Mongabay.co.id

Perhiasan Hijau itu Bernama Rumput Laut

 

Subsektor perikanan budi daya tetap mengandalkan rumput laut sebagai komoditas andalan untuk menggenjot produksi. Komoditas tersebut selalu konsisten menjadi penyumbang produksi terbanyak setiap tahun untuk subsektor tersebut.

Pada 2022 saja, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menjalankan target produksi perikanan budi daya sebanyak 18,77 juta ton. Target tersebut salah satunya diharapkan bisa disumbangkan dari rumput laut dengan produksi mencapai 10,08 juta ton.

Jumlah tersebut menjadi target produksi yang paling besar di antara komoditas yang dijadikan andalan pada perikanan budi daya. Target produksi ikan saja, pada 2022 ini diharapkan mencapai 8,69 juta, dan ikan hias produksinya mencapai nilai Rp1,56 miliar.

Dengan harapan yang tinggi untuk bisa menjadi kontributor terbesar produksi perikanan budi daya, rumput laut mendapatkan perhatian sangat besar dari KKP. Beragam cara pun akhirnya dicoba, demi untuk bisa meningkatkan produksi lebih banyak lagi.

Direktur Jenderal Perikanan Budi daya KKP Tb Haeru Rahayu menjelaskan, melihat kondisi iklim dan lahan, saat ini potensinya sangat besar untuk bisa meningkatkan produksi rumput laut. Namun, proses tersebut memerlukan sentuhan teknologi.

Teknologi yang dinilai tepat untuk menggenjot produksi tersebut, tidak lain adalah kultur jaringan. Saat melaksanakan produksi, metode tersebut bisa menumbuhkan individu baru dari potongan jaringan yang ada, sehingga akan menghasilkan bibit yang bersifat sama dengan induknya.

baca : Tingkatkan Produksi Rumput Laut dengan Klon Bibit Budidaya

 

Peningkatan produksi rumput laut melalui teknologi kultur jaringan. Foto : KKP

 

Metode tersebut bisa menghasilkan bibit berkualitas sesuai dengan induknya dan sekaligus mendapatkan sifat-sifat bagus untuk proses produksi. Kemudian, kultur jaringan juga bisa meningkatkan produktivitas lebih tinggi dibandingkan dengan bibit biasa.

“Dengan begitu rencana untuk bisa menghasilkan bibit rumput laut yang unggul bisa tercipta,” ungkap dia belum lama ini di Jakarta.

Manfaat lain yang akan dirasakan saat kultur jaringan digunakan sebagai teknologi produksi rumput laut, adalah biaya produksi akan turun secara signifikan. Itu semua akan dirasakan oleh para pembudidaya yang melaksanakan produksi.

Bagi Indonesia, manfaat yang akan didapat secara lebih besar adalah produksi nasional akan terus meningkat dan bisa mengejar kualitas standar dunia. Itu berarti, tujuan menjadikan Indonesia sebagai negara produsen terbesar dunia juga akan bisa dikejar.

Tb Haeru Rahayu menerangkan, berdasarkan data yang dirilis Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) pada 2020 lalu, Indonesia masih menempati urutan dua di dunia sebagai negara dengan produsen rumput laut terbesar. Urutan nomor satu ditempati Cina.

Capaian serupa juga terjadi pada 2021, di mana Indonesia menempati urutan dua dengan produksi mencapai 9,1 juta ton. Namun, catatan yang harus diingat, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang paling banyak memasok bahan baku rumput laut khusus untuk jenis Euchema cottoni.

“Kebutuhan rumput laut terus meningkat baik untuk dalam negeri maupun pasar ekspor,” tambah dia.

baca juga : Kisah Rumput Laut: Jadi Andalan, Namun Selalu Ada Hambatan

 

Seorang petugas BPBL Batam menunjukkan rumput laut jenis latoh yang dibudidayakan untuk diproduksi massal. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Khusus untuk penerapan kultur jaringan sebagai teknologi pendukung, Pemerintah Indonesia sengaja membangun laboratorium khusus kultur jaringan di enam lokasi yang ada di bawah pengelolaan unit pelaksana teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perikanan Budi daya KKP.

Rinciannya, adalah Balai Besar Perikanan Budi daya Air Payau (BBPBAP) Jepara, Jawa Tengah; Balai Besar Perikanan Budi daya Laut (BBPBL) Lampung; dan Balai Perikanan Budi daya Air Payau (BPBAP) Takalar, Sulawesi Selatan.

Kemudian, dibangun juga laboratorium yang sama di BPBAP Situbondo, Jawa Timur; Balai Perikanan Budi daya Laut (BPBL) Lombok, Nusa Tenggara Barat; dan BPBL Ambon, Maluku.

Pembangunan keenam laboratorium tersebut dilakukan karena metode kultur jaringan dalam pelaksanaannya harus dilakukan di dalam laboratorium. Dengan demikian, proses tersebut tidak akan bergantung pada cuaca atau musim, dan bisa dilakukan sepanjang tahun.

Tak cukup dengan itu, upaya untuk meningkatkan produksi juga dilakukan dengan mencarikan jalan keluar untuk setiap permasalahan yang muncul. Misalnya, masalah pemanfaatan lahan yang masih rendah, pengembangan yang belum berbasis kawasan atau masih berada pada lokasi terpisah, serta masih minimnya pelatihan dan penyuluhan teknis.

“Satu persatu sudah kita lakukan dan sambil berjalan,” ucap dia.

baca juga : Manfaat Super dari Rumput Laut

 

Hasil rumput laut dari seleksi klon bibit. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Terpisah, Direktur Perbenihan Ditjen Perikanan Budi daya KKP Nono Hartanto mengatakan, pihaknya sudah menyiapkan sejumlah strategi untuk meningkatkan produksi rumput laut lebih maksimal. Selain di hulu, strategi juga diterapkan di bagian hilir.

Dia mengungkapkan, pengembangan bibit rumput laut unggul dengan mengadopsi sistem kultur jaringan, adalah salah satu contoh strategi yang diterapkan KKP di bagian hulu. Strategi tersebut dinilai lebih cepat mengembangkan komoditas tersebut dan tahan terdapat serangan hama.

Kemudian, ada juga program kampung perikanan budi daya dan penetapan kluster budi daya rumput laut sebagai bagian dari upaya untuk mendapatkan kepastian tata ruang bagi para pembudi daya.

Kemudian, ada juga program bantuan pinjaman permodalan usaha bagi para pembudi daya kecil, menengah, hingga besar. Juga, pembangunan enam laboratorium kultur jaringan pada enam UPT, seperti disebutkan pada paragraf di atas.

Penerapan sejumlah strategi oleh Pemerintah, dinilai menjadi langkah yang tepat dalam pengembangan produksi rumput laut secara nasional. Pasalnya, potensi komoditas tersebut masih sangat tinggi, walaupun produksinya selama ini tidak sedikit.

Hal tersebut diungkapkan Asisten Deputi Pengembangan Perikanan Budi daya Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Rahmat Mulianda. Menurut dia, rumput laut kini sudah menjadi basis ekonomi kelautan, dari sebelumnya ekonomi daratan.

Potensi yang besar masih ada, karena sampai sekarang rumput laut tak hanya menjadi komoditas untuk bahan baku pembuatan produk pangan, farmasi, maupun kosmetik. Namun juga, untuk perdagangan karbon, karena kemampuannya menyerap karbon dioksida (CO2).

perlu dibaca : Beragam Permasalahan Rumput Laut dari Petani hingga Tata Niaga

 

Masyarakat sekitar Teluk Kelabat Dalam membudidayakan rumput laut di sekitar Pulau Nanas. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Tegasnya, rumput laut itu tak hanya untuk dikonsumsi sebagai makanan saja, namun juga untuk kebutuhan lainnya. Lebih dari itu, rumput laut sudah menjadi bagian dari perkembangan ekonomi biru, pengembangan biru, dan juga karbon biru.

Dengan fakta tersebut, tanpa ragu dia menyebut kalau rumput laut adalah perhiasan yang harus dijaga keberadaannya dan dalam proses memanfaatkannya harus dilakukan dengan bijak. Jika itu sudah berjalan, maka rumput laut akan menjadi sumber penghidupan dan sumber devisa Negara.

Sementara, Direktur Perencanaan dan Sumber daya Alam Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Ratih Purbasari Kania menyebut jika pengembangan rumput laut memang sudah seharusnya mendapat dukungan dari semua pihak.

Termasuk, seperti yang dilakukan BKPM dengan memberi fasilitas perpajakan seperti tax allowance (TA) dan super tax deduction. Kedua fasilitas tersebut diharapkan bisa memberikan stimulus kepada para investor agar lebih berkembang dalam menjalankan usahanya.

TA sendiri tidak lain adalah salah satu bentuk insentif yang ditawarkan kepada para investor yang melakukan penanaman modal baru atau perluasan usaha di bidang-bidang tertentu atau di daerah tertentu.

Sementara, super tax deduction adalah fasilitas pengurangan pajak bagi wajib pajak yang diberikan atas kegiatan tertentu sesuai dengan kriteria yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Baik TA atau super tax deduction bertujuan untuk mengakselerasi investasi pada rumput laut.

“Kami juga menyusun dan mengimplementasikan kebijakan investasi yang terfokus dan berkelanjutan,” tutur dia.

baca juga : Pariwisata Mati, Rumput Laut Hidup Lagi (bagian 1)

 

Petani rumput laut di Puntondo Takalar, Sulsel, berupaya bertahan di tengah anjloknya harga rumput laut. Untunglah dalam bulan terakhir harga perlahan membaik. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Perhiasan dari Pesisir

Kepala Biro Perencanaan Setjen KKP Ishartini pada kesempatan lain menyebut kalau rumput laut adalah emas berwarna hijau yang berasal dari pesisir laut yang ada di Indonesia. Nilai ekonominya yang terus meningkat dari waktu ke waktu, menjadi alasan komoditas tersebut sangat berharga.

Selain menjadi produk perikanan dalam bentuk asli (raw material), rumput laut juga menjadi komoditas yang bisa diolah menjadi beragam produk bernilai ekonomi yang juga sama tingginya. Semua itu bisa dilakukan, berkat dukungan dari teknologi dan ilmu pengetahuan.

Dia memaparkan, produk turunan rumput laut bisa menjadi produk pangan, pakan, pupuk, kosmetik, dan farmasi. Selain itu, dari beberapa penelitian yang dilakukan, rumput laut juga bisa menjadi bahan dasar untuk pembuatan bahan bakar (biofuel).

Akan tetapi, Ishartini memberi catatan bahwa semua potensi tersebut akan berkembang, jika Pemerintah Indonesia mendukung dengan kebijakan yang tepat, dari hulu ke hilir. Kalau semua itu sudah ada, hanya tinggal menunggu waktu Indonesia akan menjadi produsen rumput laut terbesar dan terbaik di dunia.

Dia kemudian mencontohkan, rumput laut yang berhasil dikirim untuk ekspor sepanjang 2021 sudah mencapai 225.000 ton atau sudah mencapai kapasitas 30 persen dari total volume ekspor rumput laut di dunia.

Sayangnya, walau volume sudah tinggi, nilai ekspor rumput laut Indonesia masih kalah dari Cina. Sepanjang 2021, nilai ekspor Indonesia mencapai USD345 juta atau ekuivalen Rp5 triliun. Nilai tersebut akan membengkak lagi jika perbaikan dilakukan dari hulu ke hilir.

“Tercatat 196 negara di dunia menjadi pengimpor komoditas ini. Tentu ini menunjukkan betapa pentingnya produk rumput laut dalam perdagangan internasional,” ujar dia.

 

Salah satu keluarga petani rumput laut di Nusa Penida ini bersyukur ada penyelamat di tengah anjloknya pariwisata. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Ishartini melanjutkan, perlunya dilakukan penataan ulang dari hulu ke hilir, karena selama ini masih ada perbedaan antara data produksi rumput laut di bagian hulu dengan kebutuhan bahan baku di industri hilir. Dengan demikian, perlu dilakukan perbaikan kualitas pendataan pada semua lini.

“Selain itu, kualitas bahan baku yang dihasilkan oleh pembudi daya masih banyak yang belum memenuhi standar/spesifikasi untuk diolah,” tambah dia.

Selain perbaikan hulu ke hilir, faktor lain yang penting untuk dilakukan adalah menguatkan sinergi dan kerja sama dengan berbagai pihak yang berkaitan. Sebut saja, akademisi, pelaku usaha, komunitas, Pemerintah, dan pihak lainnya.

Kemudian, perlu juga dibuat strategi agar produk rumput laut dan turunan yang berasal dari Indonesia bisa tetap beradaptasi dengan perubahan dan tetap bisa bersaing dengan para pesaing dari seluruh dunia. Proses itu dikenal dengan sebutan marketing intelligence.

Perlunya dilakukan marketing intelligence, karena permintaan dunia terhadap bahan baku rumput laut dan produk turunannya masih sangat tinggi sampai sekarang. Namun, di saat yang sama persaingan juga sangat ketat untuk perolehan bahan baku antara eksportir rumput laut kering dengan industri pengolahan di dalam negeri.

“Oleh karena itu, data dan informasi market intelligence ini juga dapat menjadi referensi kebijakan untuk mengatur pemasaran rumput laut,” ujar dia.

 

Nelayan pembudi daya sedang memanen rumput laut di perairan di Sumba Timur, NTT. Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Ishartini mengatakan, untuk mengembangkan rumput laut sampai levelnya naik, diperlukan juga diversifikasi produk yang melibatkan banyak pihak. Salah satunya, masyarakat umum yang kini sudah bisa membuat produk turunan secara mandiri untuk produk pangan.

Kemudian, industri rumput laut juga mulai mengembangkan inovasi dengan pemanfaatan di berbagai bidang seperti food, health, pharmaceuticals, sustainable materials, cosmetics, biostimulant, dan fertilizer.

Selain itu, produk turunan rumput laut juga dikembangkan sebagai hidrokoloid dan dikelompokkan menjadi karaginan (karaginofit), agar (agarofit), dan alginat (alginofit). Bahan-bahan baku tersebut umum digunakan untuk bahan pembantu dalam pembuatan berbagai produk industri baik pangan maupun nonpangan.

“Ini kenapa, KKP menetapkan rumput laut sebagai komoditas budi daya prioritas,” pungkas dia.

Hidrokoloid sendiri adalah komponen polimer yang berasal dari sayuran, hewan, mikroba atau komponen sintetik yang dapat larut dalam air, mampu membentuk koloid, dan dapat mengentalkan atau membentuk gel dari suatu larutan.

Adapun, tiga jenis hidrokoloid yang disebut di atas, dihasilkan dari jenis rumput laut yang berbeda. Untuk karaginan, digunakan rumput laut jenis Eucheuma spp.; agar menggunakan jenis Gracilaria spp.; dan alginat menggunakan jenis Sargassum spp.

Diketahui, perairan laut Indonesia selama ini menjadi habitat pertumbuhan 555 jenis dari sekitar 8.000 jenis yang ada di dunia. Namun, dengan potensi besar tersebut, pemanfaatan rumput laut untuk kegiatan perikanan budi daya masih belum maksimal.

Mulai dikembangkan pada 1967 atau 55 tahun lalu, rumput laut baru berkembang baik pada dekade 1980-an. Saat ini, lahan perikanan budi daya luasnya mencapai 12,3 juta hektare dan yang dimanfaatkan baru mencapai 102 ribu ha atau 0,8 persen. Itu berarti, potensi untuk berkembang masih sangat besar.

Terus berkembangnya rumput laut seperti sekarang, menjadi penegas bahwa komoditas tersebut masuk kategori tahan banting dalam segala kondisi. Terlebih, saat banyak komoditas lain tumbang karena terpaan pandemi COVID-19, rumput laut masih bisa bertahan untuk berkontribusi pada perekonomian nasional.

Hal tersebut ditegaskan Kepala Bidang Komunikasi dan Humas Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) Indra Santoso. Dengan ketahanan tersebut, rumput laut sudah bisa menjadi pendorong terwujudnya kedaulatan ekonomi di wilayah pesisir yang menjadi batas Negara.

 

Exit mobile version