Mongabay.co.id

22 Tahun Lagi, 30 Persen Laut adalah Kawasan Konservasi

 

Indonesia sedang mengejar target ambisius untuk bisa memperluas kawasan konservasi perairan hingga mencapai 30 persen dari total luas wilayah laut. Target itu diharapkan bisa tercapai pada 2045 atau tersisa waktu selama 22 tahun sejak dari sekarang.

Meski sisa waktu yang ada terlihat masih panjang, namun target yang ditetapkan Pemerintah Indonesia juga sangat luas. Jika 30 persen dari total luas wilayah laut, maka sedikitnya luasan kawasan konservasi perairan nanti harus mencapai 9,75 juta hektare.

Perluasan juga menjadi bagian dari program ekonomi biru yang kini sedang dijalankan oleh Pemerintah Indonesia. Lewat beragam cara, upaya perluasan kini sedang dilakukan dengan melibatkan banyak kalangan dan para pihak yang berkepentingan.

Pada berbagai kesempatan, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyampaikan bahwa perluasan kawasan konservasi perairan akan memicu banyak hal positif. Di antaranya, menjamin keberlanjutan stok ikan, melindungi cadangan karbon biru, dan melindungi ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil.

“Semua itu akan memicu kesejahteraan sosial di masyarakat sekitarnya,” ucap dia belum lama ini di Jakarta.

Penetapan target 30 persen menyusul target sebelumnya yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah seluas 32,5 juta ha yang diharapkan bisa terwujud pada 2030 mendatang atau mencapai 10 persen dari total luas wilayah laut.

Target tersebut menjadi relevan dengan pencapaian yang sudah diraih Indonesia untuk poin 14 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan Aichi Target. Pemerintah optimis, karena saat ini luasan sudah mencapai 28,4 juta ha, dengan luas area zona inti mencapai 0,5 juta ha.

baca : KKP Tetapkan 3 Kawasan Konservasi Perairan Baru di Maluku

 

Maluku Utara, baru saja memiliki tiga kawasan konservasi perairan. Kawasan konservasi ini guna memastikan ekosistem laut terjaga dan sumber laut dapat terkelola berkelanjutan oleh masyarakat, salah satu mencegah pengeboman ikan. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Hendra Yusran Siry pada kesempatan berbeda mengatakan, sudah ada strategi yang disiapkan untuk mempercepat pengembangan kawasan konservasi.

Di antara yang akan dilakukan, adalah dengan meningkatkan infrastruktur kawasan terumbu karang dan lautan sejahtera (Insan Terang-Lautra). Kegiatan tersebut adalah mengelola kawasan konservasi yang memiliki sumber daya seperti ekosistem terumbu karang, padang lamun, dan keanekaragaman hayati yang lestari.

Untuk bisa melaksanakan kegiatan tersebut, KKP sudah mendapatkan dukungan pendanaan dengan sumber yang berasal dari Bank Dunia selama lima tahun ke depan dari 2023 hingga 2027. Selain memperluas kawasan konservasi perairan, peningkatan kualitas pengelolaan juga menjadi target yang ingin dicapai.

Dia menyebutkan, program tersebut akan berjalan di 15 kawasan konservasi yang ada di 10 provinsi. Detailnya, program akan dilaksanakan di zona 3 dan kawasan konservasi pendukung zona 3 yang ada di 15 kawasan tersebut.

Ke-15 kawasan konservasi tersebut berlokasi di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Tengah (Sulteng), Sulawesi Selatan (Sulsel), Sulawesi Tenggara (Sultra), Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua.

“Serta 3 WPPNRI 714, 715, dan 718,” terang dia menyebut nama wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.

Adapun, WPPNRI 714 meliputi perairan laut Teluk Tolo dan Laut Banda; WPPNRI 715 meliputi perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau; dan WPPNRI 718 yang meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian timur.

Hendra Yusran Siry menyebut kalau ketiga WPPNRI tersebut terpilih karena menjadi representasi dari keanekaragaman hayati yang tinggi di laut Indonesia, dan menjadi contoh penerapan kebijakan penangkapan ikan secara terukur dengan basis kuota untuk pemanfaatan komersial, non komersial, dan perlindungan habitat.

baca juga : Pemanfaatan Kawasan Konservasi Perairan Belum Maksimal

 

Perairan di Pulau Gelasa yang memiliki nilai konservasi tinggi harus dijadikan kawasan konservasi. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Luas kawasan konservasi di sepuluh provinsi yang menjalankan program tersebut mencapai 6.397.724,62 ha atau 22,52 persen dari seluruh kawasan konservasi dengan terumbu karang seluas 261.319,93 ha.

“Kegiatan ini bisa meningkatkan pengelolaan terumbu karang dan efektivitas pengelolaan kawasan konservasi yang mendukung perikanan berkelanjutan dan penghidupan masyarakat pesisir,” ucap dia.

Berkaitan dengan upaya peningkatan pengelolaan kawasan konservasi, KKP juga memiliki cara lain yang diharapkan bisa mendorong pengelolaan sebagai pelindung sumber daya dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Cara tersebut, adalah dengan melibatkan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) pada pengelola kawasan konservasi. Hal tersebut diungkapkan Direktur Jenderal PRL KKP Victor Gustaaf Manoppo belum lama ini di Jakarta.

Menurut dia, kehadiran BLUD akan bisa menjadi solusi untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan kawasan konservasi perairan di seluruh Indonesia. Badan tersebut menjadi penting, karena akan menjadi pendukung utama untuk penyediaan dana yang diperlukan untuk mengelola kawasan.

Keterlibatan BLUD, unit organisasi pengelola kawasan konservasi akan menjadi lebih fleksibel untuk menjalin kerja sama dengan pihak lain. Dengan demikian, akan tercipta praktik bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, dengan tetap menjaga sumber daya yang ada pada kawasan konservasi.

Dia mengakui kalau pendanaan menjadi salah satu tantangan yang selalu ada dalam melaksanakan pengelolaan kawasan konservasi. Pendanaan yang cukup diyakini akan bisa mendorong peningkatan efektivitas pengelolaan menjadi lebih baik lagi.

Untuk itu, pendanaan yang berkelanjutan untuk melaksanakan program pengelolaan menjadi sangat dibutuhkan. Utamanya, karena selalu ada kegiatan seperti monitoring target konservasi, pengawasan, pemberdayaan masyarakat, dan penyediaan sarana prasarana pengelolaan kawasan konservasi.

“Salah satu solusi dalam mengisi kesenjangan pendanaan berkelanjutan adalah dengan penerapan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) pada unit organisasi pengelola kawasan konservasi,” tutur dia.

baca juga : Kawasan Konservasi Perairan, Kunci Pengelolaan Ekosistem Laut dan Pesisir

 

Beragam jenis ikan karang yang ditemukan bermain di terumbu karang di kawasan konservasi perairan Pulau Mare, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara. Foto : Abdul Khalis

 

Selain melalui BLUD kawasan konservasi, pengelolaan juga dilakukan dengan membuka kerja sama bersama pihak lain yang tertarik melalui skema pendanaan campuran atau blended finance. Skema tersebut ditawarkan bisa berbentuk hibah ataupun obligasi biru.

Menurut Victor Gustaaf Manoppo, skema pendanaan blended finance merupakan skema pembiayaan optimal dengan mengombinasikan beberapa sumber pendanaan dalam suatu proyek. Selain dari anggaran pemerintah, pendanaan juga berasal dari pihak swasta, donor, dan lainnya.

Peluang kerja sama tersebut ditawarkan Pemerintah kepada pihak swasta di enam zona penangkapan ikan berbasis kuota dengan melibatkan masyarakat pesisir saat pengelolaan dan pemeliharaan kawasan konservasi.

Dengan cara tersebut, dia yakin kawasan konservasi tak hanya akan bisa dijaga dengan pendanaan yang cukup, sehingga bisa mewujudkan ekosistem laut dan pesisir yang lestari dan berkelanjutan. Namun juga, akan menghadirkan lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal di sekitar kawasan.

“Itu akan mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat,” terang dia.

Victor mengungkapkan, total luasan kawasan konservasi yang berhasil ditetapkan hingga 2021 mencapai 28,4 juta ha dari target 32,5 juta ha pada 2030. Luasan tersebut mencakup 18,4 juta ha kawasan yang ditetapkan dan 9,96 juta ha kawasan yang dicadangkan.

Adapun, kawasan konservasi yang telah ditetapkan Menteri Kelautan dan Perikanan sebanyak 79 kawasan, terdiri dari 10 Kawasan Konservasi Nasional (KKN) seluas 5,3 juta ha, 69 Kawasan Konservasi Daerah (KKD) seluas 8,59 juta ha.

“Sementara kawasan konservasi kewenangan KLHK sejumlah 30 kawasan seluas 4,6 juta hektare,” terang dia.

Dengan target perluasan hingga 30 persen, potensi penambahan stok karbon biru yang berasal dari ekosistem pesisir seperti mangrove dan lamun akan meningkat hingga mencapai 188 juta ton karbon. Itu berarti, aset laut yang akan terlindungi menjadi sebesar USD21,5 miliar.

baca juga : Strategi untuk Kembangkan Ekonomi Biru di Nusantara

 

Panorama pesisir kawasan konservasi perairan Maksegara di Kabupaten Sorong dan Kabupaten Tambrauw, Papua Barat.
Foto : Loka PSPL Sorong

 

Ketahanan Iklim

Perencana Ahli Utama Kementerian PPN/Bappenas Arifin Rudiyanto belum lama ini juga mengatakan jika ekosistem karbon biru (EKB) dikelola dengan baik, maka itu akan berkontribusi pada program adaptasi dan mitigasi menuju ketahanan iklim.

Dengan EKB yang terawat, dia yakin Indonesia dapat berkontribusi lebih untuk penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29 persen secara nasional, dan 41 persen secara global hingga 2030. Potensi EKB yang besar tersebut, bisa dimasukkan dalam mekanisme perdagangan karbon yang menjual karbon bergradasi.

Manfaat perdagangan tersebut dapat digunakan untuk membiayai beberapa sektor seperti perikanan, konservasi, energi terbarukan, pengelolaan sampah, transportasi laut, dan ekowisata. Juga, untuk membiayai kegiatan konservasi dan restorasi EKB.

Mengingat ada manfaat banyak yang akan dirasakan oleh masyarakat, keberadaan EKB harus bisa dijaga dan dikelola dengan baik. Utamanya, dengan menjaga dan mengelola kawasan konservasi perairan yang sudah dan akan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

Sebelumnya, Sakti Wahyu Trenggono juga mengatakan, sesuai pembaruan dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) yang telah dikirim ke PBB, Pemerintah berkomitmen menurunkan emisi GRK hingga 29 persen secara nasional dan 41 secara global pada 2030.

“Dalam perspektif target NDC tersebut, sektor kelautan telah menjadi bagian dari upaya adaptasi perubahan iklim,” tambah dia.

Tentang pemanfaatan BLUD kawasan konservasi, Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Agus Fatoni punya pendapat sendiri. Menurut dia, agar BLUD bisa bermanfaat, provinsi harus bisa paham secara detail.

Contohnya, jika provinsi sudah mendapatkan penetapan kawasan konservasi oleh Pemerintah Pusat, maka berikutnya diperlukan langkah untuk melaksanakan proses pembentukan BLUD melalui tahapan yang benar.

“Penyusunan pedoman dokumen administratif penerapan BLUD Kawasan Konservasi harus dilaksanakan bersama KKP agar dapat mendukung target penetapan kawasan konservasi,” terang dia.

Dia yakin, penerapan BLUD kawasan konservasi akan mendorong kawasan konservasi menjadi lebih fleksibel dan transparan dalam rangka mewujudkan kemandirian dalam pelayanan dan manfaat bagi masyarakat.

“BLUD merupakan amanah reformasi di bidang ekonomi daerah untuk menciptakan pengelolaan keuangan daerah yang efektif, efisien, ekonomis, transparan, akuntabel dan partisipatif. Esensi utamanya adalah meningkatkan pelayanan umum tanpa mencari keuntungan,” tegasnya.

baca juga : Awal Pendanaan Biru Semakin Dekat

 

Keindahan pesisir dengan hutan mangrove dan terumbu karang di Pulau Gam, kepulauan Raja Ampat, Papua Barat. Foto : shutterstock

 

Selain mengelola melalui kawasan konservasi, upaya pengelolaan kawasan pesisir juga kini didorong melalui wilayah yang tidak termasuk kawasan konservasi. Pengelolaan tersebut dilakukan dalam bentuk Other Effective-Area Based Conservation Measure (OECM).

Berdasarkan informasi yang dirilis resmi oleh KKP, OECM adalah area selain dari kawasan lindung yang secara geografis ditetapkan, diatur, dan dikelola dan dalam jangka panjang untuk mencapai hasil yang positif dan berkelanjutan.

Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut KKP M Firdaus Agung Kunto menerangkan, OECM menjadi salah satu elemen penting untuk melindungi keanekaragaman hayati di laut, selain melalui pengelolaan yang ada di kawasan konservasi perairan.

Walau tidak masuk kawasan konservasi, namun kawasan pesisir yang dikelola dengan OECM diusulkan untuk bisa menjadi bagian dari target Pemerintah Indonesia untuk menetapkan 30 persen wilayah lautnya sebagai kawasan perlindungan.

Berkaitan dengan ini, KKP menilai bahwa program kerja yang melibatkan masyarakat dengan pola perikanan berkelanjutan dan berbasis kearifan lokal masih sangat diperlukan sampai kapan pun. Pola tersebut akan ikut menjaga laut dari ancaman eksploitasi.

“Sebut saja sasi, egek, kera-kera, ataupun ombo yang sudah diterapkan secara turun temurun oleh masyarakat hukum adat (MHA),” urai dia.

M Firdaus Agung Kunto menambahkan, agar OECM bisa menjadi bagian upaya konservasi, KKP sudah menyiapkan sejumlah strategi yang siap dijalankan. Di antaranya adalah melaksanakan perlindungan masyarakat hukum adat dan tradisional.

Kemudian, memanfaatkan kolaborasi lintas sektor dan lintas skala, serta fokus pada pencapaian hasil dan integrasi ke dalam kerangka hukum. Strategi tersebut diharapkan bisa mendorong terwujudnya perlindungan laut tidak hanya melalui kawasan konservasi formal, namun juga OECM.

“OECM berdampak terhadap konservasi, meski tujuan pengelolaannya tak hanya untuk konservasi,” pungkas dia.

 

Seorang penyelam diantara keindahan terumbu karang di perairan di perairan,Raja,Ampat, Papua Barat. Foto : shutterstock

 

Manajer Advokasi Kebijakan dan Tata Kelola Yayasan Pesisir Lestari Rayhan Dudayev menambahkan, saat ini sedikitnya terdapat 12 ribu desa pesisir yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai nelayan kecil dan masyarakat pesisir.

Bersama Pemerintah Desa, mereka adalah pemeran sangat penting dalam rantai pasok perikanan secara nasional. Tanpa mereka, pasokan ikan akan sulit, upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan juga tidak akan terjadi.

“Mereka punya peranan penting juga dalam pengelolaan sumber daya perikanan di Indonesia. Berbagai pengelolaan perikanan dan pesisir telah dilakukan komunitas tersebut untuk mendukung target nasional maupun daerah,” ucap dia.

Fakta tersebut menegaskan bahwa peran komunitas di pesisir tidak boleh diabaikan dalam pembangunan kelautan dan perikanan. Untuk itu, peta jalan menjadi salah satu panduan penting untuk mewujudkan integrasi pengelolaan perikanan dan pesisir yang dilakukan komunitas lokal, dan kemudian dimasukkan ke dalam kebijakan strategi tata kelola kelautan.

Dia yakin, jika semua berjalan baik, program perlindungan hak dan pemberdayaan masyarakat pesisir akan bisa berjalan beriringan dengan upaya pengelolaan sumber daya perikanan dan pesisir secara berkelanjutan dan konservasi laut.

 

Exit mobile version