ekonomis sendiri (desired-catch).

Dijelaskannya, untuk pendaratan hiu dan pari tertinggi berlokasi di Laut Natuna Utara (WPP 711) dan Laut Jawa (WPP 712). Tetapi lokasi yang menjadi penyuplai utama produk hiu dan pari adalah provinsi Papua (WPP 718) dan Provinsi Bali (WPP 573).

“Informasi anekdotal menunjukkan bahwa banyak hiu dan pari yang ditangkap di Indonesia Timur dikirim ke Jakarta menggunakan kapal kargo, dimana mereka dicatat sebagai produk bukan tangkapan oleh Otoritas di Jakarta,” terang Andhika.

 

Exit mobile version