- Walhi NTT menyebut ruang masyarakat agar subjek utama dalam menekan laju perubahan iklim tetapi negara lebih memberikan karpet merah bagi para investor. NTT pun tak luput dari proyek investasi skala besar yang digadang sebagai solusi perubahan iklim
- Proyek geothermal merupakan salah satu proyek yang dipaksakan pengembangannya di Pulau Flores menjadi contoh nyata bahwa solusi pengalihan energi atas nama menekan laju perubahan iklim justru mengancam kehidupan rakyat di sekitar wilayah ekplorasi
- Walhi NTT menyayangkan kebijakan dan proyek yang dikembangkan pemerintah lebih mengedepankan investasi dan mengorbankan rakyat. Seharusnya, rakyat menjadi subjek utama dalam menekan laju perubahan iklim melalui pelestarian nilai-nilai yang arif untuk menjaga cara hidup yang selaras dan seimbang dengan alam
- Gubernur NTT mengeluarkan Intruksi Gubernur mengenai Antisipasi Ancaman La Nina yang ditujukan kepada walikota dan bupati di NTT. La Nina tahun 2021 diprediksi meningkatkan curah hujan bulanan sehingga perlu kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap bencana hidrometeorologi
Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim PBB ke-26 (COP26) yang diselenggarakan di Glasgow, Skotlandia belum mengarah pada pelaksanaan perjanjian Paris yang mendorong negara-negara melakukan berbagai upaya untuk mencegah kenaikan suhu bumi tidak lebih dari ambang batas 1,5 derajat Celsius.
Alih-alih memaksa negara-negara utara untuk menurunkan industri dan penggunaan moda yang tidak ramah iklim, upaya-upaya yang dilakukan justru lebih mengedepankan aspek investasi yang diprediksi masih akan berpotensi menaikan suhu bumi hingga mencapai 2,5 derajat Celsius.
“Di sisi lain, ruang masyarakat untuk menjadi subjek utama dalam menekan laju perubahan iklim ditutup oleh negara yang lebih memberikan karpet merah bagi para investor,” kritik Yuvensius Stefanus Nonga, Deputi Walhi NTT, minggu lalu.
Yuvensius menyebutkan, NTT juga tidak luput dari proyek investasi skala besar yang digadang sebagai solusi perubahan iklim.
Seperti proyek geotermal yang yang dipaksakan pengembangannya di Pulau Flores menjadi contoh nyata bahwa solusi pengalihan energi atas nama menekan laju perubahan iklim, justru mengancam kehidupan rakyat di sekitar wilayah ekplorasi.
Ia sebutkan, penelitian-penelitian ilmiah telah banyak menunjukkan bahwa pembangkit listrik geotermal menghasilkan emisi CO2, CH4, SO2, H2S, dan NH3 yang dapat berakumulasi merusak lapisan ozon.
“Jumlah CO2 yang dihasilkan juga diperkirakan mencapai separuh dari jumlah yang dihasilkan oleh PLTU batubara untuk produksi listrik dengan daya yang sama,” ungkapnya.
baca : Warga Wae Sano Minta Hentikan Rekayasa Atas Sikap Penolakan Pembangunan Geothermal
Menurutnya, emisi SO2 dari pembangkit listrik geotermal justru lebih tinggi dibandingkan dengan batubara. Senyawa yang dihasilkan bukan saja bersifat merusak, tetapi juga berbahaya bagi kesehatan masyarakat yang tinggal di sekitar proyek.
Yuvensius memaparkan, abu yang ditimbulkan akibat eksplorasi panas bumi juga telah merusak rumah-rumah dan produksi pertanian rakyat.
“Paradoksnya, geotermal yang digadang dapat menjadi energi alternatif ramah iklim ini justru mengeksploitasi kawasan hutan yang selama ini menjadi penyangga utama dalam penyerapan karbon,” sesalnya.
Dia menegaskan, kawasan hutan telah dijaga turun-temurun oleh masyarakat adat setempat melalui praktek dan cara hidup yang lestari.
Menurutnya, hal serupa juga terjadi dalam pengembangan pariwisata super premium dengan pembangunan infrastrukturnya yang mengalihkan hutan dan wilayah konservasi.
Aksi Keadilan Iklim
Walhi NTT menyayangkan kebijakan dan proyek yang dikembangkan pemerintah yang lebih mengedepankan investasi dan mengorbankan rakyat.
Yuvensius menyebutkan rakyat seharusnya menjadi subjek utama dalam menekan laju perubahan iklim melalui pelestarian nilai-nilai yang arif untuk menjaga cara hidup yang selaras dan seimbang dengan alam.
Menyikapi kondisi tersebut, Walhi WALHI NTT bersama beberapa organisasi yakni HMI, Beta Guru Kimia Hijau (BGKH), Sahabat Alam NTT (SHALAM NTT) dan Ikatan Mahasiswa Amanuban (IKMABAN) melakukan aksi penanaman bakau, pada Sabtu (06/11/2021). Aksi tersebut sebagai bagian dari aksi untuk keadilan iklim, serta penolakan solusi palsu pemerintah.
baca juga : Lestarikan Mangrove Sama Dengan Menunda Perubahan Iklim. Kok Bisa?
Ia paparkan ada 10 tagline yang diangkat dalam aksi yang menjadi kritikan bagi pemerintah Jokowi yakni geothermal bukan solusi, kembalikan pengelolaan sumberdaya alam ke masyarakat adat.
Selain itu, komodo is danger, stop climate change now, there’s no planet B, bumi kita cuma satu, change the system not the climate serta selamatkan pesisir dan pulau-pulau kecil dari ancaman perubahan iklim.
Selain itu ada tagline, choose eco, not ego, keadilan iklim untuk keadilan lintas generasi, perubahan iklim masih mengancam rakyat, Jokowi stop tipu-tipu, there is no climate justice without gender justice serta climate solution need inclusiveness don’t leave women behind.
“Kesepuluh tagline ini mewakili keseluruhan solusi palsu perubahan iklim di Indonesia yang mana mencoba membangun komitmen di tengah maraknya keran investasi kotor yang menggerogoti bumi Indonesia,” ucapnya.
Antisipasi La Nina
Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat mengeluarkan Intruksi Gubernur mengenai Antisipasi Ancaman La Nina yang ditujukan kepada walikota dan bupati di NTT. Dalam instruksinya, Gubernur NTT mengutip siaran pers Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Jakarta pada tanggal 18 Oktober 2021.
BMKG menginformasikan terkait perkembangan terbaru suhu permukaan laut di Samudera Pasifik bagian tengah dan timur yang menunjukkan bahwa saat ini nilai anomali telah melewati ambang batas La Nina yaitu sebesar -0.61 pada dasarian pertama Oktober 2021.
Anomali ini berpotensi untuk terus berkembang sehingga segera bersiap menyambut kehadiran La Nina 2021/2022 yang diperkirakan akan berlangsung dengan intensitas lemah sampai sedang yang setidaknya terjadi hingga bulan Februari 2022.
perlu dibaca : Belajar dari Siklon Tropis Seroja. Bagaimana Antisipasinya?
Gubernur NTT katakan, La Nina tahun 2021 diprediksi akan berdampak pada peningkatan curah hujan bulanan berkisar antara 20 hingga 70% di atas normal (curah hujan tinggi).
Untuk itu, perlu kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap kondisi ini yang berpotensi akan memicu bencana hidrometeorologi yaitu bencana yang dipengaruhi oleh faktor cuaca seperti banjir, longsor, puting beliung dan lainnya.
“Sebagai upaya mitigasi risiko bencana La Nina sekaligus membangun kesiapsiagaan pemerintah daerah dan masyarakat untuk menghadapi, maka kami menginstruksikan kepada walikota dan bupati melakukan beberapa hal,” ungkapnya.
Viktor meminta walikota dan bupati memonitor peringatan dini BMKG dan memastikan peringatan dini dimaksud tersampaikan kepada masyarakat di wilayahnya terutama pada wilayah rawan bencana melalui komunikasi berbasis masyarakat.
Juga menetapkan rambu-rambu daerah rawan bencana, jalur evakuasi dan melakukan simulasi evakuasi.
Serta melakukan gerakan bersama pembersihan saluran air, penanaman vegetasi, pemangkasan dahan atau ranting pohon yang lapuk atau mudah patah dan gerakan tanam air untuk cadangan air pada musim kemarau.
“Melakukan kegiatan kesiapsiagaan seperti konsolidasi relawan dan sosialisasi keluarga tangguh bencana dan menetapkan status siaga darurat bencana La Nina jika diperlukan,” tegasnya.
baca juga : Pemerintah Daerah di NTT Diminta Benahi Sistem Penanggulangan Bencana. Kenapa?
Viktor juga minta mengaktifkan posko penanggulangan bencana dengan kurun waktu 1×24 jam selama 7 hari guna memastikan kondisi kesiapsiagaan di wilayah masing-masing serta memudahkan pelaporan, manajemen data dan informasi dalam penanganan ancaman La Nina.
Melakukan evakuasi diri sementara ke tempat yang lebih aman bagi masyarakat yang tinggal di lereng, tebing dan daerah rendah sepanjang aliran sungai, apabila terjadi hujan selama satu jam berturut-turut dengan intensitas sedang hingga tinggi dan berakibat pada ketidakjelasan penglihatan pada obyek dengan jarak 30 meter.
Viktor juga minta agar menyampaikan laporan hasil pelaksanaan instruksi ini kepadanya melalui Sekretaris Daerah Provinsi NTT.
“Segala biaya yang dikeluarkan sebagai akibat dikeluarkannya Instruksi Gubernur ini dibebankan kepada APBD kabupaten atau kota,” pungkasnya.
BPBD NTT pun dalam himbauan siaga La Nina 2021/2022 mengingatkan akan adanya potensi banjir, longsor, cuaca ektrim, gelombang laut ekstrem dan abrasi.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) merekomendasikan, pada periode peralihan musim (Oktober–November 2021) perlu diwaspadai cuaca ekstrem seperti hujan lebat, angin kencang, puting beliung dan potensi hujan es yang bisa terjadi pada periode tersebut.
Pemerintah daerah dan masyarakat di daerah rawan banjir dan tanah longsor diminta waspada menjelang dan pada puncak musim hujan terutama di wilayah yang mengalami musim hujan lebih basah dari normalnya.
Periode musim hujan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menambah luas tanam, melakukan panen air hujan dan mengisi waduk/danau yang berguna untuk periode musim kemarau yang akan datang.