- Selama bertahun-tahun, rumput laut selalu menjadi komoditas andalan bagi Indonesia untuk dijajakan di pasar ekspor. Gelar sebagai negara eksportir nomor satu di dunia pun diraih Indonesia, karena didukung oleh produksi yang terus meningkat dan terbanyak di dunia
- Namun sayang, sejak periode 2020 berakhir, produksi rumput laut secara perlahan mengalami penurunan dan terus terjadi sepanjang tahun. Penyebab utamanya, karena dampak perubahan iklim memengaruhi cuaca dan suhu yang tidak menentu
- Padahal, selama ini tata cara produksi yang sudah diadopsi para petani rumput laut di Indonesia, masih sangat bergantung pada kalender budi daya yang disusun berdasarkan perhitungan cuaca dan musim
- Di sisi lain, ancaman produksi bisa mengancam segala manfaat yang ada pada rumput laut. Tidak hanya untuk industri dan pangan, namun juga untuk pertanian sebagai pupuk tanaman, farmasi, bahan kosmetik dan sebagai obat antikanker, bahkan penyimpan zat karbondioksida
Produksi rumput laut Indonesia selalu menjadi andalan untuk kegiatan ekspor dan memberi kontribusi tidak sedikit bagi nilai ekspor Indonesia. Terakhir, pada 2020 rumput laut menyumbangkan nilai ekspor hingga mencapai angka USD279 juta atau setara Rp4 triliun.
Angka yang dirilis oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) itu menegaskan posisi rumput laut di barisan komoditas ekspor unggulan nasional. Dampaknya, rumput laut menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat pesisir di seluruh pulau di Indonesia.
Kemudahan untuk melaksanakan budi daya dan kebutuhan modal yang tidak besar, dinilai menjadi faktor utama banyaknya warga di pesisir yang memilih untuk menjadi petani rumput laut sebagai profesi utama mereka.
Namun, WWF Indonesia merilis data bahwa produksi rumput laut mulai mengalami penurunan setelah periode 2020. Salah satu sebabnya, karena kualitas bibit rumput laut sejak periode tersebut juga mulai mengalami penurunan.
Dari Laporan Kinerja Tahunan 2021 Triwulan 3 Direktorat Jenderal Perikanan Budi daya KKP, disebutkan bahwa produksi rumput laut menurun dari triwulan tiga periode 2020 sebanyak 7,78 juta ton menjadi 7,14 juta ton pada periode yang sama 2021.
Angka yang dicapai pada 2021 itu, juga menjelaskan bahwa tidak terjadi capaian target sesuai yang sudah ditetapkan oleh KKP pada triwulan 3 sebanyak 8,45 juta ton. Kondisi itu menyebabkan pasokan bahan baku untuk industri mengalami penyusutan.
baca : Rumput Laut Indonesia Terus Berjuang untuk Produksi bagi Dunia
Dalam sebuah diskusi yang digelar secara daring oleh WWF Indonesia belum lama ini, kekurangan bahan baku tersebut bisa mencapai 70 hingga 120 ton per hari. Kondisi itu dirasakan sangat kuat oleh industri pengolahan dan eksportir.
Walau produksi terus mengalami penurunan, namun cara paling efektif agar produksi bisa berjalan baik, adalah dengan mengikuti kalender budi daya yang disusun berdasarkan perhitungan cuaca dan musim. Cara tersebut yang selama ini dilakukan para pelaku usaha budi daya dalam mengembangkan komoditas rumput laut.
Akan tetapi, melihat kondisi sekarang di mana dampak perubahan iklim terus terjadi, cara tersebut dinilai tidak lagi efektif karena kondisi cuaca sudah tidak menentu. Terkadang suhu bisa sangat panas dengan disertai curah hujan yang tinggi.
Menurut Chen Xuan dari PT Biota Laut Ganggang, kondisi itu mengakibatkan tumbuh kembang bibit dan pertumbuhan budi daya rumput laut menjadi terganggu. Akibatnya, jumlah produksi yang kian menurun dari tahun ke tahun.
Di lain pihak, KKP juga menyadari bahwa rumput laut adalah komoditas andalan ekspor bagi Indonesia. Fakta tersebut membuat rumput laut menjadi komoditas yang banyak dilakukan penelitian dan inovasi. Utamanya yang dilakukan oleh Badan Riset dan Sumber daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM KP).
Selain riset untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi rumput laut yang akan dikirim untuk ekspor, penelitian juga dilakukan untuk pemanfaatan rumput laut dalam bentuk lain. Pilihan kedua tersebut, adalah dengan menjadikan rumput laut sebagai pupuk tanaman.
baca juga : Beradaptasi terhadap Perubahan Iklim, Petambak Rumput Laut Glacilaria di Bone Budidaya Ikan Nila
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BRSDM KP KKP Kusdiantoro menjelaskan, ada banyak riset yang sudah dilakukan, baik secara mandiri ataupun melibatkan satuan kerja yang ada di daerah. Salah satunya, adalah Loka Riset Mekanisasi Pengolahan Hasil Perikanan (LRMPHP) Bantul, Yogyakarta.
Riset tersebut dilakukan dalam rangka mendukung tiga program prioritas KKP, terutama pada program kedua, yaitu pengembangan perikanan budi daya berbasis pada ekspor, dengan komoditas unggulan di pasar global, antara lain udang, lobster, kepiting dan rumput laut.
Adapun, pupuk organik tanaman yang dikembangkan adalah yang bersifat cair dan ada yang bersifat padat. Hal tersebut diungkapkan Kepala LRMPHP Bantul Luthfi Assadad dalam keterangan resmi yang dirilis oleh KKP belum lama ini.
Menurut Bakti Berlyanto Sedayu, salah satu peneliti LRMPHP yang ikut melakukan riset, pembuatan pupuk rumput laut adalah proses yang dinilai mudah dan bisa dilakukan oleh rumah tangga secara umum. Untuk membuatnya, ada tiga cara yang bisa dilakukan oleh siapapun yang tertarik.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono juga tak ragu menyebut rumput laut sebagai salah satu komoditas andalan ekspor bagi Indonesia. Menurut dia, saat ini Indonesia menjadi salah satu negara penghasil dan pengekspor rumput laut terbesar di dunia.
“Komoditas ini menghasilkan banyak manfaat,” ungkap dia belum lama ini di Jakarta.
Tak hanya dijadikan sebagai produk pangan, farmasi, atau kosmetik, dia mengatakan kalau rumput laut juga bisa dijadikan pupuk untuk menyuburkan tanaman. Potensi itu kemudian dibuktikan melalui riset yang sudah dilaksanakan oleh LRMPHP.
perlu dibaca : Produksi Rumput Laut di Pusaran Pandemi COVID-19
Sebelumnya, penelitian yang sama juga sudah dilakukan Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan (BBRP2BKP) KKP, tepatnya oleh Jamal Basmal, salah satu peneliti unit kerja BRSDM KP tersebut.
Untuk bisa menghasilkan pupuk hayati untuk tanaman, Jamal menggabungkan rumput laut dan limbah perikanan. Kedua bahan baku tersebut memiliki keunggulan sebagai zat pemacu tumbuh yang dapat meningkatkan jumlah produksi tanaman, dan mencegah terjadinya serangan hama.
Dengan demikian, penggunaan pupuk hayati pada tanaman bisa mengurangi penggunaan pupuk kimia, memperbaiki kualitas tanaman, dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Hal itu, karena pupuk hayati mengandung kebaikan unsur hara yang terdiri dari nitrogen, fosfor, dan kalium (NPK).
“Itu sangat bagus untuk melindungi tanaman dari hama dan patogen lainnya,” jelas dia.
Menjadikan rumput laut sebagai pupuk tanaman, menjadi bagian penting dari pemanfaatan komoditas tersebut tanpa batas. Itu juga menjadi penting, karena aktivitasnya bisa menciptakan lapangan pekerjaan dan sekaligus mengurangi tingkat kemiskinan di kawasan pesisir.
Menteri Trenggono menjabarkan, jika rumput laut dikelola dengan baik, maka itu akan menghadirkan peran strategis untuk menghadapi persoalan lingkungan dan pemanasan global. Peran besar tersebut ada, karena Indonesia memiliki beragam rumput laut.
Dengan kata lain, rumput laut adalah anugerah bagi bangsa Indonesia, karena bisa dimanfaatkan secara ekologi, ekonomi, dan sosial secara bersamaan. Fakta tersebut menjadikan rumput laut sebagai penggerak pembangunan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
baca juga : Beragam Permasalahan Rumput Laut dari Petani hingga Tata Niaga
Peran untuk menjaga lingkungan dan pemanasan global, karena rumput laut bisa menyimpan karbon dua kali lebih banyak dibandingkan dengan pohon yang ada di wilayah daratan. Karenanya, rumput laut diharapkan bisa membantu pengendalian dampak perubahan iklim yang sedang terjadi saat ini.
Pada 2012 silam, National Science Foundation mempublikasikan hasil penelitian mereka tentang rumput laut dan menyebutkan bahwa potensi sangat besar ada pada rumput laut dengan peran sebagai penyimpan karbon. Bahkan, karbon yang bisa disimpan mencapai 19,9 metrik ton.
Detailnya, untuk setiap kilometer persegi (km2) hamparan kebun rumput laut, itu bisa menghasilkan kemampuan untuk menyerap karbon hingga 83.000 metrik ton. Kemampuan tersebut, dua kali lebih banyak dibandingkan hutan di daratan yang menyerap 30.000 metrik ton per km2 dalam bentuk kayu.
Manfaat lain dari rumput laut, adalah sebagai bahan olahan pangan untuk mencegah radikal bebas masuk ke tubuh manusia. Komoditas tersebut mengandung senyawa bioaktif seperti karotenoid, fenol dan turunannya, sulfat polisakarida, dan vitamin.
Hal itu diungkapkan Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PSPKP) KKP Artati Widiarti belum lama ini. Menurut dia, karena memiliki banyak manfaat, rumput laut masuk dalam kelompok makanan super (superfood).
“Kandungan senyawa yang ada dalam rumput laut berfungsi secara biologis, salah satunya sebagai antioksidan,” terang dia.
perlu dibaca : Pariwisata Mati, Rumput Laut Hidup Lagi (bagian 1)
Selain untuk antioksidan, rumput laut juga diklaim akan bisa meningkatkan angka harapan hidup bagi siapa saja yang mengonsumi komoditas tersebut dalam jangka waktu yang lama. Fakta tersebut diungkapkan peneliti Balai Bio Industri Laut Badan Riset dan Inovasi Nasional (BBIL BRIN) Ratih Pangestuti.
Menurut dia, manfaat tersebut merupakan hasil studi yang dipublikasikan oleh Journal of Applied Phycology pada 2019. Dari hasil penelitian, diketahui kalau peningkatan harapan hidup terjadi pada kelompok perempuan di Jepang dengan capaian 88,09 tahun atau tertinggi di dunia.
Angka tersebut diakuinya sangat jauh mengungguli Indonesia yang selama ini dikenal sebagai salah satu produsen rumput laut terbanyak di dunia. Di Indonesia, angka harapan hidup kaum perempuan baru mencapai 74,64 tahun atau menempati urutan 122 di dunia.
Pada 2019, Ratih Pangestuti juga mempublikasikan hasil penelitannya tentang khasiat rumput laut yang untuk obat penyakit kanker. Senyawa antikanker yang ada, meliputi klorofil, karotenoid, asam fenol, mycosporine like amino acid (MAA), flavonoid, alkaloid, saponin, dan polisakarida tersulfasi.
“Kandungan-kandungan tersebut bisa diubah sebagai antikanker,” terang dia.
Hasil penelitian tersebut bisa diketahui setelah proses penjang dilakukan sejak 2012 lalu dengan melibatkan perusahaan farmasi asal Spanyol, Pharma Mar. Penelitian itu memakan waktu 10 sampai 20 tahun sebelum bisa dikomersilkan.