Mongabay.co.id

Diuji, Komitmen “Zero Tambang” di Bangka Belitung

 

 

Komitmen “zero tambang” di sejumlah wilayah pesisir dan laut Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terus diuji. Ini terjadi karena masih adanya IUP [Izin Usaha Pertambangan] yang masih berlaku, namun tidak sesuai alokasi ruang dalam Perda RZWP3K.

Terbaru, dikutip dari kompas.com, penambangan timah akan segera dilakukan di Belitung Timur pada 2023 ini. Menurut Pj Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Ridwan Djamaluddin, penambangan tersebut tidak bertentangan dengan Perda RZWP3K, karena IUP [PT. Timah Tbk] sudah ada sebelum perda zonasi wilayah pesisir [RZWP3K] disahkan.

“Tahun ini bisa dilakukan penambangan. Perda zonasi juga mengakomodir izin-izin usaha lama, namun tidak berlaku bagi izin baru. Jadi itu sifatnya legal. Kalau kita biarkan tidak ditambang, nanti banyak muncul yang ilegal,” kata Ridwan, Sabtu [18/2/2023].

Berdasarkan Perda RZWP3K Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, luas kawasan pertambangan mencapai 477.077,6 hektar. Seluruhnya berada di Pulau Bangka, sementara di Pulau Belitung tidak ada alokasi ruang untuk aktivitas penambangan.

Direktur Walhi Kepulauan Bangka Belitung, Jessix Amundian mengatakan, rencana itu harus ditinjau kembali, terutama terkait izin-izin yang peruntukan zonasinya telah berubah dalam RZWP3K. Penting juga untuk meninjau perencanaan pembangunan wilayah pesisir sesuai dengan SDG’s Desa di tingkat tapak.

“Jika berimplikasi negatif, izin yang ada harus dibatalkan karena mempunyai potensi konflik akibat tekanan lingkungan. Sebut saja, terganggunya kelestarian ekosistem dan akses masyarakat adat atau tradisional dalam memanfaatkan pesisir dan pulau-pulau kecil,” terangnya, Kamis [09/03/2023].

Menurut dia, kasus ini mirip dengan yang terjadi di Teluk Kelabat Dalam, Pulau Bangka, yaitu  IUP masih eksis di kawasan “zero tambang” dalam RZWP3K.

“Akibatnya, konflik di Teluk Kelabat masih berlangsung karena masyarakat berpegang teguh pada zonasi RZWP3K. Hingga saat ini, pemerintah belum maksimal menanganinya,” lanjutnya.

Baca: Tambang Timah dan Masa Depan Generasi Muda Bangka Belitung

 

Kapal isap produksi yang beroperasi di sekitar perairan Rebo, Pesisir Timur Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Merujuk situs onemap.esdm.go.id, IUP PT. Timah di Pulau Belitung berada di sekitar laut Manggar [ibu kota Kabupaten Belitung Timur], luasnya mencapai 30.910 hektar dan masih berlaku hingga 2025. IUP tambang ini juga berbatasan langsung dengan kawasan konservasi Perairan Gugusan Pulau-Pulau Momparang seluas 124.550,5 hektar, yang ditetapkan berdasarkan SK NOMOR 52/KEPMEN-KP/2017.

Berdasarkan dokumen RPZ [Rencana Pengelolaan dan Zonasi] Kabupaten Belitung Timur 2014,  kawasan ini memiliki ekosistem mangrove seluas 207,34 hektar dengan kerapatan sangat padat dan kondisi baik di sebagian besar wilayahnya [Dian & Andik, 2020]. Sementara luas total terumbu karang mencapai 1.321,08 hektar, dengan tutupan karang hidup diatas 50 persen dan kondisi sedang-baik [Wratsangka et al., 2014].

Baca: Kisah Para Dukun yang Menjaga Hutan Tersisa di Pulau Bangka

 

Potret masyarakat adat di pesisir selatan Pulau Belitung yang menjaga laut mereka selama ratusan tahun. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Menolak

Sebelumnya, penolakan masyarakat sudah dilakukan sejak adanya rencana eksplorasi timah oleh PT. Timah Tbk pada 2021 lalu. Dikutip dari Lintasbabel.id, melalui Rapat Dengar Pendapat [RDP] bersama PT. Timah Tbk, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [DPRD] Bangka Belitung meminta surat permohonan dukungan eksplorasi yang ditujukan kepada Bupati Belitung Timur dicabut. Tujuannya, agar tidak menimbulkan keresahan di masyarakat.

Ini juga bersamaan dengan diterimanya surat penolakan kepada DPRD Belitung Timur dari sejumlah desa pesisir di Kabupaten Belitung Timur, yakni Desa Burung Mandi, Desa Suka Mandi, Desa Lalang, dan Desa Selingsing.

Ketua Forum Daerah Aliran Sungai, sekaligus anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [DPRD] Belitung Timur, Koko Haryanto mengatakan, hingga saat ini masyarakat di Belitung dan Belitung Timur masih berpegang teguh pada zonasi RZWP3K.

“Penolakan sudah disampaikan masyarakat dan kami konsisten. Sejauh ini belum ada komunikasi dari PT. Timah terkait upaya penyesuaian izin dengan fungsi kawasan berdasarkan Perda RZWP3K,” ujarnya kepada Mongabay Indonesia, Jumat [10/03/2023].

Menurut Koko, PT. Timah Tbk harus patuh pada ketentuan peralihan Pasal 92 Perda RZWP3K yang menyatakan, “Izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan tetapi tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah [RZWP3K], maka berlaku ketentuan; untuk yang belum dilaksanakan pembangunannya, izin tersebut disesuaikan dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini.”

Kalaupun pembangunannya sudah dilakukan dan tidak memungkinkan untuk dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah, izin yang telah diterbitkan dapat dibatalkan. Terhadap kerugian yang timbul sebagai akibat pembatalan izin tersebut dapat diberikan penggantian yang layak.

“Dari ketentuan itu, dapat dinyatakan bahwa operasi tambang tidak bisa dilakukan dan harus menyesuaikan dengan fungsi kawasan RZWP3K, karena pembangunan atau penambangan [di IUP Belitung Timur] belum dilaksanakan hingga saat ini. Kalaupun ada klaim sudah dilaksanakan pembangunan, maka IUP tersebut tetap harus dibatalkan karena tidak sesuai dengan fungsi kawasan dan ada ganti rugi,” tegas Koko.

Baca juga: Kawasan Konservasi Laut Pulau Bangka, Harapan Ditengah Dominasi Tambang Timah

 

Jika tetap dilaksanaka, aktivitas penambangan di Belitung Timur akan mengancam ekosistem karang di kawasan konservasi Gugusan Pulau Momparang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Dicabut

Muhammad Syaiful Anwar, peneliti sekaligus dosen Hukum Tata Negara dari Universitas Bangka Belitung mengatakan, Pulau Belitung jelas didaulat sebagai kawasan zero tambang. Komitmen ini sudah dilakukan beberapa pemangku kebijakan melalui Perda RZWP3K.

“Jika ada “pembolehan” atas dasar izin sudah keluar, izin tersebut tetap bisa dibatalkan atau  dicabut, sehingga tidak ada tumpang tindih kepentingan dan aturan yang berlaku di zona tersebut,” katanya.

Alangkah lebih arif dan bijaksana jika para pemangku kepentingan lebih berorientasi pada permasalahan yang lebih besar, yakni penyelamatan lingkungan, dengan cara tidak menambah beban kerusakan.

“Akan lebih baik jika perizinan ditarik, ditangguhkan, dicabut, atau dibatalkan demi kemaslahatan masyarakat,” tegasnya.

Mongabay Indonesia sudah mencoba konfirmasi kepada PT. Timah Tbk, namun hingga artikel ini diterbitkan belum ada respons dari perusahaan tersebut.

 

Referensi:

Dian, A., & Andik, I. [2020]. Komposisi dan Kerapatan Mangrove Kawasan Konservasi Taman Wisata Perairan Gugusan Pulau- Pulau Momparang. Indonesian Journal of Conservation, Vol 9, No. https://doi.org/https://doi.org/10.15294/ijc.v9i2.26547

Wratsangka, L., Dhahiyat, Y., & Sunardi, S. [2014]. Rencana Pengelolaan Kawasan Konservasi  Perairan Daerah untuk Menjaga Kelestarian Ekosistem Terumbu Karang Dalam Upaya  Meningkatkan Pendapatan Masyarakat [Studi Kasus: Kab. Belitung Timur – Kepulauan Bangka Belitung]. Indonesian Journal of Applied Sciences, 4 [2]. https://doi.org/https://doi.org/10.24198/.v4i2.16804

 

Exit mobile version