Mongabay.co.id

Pembangunan PLTA Batang Toru Harus Transparan

 

 

 

 

Proses pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru sedang berlangsung. Bersamaan dengan itu, berbagai fenomena mulai muncul seperti dalam liputan lapangan Mongabay September 2022, memperlihatkan, orangutan Tapanuli keluar dari hutan dan masuk kebun-kebun warga, bahkan tinggal di sana untuk ‘panen’ buah sampai rumah-rumah warga rusak bahkan ada yang roboh.  Berbagai kalangan menilai, pembangunan PLTA dengan pelaksana proyek PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) ini harus transparan guna memastikan pengelolaan genah hingga meminimalisir dampak bagi ekosistem dan sosial masyarakat di Batang Toru.

Onrizal, peneliti kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara, mengatakan,  perhatian terhadap satwa ini makin banyak dengan ada penelitian dan bantuan dalam upaya penanganan konflik manusia dengan satwa. Meski begitu, katanya, keterancaman satwa dan habitat masih terus ada.

Sejak 2017, orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) teridentifikasi sebagai spesies baru orangutan di Indonesia. Berjalaan bersamaan, masa depan spesies ini dinyatakan terancam punah karena habitat terdesak pembangunan industri dan pembukaan lahan skala besar.

Onrizal, ahli yang pernah terlibat dalam penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) PLTA Batang Toru pada 2013 ini, mengatakan, beberapa masukan terkait penanganan kerentanan orangutan Tapanuli tidak ada dalam amdal perubahan. Dia pun menekankan, transparansi para pihak sangat penting dalam pembangunan PLTA Batang Toru ini agar publik bisa tahu dan ikut mengawasi pelaksanaan proyek ini.

“Saya tidak bisa menilai itu, apakah sudah (pembangunan) ke arah positif atau negatif karena tidak ada data. Saya mendorong para pihak transparan,” katanya dalam diskusi Masa Depan Orangutan Tapanuli dan Ekosistem Batang Toru di Jakarta, Kamis (9/10/23).

 

Baca juga: Proyek Bangun PLTA Batang Toru Jalan, Rumah Warga Rusak Bahkan Roboh

Bayi kembar orangutan tapanuli dengan induknya ini terpantau di ekosistem Batang Toru, Sumatera Utara. Foto: YEL-SOCP/Andayani Ginting

 

Dengan ada proyek PLTA, katanya,  habitat orangutan berpotensi terfragmentasi, antara lain,  arus sungai akan melebar karena ada pembangunan. Dengan begitu, akan mengurangi pasokan makanan dan menyebabkan perkawinan sedarah yang mendorong kerentanan punah.

Tak hanya itu, pembukaan hutan menyebabkan kehilangan pakan orangutan, dimana 65% pohon di kawasan itu merupakan pakan orangutan dengan keragaman 300 jenis pohon dalam satu hektar.

“Seperti orangutan di Ketambe, ekosistem Batang Toru harus bisa menyejahterakan, bukan hanya untuk manusia juga makhluk hidup lain dan jadi ekosistem. Perlu tanggung jawab penuh untuk itu,” kata Onrizal.

Daniel Johan, anggota Komisi IV DPR, bilang, masalah ini belum dibicarakan dalam Komisi IV DPR. Dia berjanji, menggelar rapat dengar pendapat umum terbuka menghadirkan para pihak.  “Pembangunan PLTA harus lebih khusus dipertimbangkan karena orangutan Tapanuli hampir punah. Kalau orangutan sampai musnah, ini jadi catatan kelam dan menghilangkan peradaban.”

Soal keterancaman, Rudianto Saragih Napitu,  Kepala Balai BKSDA Sumatera Utara secara terpisah, belum lama ini mengklaim,  kalau kondisi populasi orangutan Tapanuli makin baik dengan indikasi makin banyak terlihat atau ditemukan.

Dari penelusuran Mongabay di lapangan September tahun lalu, warga mengeluhkan orangutan Tapanuli yang  datang ke kebun durian mereka, antara lain, untuk mengambil buahnya ketika matang. Bahkan, dari durian masih kecil pun orangutan sudah pindah rumah dan bikin sarang di pohon durian, menanti buah matang untuk ‘panen.’

Sedang Rudi nyatakan sebaliknya. “Sekarang sudah sedikit konflik. Orangutan itu dipancing oleh pakan bukan karena lainnya,” katanya.

Menurut data BKSDA, terjadi konflik itu ketika ada komplain dari masyarakat dan dicatat pemerintah. Sedangkan, pelaporan perjumpaan oleh masyarakat tidak dikatakan konflik karena tidak dianggap meresahkan masyarakat. Dia bilang, terakhir terjadi pelaporan konflik pada September 2022.

 

Baca juga: Janji Kerja di  Proyek PLTA Batang Toru, Warga Lepas Tanah Ada yang Rp4.000 per Meter

Terowongan bawah tanah yang dibangun oleh PT Dahana di Batang Toru untuk kepentingan PLTA. Foto: Website Kementerian BUMN

 

Susun RTRW

Sementara itu, Pemerintah Sumatera Utara sedang melakukan perubahan rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRWP), salah satu fokus adalah perubahan alokasi lahan di Batang Toru.

RTRWP ini, katanya,  penting untuk melindungi kawasan. Kalau ada pembangunan di sekitar kawasan lindung atau konservasi maka harus mempertimbangkan aspek lingkungan dan pendekatan konservasi.

“Meski status lahan ada yang alokasi penggunaan lain dan produksi. Izin tidak seperti APL biasa,”  kata Rudi.

Selain itu, katanya, sisi konservasi tak bisa melepaskan sosial dan kesejahteraan masyarakat.

Onrizal juga berharap, RTRWP perubahan ini transparan buat publik.

”Masukan dari publik jadi hal penting. Harapannya, poin keberlanjutan dan konservasi jadi ruh utuh dari revisi itu sendiri. Termasuk terkait keberadaan orangutan,” katanya.

Dia berharap, dalam RTRW ini kawasan-kawasan lain dengan keanekaragaman tinggi, bisa terlindungi. “Penting pelibatan publik tidak hanya dokumen juga implementasi di lapangan.”

Mongabay berupaya mengkonfirmasi kepada Kepala Sub Bidang Kemaritiman dan Sumberdaya Alam Bappeda Sumut, Sry Puspa Sari tetapi belum ada respon hingga berita ini tayang.

 

 

Potensi kerugian negara

Riset Auriga Nusantara pada 2020 menunjukkan, ketersediaan listrik di Sumatera Utara sudah surplus lebih dari 300 megawatt. Kondisi ini terlihat dari kebutuhan listrik pada 2017 sebanyak 1.833 MW, ketersediaan sudah 2.133 MW. Kelebihan itu terhitung dari kapasitas kalau PLTA Batang Toru terbangun.

Laporan kolaborasi media didukung Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) juga menguatkan temuan Auriga soal ada potensi kelebihan pasokan listrik ini.

”KESDM membenarkan listrik di Sumut sudah terkoneksi dari utara ke selatan. Pertanyaannya, akan dikemanakan lagi suplai listrik yang sudah ada sementara PLN sudah kontrak 30 tahun untuk beli ke PLTA Batang Toru? kata Abdus Somad, tim kolaborasi perwakilan SIEJ.

Temuan lain, dari audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), menyebutkan ada pengalihan dari PT Pembangkit Jawa Bali kepada PT Pembangkit Jawa Bali Investasi tanpa ada persetujuan dari rapat pemegang saham dan diskusi internal direksi serta kesepakatan dalam skema Independen Power Producer (IPP) yang melonjak hingga 21%.

 

Baca juga: Orangutan Tapanuli Makin Sering Muncul di Kebun Warga

Diskusi PLTA Batang Toru di Jakarta, yang sempat diganggu beberapa orang tak dikenal. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Progres pembangunan PLTA ini pun masih sangat jauh dari target. Per Oktober 2020, laporan BPK menyebutkan, pembangunan baru 11% dari target seharusnya 78,98%. Kendalanya, karena Bank Of China tidak lagi membiayai setelah ada ancaman kepada orangutan Tapanuli.

Weddy Bernadi Sudirman,  Executive Vice President Konstruksi Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi PLN mengatakan,  ada kesalahpahaman mengartikan ketersediaan dan kebutuhan energi. Terkait temuan BPK,  katanya, beberapa data perlu dibicarakan agar tidak salah melihat angka kelebihan energi.

“Sistem kelistrikan Sumatera dan Jawa memang belum nyambung. Kita membuat jaringan listrik dari Aceh hingga Lampung karena bicara keekonomian. Semangat kami bukan menghamburkan uang negara, kami ingin bisnis ini sustain. Tidak mungkin PLTA beroperasi jika area tangkapan rusak, padalah investasi besar. Hulunya kita jaga,” ujar Weddy.

Dia memastikan, PLN sudah pemetaan area penting bagi biodiversiti dan wilayah itu tidak akan diganggu. “Kesadaran kami untuk itu sangat penting.”

Andi Muttaqien, Wakil Direktur Eksekutif Satya Bumi mengatakan, pemenuhan energi listrik tak boleh mengorbankan kelestarian lingkungan yang akan berdampak antara lain pada kepunahan satwa langka dilindungi. Belum lagi, ada potensi beban keuangan negara makin tinggi.

Uli Artha Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Walhi Nasional, mengatakan,  pembangunan energi terbarukan perlu memiliki prinsip demokratis dan menghargai hak asasi manusia.

Dia menduga, pembangunan PLTA di Batang Toru untuk menopang industri-industri di sekitar. “Sebenarnya,  politik energi itu bukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Justru menopang industri yang kemudian akan makin masif dan terus merusak hutan di Batang Toru.”

 

Alat berat menggali longsoran untuk mencari warga yang tertimbun. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Sempat ricuh

Saat diskusi “Masa Depan Orangutan Tapanuli dan PLTA Batang Toru” di kawasan Tebet, Jakarta Selatan,  sempat ricuh. Pukul 10.30,  saat moderator memulai diskusi dan beberapa pembicara mulai duduk di kursi masing-masing, lebih empat orang masuk, satu berteriak membentak, membanting kursi dan memaksa bubarkan diskusi.

Pria yang tidak mau menyebut identitas dan asal institusi ini mengaku berasal dari Salemba, Jakarta. Dia bilang, diskusi ini tidak mendukung agenda pembangunan negara. Panitia pun berusaha menenangkan pria itu dan persilakan ikut diskusi, namun tidak didengarkan.

Ketegangan berlangsung sekitar 15 menit dan panitia memanggil petugas keamanan lalu membawa orang itu keluar. Diskusi pun lanjut.

Komite Kesalamatan Jurnalis, beranggotakan Aliansi Jurnalis Independen Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum Pers, mengencam peristiwa ini karena melanggar hak kebebasan berekspresi dan berkumpul dengan damai yang dilindungi UU.

Forum Konservasi Orangutan Indonesia (Forina) turut mengecam gangguan terhadap diskusi publik. Forum ini menganggap aksi itu sebagai upaya menghambat kebebasan berbicara dan berekspresi. ”Kami menyerukan kepada pemerintah melindungi kebebasan berekspresi dan memastikan keamanan bagi semua warga negara yang ingin terlibat dalam diskusi,” kata Adrianto Priadjati, Ketua Forina,  melalui siaran pers.

KKJ dan Forina mendesak polisi bisa mengusut dan penyelidiki kelompok orang yang tidak dikenal itu. “Kami melihat aksi intimidasi dan ancaman ini akan terulang lagi bila dibiarkan,” ujar Erick Tanjung, Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis.

 

Anak sungai yang bermuara di Sungai Batang Toru. yang jadi sumber air PLTA. Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

********

Exit mobile version