- Walhi NTT menilai keseluruhan aspek tahapan penyelenggaraan mitigasi bencana di NTT semuanya gagal karena pemerintah daerah tidak menyiapkan sistem peringatan yang strategis dalam mengurangi dampak cuaca ekstrem. Mulai dari kesiapsiagaan bencana sampai pada masa rehabilitasi semuanya tidak berjalan
- Walhi NTT meminta Pemda NTT harus lebih sigap lagi dalam menghadapi musim penghujan di tahun 2021. Terutama pada wilayah-wilayah yang sebelumnya terdampak paling parah akibat siklon Tropis Seroja awal April yang lalu
- Forum Penanggulangan Resiko Bencana (FPRB) NTT memaparkan kejadian bencana di NTT sejak 1950-2017 terdiri dari cuaca ekstrem dan gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, tanah longsor, banjir, kekeringan, kejadian luar biasa wabah penyakit, kegagalan teknologi berupa kebakaran hutan dan lahan serta konflik sosial
- Prioritas berdasarkan ancaman bencana di NTT, hidrometeorologi sebesar 75% diikuti geologi 14% dan kegagalan teknologi 6%. FPRB NTT melihat data bencana belum tertata baik. Tidak Semua kabupaten melakukan Kajian Resiko Bencana (KRB) dan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB).
Berada pada wilayah cincin api Pasifik, Indonesia terus menghadapi resiko letusan gunung berapi, gempa bumi, banjir dan tsunami.
Beberapa bencana yang terjadi 20 tahun terakhir telah menempatkan Indonesia pada posisi tranding topik pemberitaan bencana yang menelan ratusan ribu jiwa.
Kondisi ini meninggalkan jejak traumatis yang dalam bagi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat terdampak bencana.
Ditambah lagi dengan fenomena El Nino dan La Nina yang ditandai dengan musim hujan dan kemarau ekstrim dapat menghancurkan panen bahan makanan, memicu terjadinya inflasi dan menyebabkan tekanan finansial yang berat bagi masyarakat terdampak bencana.
Berkaca pada bencana awal April 2021, Siklon Tropis Seroja dipantau mulai terbentuk di selatan Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 3 April 2021. Siklon ini menyebabkan banjir di beberapa wilayah Nusa Tenggara dan Timor Leste.
Padahal BMKG telah mengeluarkan peringatan dini sebelumnya bahwa akan ada gelombang setinggi 4-6 meter yang berpeluang terjadi di perairan barat Lampung, Selat Sunda, bagian selatan Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Pulau Sawu, Kupang, dan Pulau Rote.
Daerah pesisir Aceh, Mentawai, Bengkulu, Jawa Tengah, Pulau Sumba, Selat Bali, Selat Lombok dan Selat Alas, juga berpotensi mendapat gelombang setinggi 2,5 hingga 4 meter.
baca : Pasca Bencana Siklon Seroja, Mitigasi Bencana Harus jadi yang Utama
Divisi Sumber Daya Alam Walhi NTT Yuvensius Stefanus Nonga dalam rilis yang diterima Mongabay Indonesia, Sabtu (30/10/2021) mengatakan, peringatan dini ini tidak direspon baik oleh pemerintah daerah yang mana hampir di seluruh wilayah di NTT yang terkena bencana terdampak parah.
Yuven sapaannya menyebutkan, dampak ini terjadi karena tidak didukung oleh upaya meminimalisir dampak bencana oleh pemerintah daerah pasca BMKG mengeluarkan peringatan dini.
“Bencana ini mengakibatkan, masyarakat penyintas mengalami kesulitan dalam membenahi kehidupan yang diporakporandakan oleh bencana,” sebutnya.
Yuven katakan, dalam catatan Walhi NTT sesuai pantauan dan advokasi di wilayah NTT pada awal April 2021 menimbulkan korban jiwa serta membuat puluhan ribu orang harus mengungsi.
Total korban akibat bencana ini tercatat ada 182 orang meninggal dunia, warga hilang sebanyak 47 orang dan luka-luka 225 orang.
Refleksi Penting
Dalam monitoring yang dilakukan Walhi NTT terhadap kinerja pemerintah NTT dalam penanganan bencana, terdapat beberapa refleksi penting.
Walhi NTT menilai bahwa keseluruhan aspek tahapan penyelenggaraan mitigasi bencana di NTT semuanya gagal. Mulai dari kesiapsiagaan bencana sampai pada masa rehabilitasi.
Walhi NTT melihat pemerintah daerah tidak menyiapkan sistem peringatan yang strategis dalam mengurangi dampak cuaca ekstrim.
Kedua, pemetaan yang terpilah dan terintegrasi belum dilakukan, sehingga antisipasi terhadap resiko yang muncul tidak terprediksi.
Ketiga, lanjutnya, implementasi kebijakan masih sengkarut, reaktif, dan nuansa politiknya masih tidak berpihak pada masyarakat, termasuk koordinasi antar lembaga.
Keempat, kebijakan dalam kebencanaan, khususnya dalam aspek mitigasi, masih bersifat taktis dan kelima tidak ada pelibatan seluruh elemen dan mengesampingkan pengetahuan tradisional masyarakat.
baca juga : Belajar dari Siklon Tropis Seroja. Bagaimana Antisipasinya?
“Tanggal 29 Oktober 2021 BMKG kembali mengeluarkan peringatan dini terkait beberapa wilayah yang diperkirakan akan mengalami cuaca ekstrem,” ucapnya.
Yuven menerangkan, kondisi cuaca pada musim penghujan saat ini tidak akan jauh berbeda dengan april awal tahun 2021 yang lalu, yang berujung pada bencana hidrologis di beberapa wilayah di NTT.
Peringatan ini tentunya menjadi rambu-rambu bagi setiap pemerintah daerah untuk meningkatkan kesiapsiagaannya dalam menghadapi cuaca ekstrem tersebut.
Menurut dia, meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi cuaca ekstrem juga menjadi bagian dari pelaksanaan wewenang pemerintah daerah sebagai penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Sebagaimana amanat pasal 5 UU No.24/2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Ia menegaskan salah satu hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah adalah dengan menyiapkan sistem peringatan dini sesuai dengan Pasal 1 ayat (8) UU No.24/2007 tentang Penanggulangan Bencana: Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang.
Sistem Peringatan Dini
Terkait dengan berbagai kondisi yang terjadi soal peringatan dini, Walhi NTT memnta pemerintah NTT untuk meneruskan sistem peringatan dini terutama ke daerah-daerah yang sulit memperoleh informasi karena keterbatasan akses informasi.
Yuven menegaskan Pemerintah Daerah (Pemda) NTT harus membangun komunikasi baik kepada masyarakat maupun SKPD yang berwenang untuk mencegah perluasan dampak dari cuaca ekstrem tersebut.
perlu dibaca : Pulau dan Danau Baru Terbentuk di NTT Usai Siklon Tropis Seroja Melanda. Seperti Apa?
Pemda NTT perlu melakukan teknikalisasi terkait penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahapan prabencana sesuai dengan pasal 34 dan 35 UU No.24/2007 tentang Penanggulangan Bencana.
“Pemda NTT harus lebih sigap lagi dalam menghadapi musim penghujan di tahun ini. Terutama pada wilayah-wilayah yang sebelumnya terdampak paling parah akibat siklon Tropis Seroja awal April yang lalu,” ungkapnya.
Sementara itu, Buce Ga, Ketua Forum Penanggulangan Resiko Bencana (FPRB) NTT dalam Forum RUA FPPB Kabupaten Sikka di Maumere, Rabu (13/10/2021) mengatakan kejadian bencana di NTT sejak 1950-2017 terdiri dari cuaca ekstrem dan gempa bumi.
Selain itu ada tsunami, letusan gunung api, tanah longsor, banjir, kekeringan, kejadian luar biasa wabah penyakit, kegagalan teknologi berupa kebakaran hutan dan lahan serta konflik sosial.
Prioritas berdasarkan ancaman bencana di NTT, hidrometeorologi sebesar 75% diikuti geologi 14% dan kegagalan teknologi 6%.
Buce menegaskan perlu penguatan kelembagaan dan kebijakan. Isu strategisnya, tingginya kebutuhan partisipasi multi-stakeholders dalam menurunkan risiko bencana, membangun masyarakat tangguh dan meningkatkan partisipasi masyarakat.
“Forum PRB belum maksimal berfungsi, bahkan tidak semua kabupaten sudah ada FPRB. Kerjasama dengan unsur-unsur pentahelix perlu ditingkatkan,” tegasnya.
Buce menambahkan kelembagaan PRB memerlukan dukungan kebijakan dari semua level. Ia melihat kebijakan dan anggaran pemerintah dalam perluasan PRB masih kurang.
Dia katakan, peraturan desa dapat dijadikan sebagai strategi penggaran PRB di desa. Selain itu, perlu mengembangkan literasi bencana dengan pendekatan kawasan.
baca juga : Waspada, Siklon Tropis Masih Mengancam Wilayah-wilayah di Indonesia
Pengkajian Resiko
Terkait pengkajian resiko dan perencanaan terpadu, FPRB NTT melihat data bencana belum tertata baik. Tidak Semua kabupaten melakukan Kajian Resiko Bencana (KRB) dan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB).
Buce melihatpembangunan tidak mempertimbangkan risiko bencana, baik dengan cara merusak (misalnya eksploitasi SDA) maupun pengabaian dalam infrastruktur yang tidak ramah (misalnya rumah/gedung rawan gempa).
“Kajian-kajian tematik risiko bencana di universitas belum banyak dimanfaatkan dalam kebijakan dan praktik PRB atau bahkan belum ada,” tuturnya.
Buce tegaskan, perlu didorong untuk mengintegrasikan RPB ke dalam RPJMD. Juga perlu advokasi dan fasilitasi perbaikan data bencana, termasuk data terpilah untuk kepentingan identifikasi kelompok rentan, seperti data terpilah gender, usia dan penyandang disabilitas.
Terkait prioritas upaya PRB, perlu penguatan kapasitas masyarakat untuk PRB dengan fokus pada kelompok rantan dan di daerah prioritas pengembangan pariwisata.
“Penguatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim berbasis masyarakat secara inklusif serta pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Juga harus dihidupkan sekolah aman bencana,” pintanya.