- Berdasarkan alokasi ruang Perda Provinsi Kepulauan Bangka Belitung No. 3 Tahun 2020 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil [RZWP3K] Tahun 2020-2040, kawasan konservasi mendapat porsi 14 persen atau 627.612,9 hektar, dari total 4.259.119,3 hektar.
- Namun, dari luasan kawasan konservasi tersebut [627.612,9 hektar], sekitar 140,9 hektar berada di Pulau Belitung [Kabupaten Belitung dan Belitung Timur], sedangkan di Pulau Bangka hanya sekitar 111.242,1 hektar [Kabupaten Bangka, Bangka Tengah dan Bangka Selatan].
- Dari persentase itu, 10 persen berada di Pulau Belitung, sedangkan di Pulau Bangka hanya 4 persen. Hal ini tentu tidak seimbang dengan luasan maupun tekanan ekologi yang ditanggung Pulau Bangka.
- Dalam alokasi ruang RZWP3K Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2020-2040, persentase sektor kelautan dan perikanan berkelanjutan mencapai 79,78 persen. Diantaranya perikanan tangkap [60,86 persen], perikanan budidaya [4,36 persen], dan konservasi [14,74 persen].
Baca sebelumnya: Mampukah Kawasan Konservasi Menjamin Kelestarian Laut Bangka Belitung?
**
Berdasarkan alokasi ruang Perda Provinsi Kepulauan Bangka Belitung No. 3 Tahun 2020 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil [RZWP3K] Tahun 2020-2040, kawasan konservasi mendapat porsi 14 persen atau 627.612,9 hektar, dari total 4.259.119,3 hektar.
Di atas kertas, persentase tersebut telah melebihi syarat luasan kawasan konservasi, berdasarkan PP 32 TAHUN 2019 tentang Rencana Tata Ruang Laut, Pasal 10 Ayat 12 Huruf B, yang menyatakan bahwa kawasan konservasi paling sedikit 10 persen dari luas total perairan yang ada.
Namun, dari luasan kawasan konservasi tersebut [627.612,9 hektar], sekitar 516.140,9 hektar berada di Pulau Belitung [Kabupaten Belitung dan Belitung Timur], sedangkan di Pulau Bangka hanya sekitar 111.242,1 hektar [Kabupaten Bangka, Bangka Tengah, dan Bangka Selatan].
“Dari persentase itu, 10 persen berada di Pulau Belitung, sedangkan di Pulau Bangka hanya 4 persen. Hal ini tentu tidak seimbang dengan luasan maupun tekanan ekologi yang ditanggung Pulau Bangka,” kata Jessix Amundian, Direktur Walhi Kepulauan Bangka Belitung, Selasa [13/09/2022].
Menurut Jessix, hal lain yang juga harus diperhatikan adalah, seluruh alokasi kawasan pertambangan berada di Pulau Bangka, sekitar 477.077,6 hektar.
“Ini ancaman kelestarian ekosistem laut di Pulau Bangka,” lanjutnya.
Berikut data perbandingan yang diolah Walhi Kepulauan Bangka Belitung, berdasarkan dokumen RZWP3K serta update Kawasan Konservasi Laut Daerah [KKLD] dari Dinas Kelautan dan Perikanan [DKP] Provinsi Kepulauan Bangka Belitung:
PERBANDINGAN LUAS ALOKASI RUANG KONSERVASI DAN PERTAMBANGAN DI PULAU BANGKA |
||
KABUPATEN |
LUAS KONSERVASI [Hektar] |
LUAS PERTAMBANGAN [Hektar] |
BANGKA BARAT |
[tidak ada kawasan konservasi] |
145.025,10 |
BANGKA |
7.372,50 |
110.229,60 |
BANGKA TENGAH |
11.357,78 |
113.233,80 |
BANGKA SELATAN |
92.511,90 |
108.588,80 |
TOTAL |
111.242,18 |
477.077,6 |
*Data diolah Walhi Kepulauan Bangka Belitung, berdasarkan Perda Provinsi Kepulauan Bangka Belitung No. 3 tentang RZWP3K tahun 2020-2040, serta update data kawasan konservasi laut daerah [KKLD] dari DKP Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Dari tabel terlihat, Pulau Bangka dijadikan target eksploitasi penambangan timah laut. Selain itu, ada alokasi ruang lain seperti pariwisata, industri, pelabuhan, alur kabel/pipa, perikanan budidaya dan perikanan tangkap, yang juga akan memberikan tekanan ekologi.
“Seharusnya, Pulau Bangka mendapatkan porsi setara, bahkan lebih besar dibandingkan Pulau Belitung, mengingat perbedaan luasan, serta dampak yang dihadapi Pulau Bangka,” kata Jessix.
Baca: Taber Laot, Manusia Jangan Serakah dan Merusak Laut
Perikanan berkelanjutan?
Dalam alokasi ruang RZWP3K Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2020-2040, persentase sektor kelautan dan perikanan berkelanjutan mencapai 79,78 persen. Diantaranya perikanan tangkap [60,86 persen], perikanan budidaya [4,36 persen], dan konservasi [14,74 persen].
Persentase tersebut menjadi pemicu adanya klaim dari pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, bahwa Perda tersebut bernuansa perikanan berkelanjutan, bukannya pertambangan. Benarkah?
“Nuansa perikanan berkelanjutan nampaknya hanya berlaku pada Pulau Belitung, namun tidak untuk Pulau Bangka. Hal ini dikarenakan sedikitnya wilayah konservasi di Pulau Bangka,” kata M. Rizza Muftiadi, peneliti terumbu karang, sekaligus dosen jurusan Manajemen Sumber Daya Perairan, Universitas Bangka Belitung.
Jika dilihat dari pola pemanfaatan ruang, ada perbedaan mencolok antara Belitung dan Bangka. Khususnya, terkait aktivitas penambangan timah yang semuanya berada di Bangka.
“Saya khawatir, kawasan konservasi tidak akan mampu meng-cover dampak penambangan timah dan aktivitas lain di Bangka, sehingga memicu kerusakan ekosistem permanen,” lanjutnya.
Berdasarkan dokumen IKPLHD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2021, luas total terumbu karang di Pulau Bangka dan Belitung mencapai 17.744,85 hektar. Sekitar 12.474,54 hektar dalam kondisi hidup, sedangkan 5.270, 31 hektar dalam kondisi mati.
Khusus di Bangka, berdasarkan hasil pengukuran di 23 titik, rata-rata persentase live coral sebesar 33 persen, tergolong kondisi sedang. Potensi sedimentasi [Total Suspended Solid/TSS] dari proses penambangan timah menjadi salah satu faktor penyebab kerusakan terumbu karang.
Wawan Ridwan, Sub Koordiantor Pengelolaan Ruang Laut DKP Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, mengatakan, proses pengelolaan, penentuan hingga penetapan kawasan konservasi di Pulau Bangka menjadi tantangan tersendiri. Pemanfaatan ruang laut lebih kompleks, seperti adanya IUP pertambangan dan lainnya.
“Satu syarat penting penetapan sebuah kawasan konservasi harus steril dari berbagai izin,” lanjutnya.
Konservasi berbasis kearifan
Dalam kehidupan masyarakat di Pulau Bangka, masih terdapat kebudayaan atau kearifan dalam mengelola pesisir dan laut. Sebut saja ritual “taber laot” yang rutin dilakukan setiap tahun.
Berdasarkan penelusuran Mongabay Indonesia, ritual ini kebanyakan dilakukan masyarakat di sepanjang Pesisir Timur Pulau Bangka, seperti di Belinyu [Kabupaten Bangka], Desa Batu Beriga [Bangka Tengah], dan Kepulauan Lepar Pongok [Bangka Selatan]. Salah satu larangan adalah tidak melaut selama tiga hari, yang jika dilanggar akan terkena bencana.
Menurut M. Rizza Muftiadi, dalam kearifan ini, terdapat nilai-nilai konservasi yang telah dipraktikkan selama ratusan tahun oleh masyarakat Pulau Bangka. Mereka juga, memiliki pengetahuan terkait wilayah larangan, di darat maupun laut, yang menyimpan keanekaragaman hayati tinggi.
“Beragam praktik masyarakat ini, seharusnya menjadi landasan konservasi di Kepulauan Bangka Belitung,” katanya.
Fhores Fherado, Kepala Bidang Pengelolaan Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil [PKP3K] DKP Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, mengatakan, pihaknya sangat terbuka mengenai kearifan masyarakat itu. Dapat diusulkan ke pemerintah desa, yang kemudian dikuatkan dengan peraturan desa [perdes].
“Jika dapat disinergikan, tentunya dapat memperkuat aspek pengelolaan kawasan konservasi berkelanjutan, dengan melibatkan masyarakat lokal tentunya,” tegasnya.