Mongabay.co.id

Mitos yang Menjaga Kelestarian Rimba Mambang

 

 

Lantai hutan Rimba Mambang terasa begitu lembab, dipenuhi tumpukan daun mati. Pohon besar berukuran tiga hingga empat pelukan orang dewasa begitu mudah ditemukan di sini.

“Yang paling besar itu pohon batu [Rhodamnia sp], lingkar batangnya mencapai empat pelukan orang dewasa. Ada juga pohon nyatoh [Palaquium rostratum], medang [Lauraceae sp], melangir [Shorea balangeran], serta banyak pohon ara [Ficus annulata], akarnya terlihat menyeramkan,” kata Iswarjono [39], lelaki yang menemani saya menelusuri Rimba Mambang, Kamis [17/11/2022].

Rimba Mambang merupakan kawasan hutan tersisa di Desa Dalil, Kecamatan Bakam, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Selama ratusan tahun, hutan seluas 55,7 hektar ini terjaga karena mitosnya sebagai rimba “hantu”.

“Rimba berarti hutan belantara, sedangkan mambang bermakna hantu. Masyarakat sekitar percaya, hutan ini menjadi rumah bagi makhluk gaib yang turun dari Gunung Maras. Mereka takut masuk hutan, apalagi menebang pohon,” lanjutnya.

Menurut pesan tetua adat Desa Dalil bernama Akek Mahrob [115] yang meninggal empat tahun lalu, jika Rimba Mambang habis setengah, sudah saatnya masyarakat membawa anak-anaknya pindah dari Desa Dalil.

“Kami percaya, kalau hutan ini habis akan terjadi bencana, baik berupa wabah penyakit, kekeringan, dan hal buruk lain.”

Disisi lain, kondisi hutan yang masih utuh dengan vegetasi pohon-pohon besar, menjadikan Rimba Mambang sebagai sumber mata air yang dinamakan warga Aik Tenggeler. Mata air ini menjadi penyelamat 3.281 penduduk Desa Dalil.

“Desa ini rentan kekeringan saat kemarau, karena hutan sudah banyak habis. Bersyukur masih ada Rimba Mambang, warga sering menggali sumur-sumur kecil di sekitar hutan, saat mulai kesulitan air bersih,” ujar Iswarjono.

Baca: Ara Pencekik, “Penjaga” Bukit Granit di Kepulauan Bangka Belitung

 

Pohon nyatoh masih banyak ditemukan di Rimba Mambang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Menurut Yazi [46], tokoh masyarakat Desa Dalil, pesan Akek Mahrob mempunyai makna mendalam dan penting untuk masyarakat Desa Dalil, serta Pulau Bangka keseluruhan.

“Sudah seharusya, setiap desa di Pulau Bangka menjaga satu kawasan hutan. Karena, akan sangat bermanfaat bagi kehidupan kita dan generasi mendatang,” katanya.

Berdasarkan penelusuran Mongabay Indonesia, di Pulau Bangka terdapat banyak kawasan hutan yang masih terjaga berkat mitos yang dipercaya masyarakat. Seperti Rimba Keratung di Desa Serdang [Kabupaten Bangka Selatan], Rimba Bulin di Desa Kacung [Kabupaten Bangka Barat], serta kawasan hutan di bukit-bukit larangan.

Akan tetapi, menurut Yazi, banyak wilayah tersebut mulai tergerus, seiring memudarnya mitos di kalangan masyarakat.

“Sudah seharusnya, hutan tersisa tersebut mendapat legitimasi dari pemerintah setempat untuk menjadi kawasan konservasi. Ini merupakan bentuk penghargaan kita terhadap lingkungan dan peninggalan leluhur terdahulu,” tegasnya.

Baca: Nyatoh, Flora Identitas Bangka Belitung yang Terlupakan

 

Pohon ara berukuran besar yang berada di Rimba Mambang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Rumah satwa langka

Terjaganya Rimba Mambang, membawa berkah bagi sejumlah satwa langka di Pulau Bangka. Menurut Budijito [38], warga Desa Dalil yang sering menelusuri Rimba Mambang, dia pernah melihat mentilin dan satwa liar lainnya.

“Trenggiling masih ada, mungkin karena banyak sarang semut di lantai hutan,” katanya.

Di kebun duriannya yang tidak jauh dari Rimba Mambang, Budijito juga beberapa kali melihat pelanduk melintas.

“Bersyukur masyarakat sadar kalau itu dilindungi, jadi dibiarkan, tidak diburu,” paparnya.

Baca: Kebun Botani Atok Man dan Misi Pelestarian Anggrek Bangka Belitung

 

Aik Tenggeler yang menjadi sumber mata air tersisa, saat kemarau panjang menerpa Desa Dalil. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Langka Sani, Ketua PPS Alobi Foundation mengatakan, Rimba Mambang merupakan wilayah pelepasliaran satwa di Pulau Bangka, selain Tahura [Taman Hutan Raya] Bukit Mangkol dan Bukit Menumbing, serta TWA [Taman Wisata Alam] Gunung Permisan.

“Kondisi Rimba Mambang yang masih asri, merupakan habitat nyaman bagi sejumlah satwa langka di Pulau Bangka. Beberapa kali kami melepas trenggiling dan mentilin,” katanya.

Langka berharap, sejumlah kantong habitat asli satwa langka di Pulau Bangka terus terjaga.

“Hutan seperti Rimba Mambang harus kita pertahankan, terlepas dari beragam mitos yang menyelimutinya. Hutan ini bertahan ratusan tahun, jangan sampai hilang di generasi kita,” jelasnya.

Baca: Mengkubung yang Tak Lagi Nyaman di Hutan Bangka Belitung

 

Di sekitar hutan Rimba Mambang, masih terlihat satwa langka di Pulau Bangka, sebagaimana mentilin. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Terancam perkebunan sawit

Jika diukur menggunakan Google Earth, jarak Rimba Mambang dengan Gunung Maras lebih kurang tujuh kilometer ke arah utara. Meski demikian, Rimba Mambang berada di luar kawasan Taman Nasional Gunung Maras.

“Sekitar 200 meter dari Rimba Mambang, baru masuk kawasan Taman Nasional. Saat ini, Rimba Mambang berstatus sebagai Hutan Desa [HD],” lanjut Budijito.

Di masa lalu, leluhur masyarakat Desa Dalil tinggal di kaki Gunung Maras, di Kelekak Saok. Di sana mereka berkebun, menanam umbi-umbian, durian, padi darat, dan sebagainya. Namun pada masa kolonial Belanda, masyarakat dipindahkan ke tepi jalan raya seperti sekarang.

Kini, banyak masyarakat di Desa Dalil yang mengganti tanaman lada dan duriannya dengan sawit. Dari 6.882,00 hektar total luas desa, sekitar 3.500 hektar merupakan perkebunan sawit. Selain perkebunan sawit milik warga, di Desa Dalil juga terdapat HGU perusahaan sawit PT. GML [Gunung Maras Lestari] seluas 1.954,40 hektar.

Baca juga: Tigel, Tarian Suku Melayu untuk Menjaga Tujuh Bukit Permisan Bangka

 

Lahan perkebunan sawit yang berbatasan langsung dengan kawasan Rimba Mambang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Sebagai informasi, PT. GML merupakan salah satu dari 13 perusahaan perkebunan sawit yang ada di Kabupaten Bangka. Total HGU PT. GML sekitar 11.948 hektar, yang tersebar di 8 desa [Desa Dalil, Desa Bakam, Desa Mangka, Desa Mabat, Desa Bukit Layang, Desa Puding Besar, Desa Kayu Besi, dan Desa Sempan].

Menurut Yazi, perluasan perkebunan sawit ini menjadi pemicu kekhawatiran masa depan Rimba Mambang dan hutan tersisa di Kabupaten Bangka.

“Hutan semakin menyusut, sementara perkebunan sawit semakin meluas.”

Menurutnya, dulu Rimba Mambang mempunyai luas sekitar 60 hektar, namun sekarang 55,7 hektar. Apalagi, ada perkebunan sawit yang berbatasan langsung dengan Rimba Mambang.

“Bukan tidak mungkin, luasan Rimba Mambang akan terus berkurang.”

 

Iswarjono berdiri di bawah pohon dari jenis Pterocymbium tinctorium. Masyarakat sekitar menyebutnya pohon kepayang, buahnya sering dimanfaatkan sebagai obat panas dalam. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pada 2016 lalu, kawasan Rimba Mambang sudah dicanangkan sebagai Kebun Raya oleh Pemerintah Kabupaten Bangka yang berkerja sama dengan LIPI [BRIN].

Semua dokumen masterplan [penelitian, pemetaan, dan sebagainya] sudah diserahkan ke Pemerintah Kabupaten Bangka. Akan tetapi, proses penetapan terhenti, karena selisih paham di tingkat masyarakat Desa Dalil.

“Saat itu, ada kelompok masyarakat yang tidak setuju, terkait akan dihibahkannya lahan Rimba Mambang ke Pemerintah Kabupaten. Padahal, proses pengelolaan sepenuhnya akan melibatkan masyarakat dan Pemerintah Desa Dalil,” kata Iswarjono, yang juga tergabung dalam Kelompok Sadar Wisata [Pokdarwis] Desa Dalil.

Hingga saat ini, semua proses penetapan Kebun Raya dihentikan, guna menghindari konflik masyarakat.

“Usulan dijadikan Kebun Raya merupakan upaya bersama menjaga Rimba Mambang tetap lestari,” tegas Iswarjono.

 

Exit mobile version