Mongabay.co.id

Ancaman dan Tantangan Wilayah Kelola Rakyat di Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil di NTT

 

Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai provinsi kepulauan saat ini menghadapai berbagai tantangan keberlanjutan ekologi. Secara geografis, sebagai provinsi kepulauan yang memiliki mayoritas pulau kecil memiliki kerentanan tersendiri.

Perubahan iklim tentu akan memberikan dampak buruk bagi keberadaan pulau kecil di NTT akibat kenaikan permukaan air laut yang berpotensi pada kehilangan pulau.

Selain itu, berada berdekatan dengan belahan bumi bagian selatan, menjadikan provinsi NTT sering terdampak langsung dari cuaca ekstrem.

“Dalam ancaman krisis iklim, pemerintah di NTT justru melanggengkan pembangunan yang tidak ramah lingkungan dan tidak pro pada kepulauan kecil,” sebut Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi, Direktur Eksekutif WALI NTT kepada Mongabay Indonesia, Jumat (21/10/2022).

Umbu Wulang katakan industri yang terus diberikan karpet merah adalah industri monokultur, pariwisata, pertambangan, dan infrastruktur. Industri tersebut menimbulkan krisis ekologis di NTT.

Hal tersebut diungkapkan Umbu Wulang dalam diskusi publik bertemakan “Tantangan Wilayah Kelola Rakyat di Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil” di Desa Bubuatagamu, Kecamatan Solor Selatan, Kabupaten Flores Timur, Jumat (21/10/2022).

Diskusi dihadiri Direktur Eksekutif WALHI Riau dan DKI Jakarta, ICEL, LSM se-daratan Flores dan Lembata serta perwakilan masyarakat dari pulau-pulau kecil di NTT.

baca : Supermarket Bencana di NTT dan Bagaimana Peran Jurnalis

 

Alat berat sedang mengerjakan proyek pembangunan di Pulau Rinca,Taman Nasional Komodo (TNK), Kabupaten Manggarai Barat,NTT. Foto : Akun Twitter Save Komodo Now

 

Umbu Wulang menyebutkan, bila kita mengecek di RPJMD dan RPJP Provinsi NTT, pulau-pulau kecil praktis tidak mendapat tempat dan hanya diberi porsi kecil.

Tapi dalam pembangunan pariwisata, katanya, justru pulau-pulau kecil yang dikapitalisasi untuk mendatangkan keuntungan yang besar.

Ia mencontohkan, pariwisata premium di Labuan Bajo dimana pulau Komodo yang menyumbang keuntungan besar bagi negara dan pemodal.

“Kedepannya kepastian akan kelestarian alam, atas martabat kebudayaan tetap terjaga di pulau-pulau kecil yang ada di NTT,” harapnya.

 

Lumbung di Laut

Direktur Yayasan Tanah Ile Boleng (YTIB) Veronika Lamahoda dalam diskusi ini memaparkan tentang beratnya perjuangan mengadvokasi masyarakat di Pulau Solor untuk peduli ekosistem laut.

Vero sapaannya katakan, tahun 2016 saat pertama datang di Desa Bubuatagamu, saban hari mendengar bunyi bom di laut.

Aksi pengeboman ikan di pantai selatan Solor depan wilayah Desa Bubuatagamu dalam sehari lebih dari 50 kali dan dilakukan oleh 20-30 perahu motor.

“Masyarakat meneriaki kami, kamu sudah turun dari kantor dan usir itu pengebom ikan kalau kamu bisa,” ucapnya.

Vero katakan, tantangan mengurus wilayah kelola tidak saja ada di tangan pemerintah tapi juga di masyarakat.

Kata dia, sudah terlalu lama urusan SDA terfokus dan hanya menjadi kekuasaan pemerintah sehingga tidak salah masyarakat menjadi pasif dan tidak menganggap penting mengurusinya bahkan mereka juga ikut menjadi perusak.

Ia sesalkan masyarakat tidak pernah diberi kepercayaan oleh negara mengurusi SDA mereka.

“Ketika 6 bulan bom tidak berhenti, tiba-tiba saya menemukan ide, kenapa laut itu tidak dipandang sebagai area ketahanan pangan,” ucapnya.

baca juga : Polairud Polda NTT Tangkap Pelaku Bom Ikan di Lembata. Kenapa Kian Marak?

 

Pantai selatan Pulau Solor, Kabupaten Flores Timur, Provinsi NTT yang masih marak aksi pengeboman ikan.Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Vero katakan, pada masyarakat etnis Lamaholot ada namanya kebang atau lumbung dan itu yang coba didorong untuk dibangun di laut.

Lumbung itu dipetak-petak, ada untuk konsumsi jangka pendek maupun jangka panjang sehingga laut pun dibagi zona-zonanya.

Tantangannya, katanya, orang belum merasa perlu melakukan perlindungan laut dan hanya berpikir soal mengambilnya belum pada memeliharanya.

Selain itu, masyarakat mengatakan kita boleh memeliharanya tapi nanti nelayan dari luar yang menikmatinya juga dan mereka tidak tahu kalau laut kita pelihara.

“Tantangan lainnya, laut bukan urusan masyarakat tapi pemerintah sehingga kalau masyarakat mengurus laut apakah dibenarkan?,” tanyanya.

Kini YTIB fokus mengembangkan area atau zona yang dinamakan kebang seluas 61 Ha di perairan Solor Selatan yang dilindungi secara adat. Siapa yang melanggar maka akan dikenai sanksi adat dan juga dibentuk pengelolanya.

Tahun kedua pendampingan YTIB, pengeboman ikan mulai berkurang. YTIB bersama masyarakat dan pemerintah desa memasang pelampung-pelampung di laut dan dipagari.

“Rupanya ketika melihat ada tanda tersebut pengebom pun takut masuk ke wilayah ini. Zona ini pun diakui pemerintah Provinsi NTT dan sudah dibuat peta dan ditandatangani. Sayangnya, nelayan dari luar Desa Bubuatagamu belum mengetahuinya,” ungkapnya.

baca juga : Menyoal Investasi Tidak Ramah Lingkungan dan Ancaman Perubahan Iklim di NTT

 

Pulau-pulau kecil di kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi NTT yang dijadikan kawasan pengembangan pariwisata. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Ancaman Wilayah Kelola

Satrio Manggala Manager Kajian Hukum dan Kebijakan Eksekutif Nasional WALHI menyebutkan, bagi WALHI, ada ancaman wilayah kelola rakyat di pesisir dan pulau pulau kecil.

Pertama, industri eksisting seperti pertambangan. Selain itu, khusus nelayan, ada kebijakan baru soal penagkapan ikan terukur.

Kebijakan dari Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) ini memberikan akomodasi kepada perusahaan besar yang memiliki teknologi dan memiliki kapal-kapal besar untuk melakukan penangkapan ikan.

Ancaman kedua yakni industri ekstraktif baru. Pertama, urainya, pariwisata dengan kebijakan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Kedua, konservasi laut dimana arahnya negara mulai menjual konsep blue economy, menjual karbon di atas kawasan laut.

“Konservasi laut ditargetkan ada 32 juta ha menjadi kawasan konservasi laut di tahun 2030,” paparnya.

Satrio tegaskan, kebijakan ini membuat hubungan manusia yang bergantung kepada laut akan ‘ditarik’ ke luar ketika wilayah laut ditetapkan menajdi zona konservasi.

Ia paparkan per November 2021 sudah ada 2.919.870,93 Ha kawasan wilayah pesisir yang dikuasi oleh 1.405 Izin Usaha Pertambangan (IUP) seperti mangan, tembaga, minyak gas bumi, pasir dan lainnya.

Di wilayah laut, bebernya, ada 687.999 Ha dan 324 IUP di wilayah laut yang rata-rata pertambangan minyak dan gas. Ini mengakibatkan,35 ribu keluarga nelayan terdampak.

Lanjutnya, beberapa tahun belakangan di pulau Rupat Provinsi Riau, ada reklamasi yang membuat ekosiatem dan ekologi mengalami perubahan dan menggusur masyarakat yang tinggal di pesisir.

Ada 88 KSPN hingga tahun 2025 yang ada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Hadirnya KSPN sebut Satrio, memberikan hak lelola kepada korporasi dengan otoritas tertentu.

“Pemerintah menyiapkan Undang-undang Cipta Kerja untuk mempermudah investasi termasuk perusahaan asing,” sesalnya.

Satrio menegaskan, perubahan iklim menjadi tantangan wilayah kelola rakyat saat ini.

 

Hutan mangrove di Desa Merdeka, Kabupaten Lembata,Provinsi NTT yang dibuka untuk dijadikan tambak udang.Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Tantangan yang Dihadapi

Provinsi NTT merupakan provinsi yang wilayah lautnya berbatasan dengan negara Timor Leste dan Australia. NTT merupakan provinsi kepulauan dengan jumlah pulau sesuai data Pejabat Pengelola Informasi Daerah Provinsi NTT tahun 2019 sebanyak 1.192 pulau.

Dari jumlah tersebut, 432 pulau diantaranya sudah mempunyai nama dan sisanya sampai saat ini belum mempunyai nama. Terdapat 42 pulau dihuni dan 1.150 pulau tidak dihuni.

Sementara garis pantai dari 556 pulau di NTT, tidak termasuk pulau kecil sepanjang 5.700 km dengan jumlah desa dan kelurahan yang berada di pesisir pantai sebanyak 730.

Vero katakan, tantangan wilayah kelola rakyat dalam konteks laut, masyarakat pesisir tidak peduli soal laut, bahkan ikut merusaknya.

Hadirnya UU No.23/2014 tentang Kewenangan Pemerintah Daerah sangat berdampak sebab kewenangan mengelola SDA di laut beralih ke provinsi dari 0-12 mil.

“Hadirnya undang-undang ini bagi kami di Flores Timur yang terdiri atas pulau-pulau, bukan membawa kebaikan tetapi malapelataka,” tegasnya.

Vero katakan, undang-undang ini membuat pemerintah provinsi membangun Kantor Cabang Dinas Kelautan dan Perikanan. Kantor ini ditempatkan di Larantuka, Flores Timur dan membawahi Kabupaten Lembata, Flores Timur dan Sikka.

Menurutnya, dengan personil yang hanya beberapa orang, urus Flores Timur saja dengan 3 pulau sudah pusing apalagi Lembata dan Sikka.Belum lagi anggarannya pun terbatas.

 

Exit mobile version