Mongabay.co.id

Perairan Pulau Gelasa, “Lumbung Cumi” di Pulau Bangka yang Harus Dilindungi

 

 

Perairan Pulau Gelasa yang berhadapan langsung dengan Selat Karimata dan Laut China Selatan, merupakan lumbung cumi-cumi di Pulau Bangka.

“Pada puncaknya, kami bisa mendapat 10-20 kilogram cumi, sementara nelayan bagan dapat hingga 50 kilogram dalam semalam. Jika dikonversi, kisaran 500 ribu hingga satu juta Rupiah,” kata lsmu Bai [38], pemacing cumi di Dusun Tanjung Berikat, Desa Batu Beriga, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Senin [03/04/2023].

Sebagai desa pesisir di timur Pulau Bangka, selain berkebun, sekitar 70 persen dari jumlah total [2037 jiwa] penduduk Batu Beriga berprofesi sebagai nelayan. Untuk mencari cumi, mereka menggunakan perahu kecil berkapasitas 5 GT [Gross tonnage], dengan bantuan lampu, serta alat tangkap berupa pancing dan serok.

“Kami dilarang menangkap cumi [Uroteuthis chinensis] dan sotong [Sepioteuthis lessoniana] dengan jaring. Pakai pancing. Saat menangkap ikan, juga tidak boleh menggunakan bom atau memasang jaring di sekitar terumbu karang,” kata Cik Jali [54], tokoh masyarakat adat di Dusun Tanjung Berikat.

Baca: Gelasa, Pulau Perawan Bertabur Terumbu Karang Purba

 

Cumi-cumi telah ditetapkan sebagai sumber perikanan strategis Bangka Belitung, dengan demikian habitatnya harus dilindungi. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Adapun nama-nama karang yang sering dijadikan lokasi bagi para pemancing cumi, yakni karang teri, karang baru, karang bagan, karang senior, karang bulet, karang lubuk, dan karang tulung.

“Semua karang berada di sekeliling Pulau Gelasa, sebagian berjarak kurang 10 kilometer. Ada juga karang dekat pantai Tanjung Berikat, pesisir Desa Lubuk Besar, hingga karang bayang dekat Pulau Ketawai,” lanjut Cik Jali.

Semua karang tersebut masuk perairan adat Suku Melayu yang menetap di sejumlah desa di Kabupaten Bangka Tengah, hingga Pulau Kelapan [Kabupaten Bangka Selatan]. Luasnya sekitar 80 ribu hektar, membentang dari Pesisir Koba [Barat], Pulau Gelasa [Utara], hingga Pulau Kelapan [Selatan].

Baca: Jangan Usik Perairan Gelasa Kami

 

Hasil tangkap nelayan cumi-cumi yang dijual langsung di tepi pantai. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Menurut Ismu Bai, hampir 20 tahun memancing cumi, perairan ini juga menjadi wilayah tangkap bagi nelayan daerah lain, seperti Kabupaten Bangka Selatan, sekitar Desa Rebo [Sungailiat], hingga sejumlah nelayan dari Selan Nasik, Belitung.

“Ikan dan cumi disini masih banyak, karena di sepanjangan Pesisir Timur Pulau Bangka, hanya laut ini yang terbebas penambangan timah laut. Sementara laut di Desa Batu Belubang, sekitar Sungailiat dan Toboali [Bangka Selatan] sudah ditambang,” lanjutnya.

Menurut penelitian Febrianto, [2014] di Kabupaten Bangka Selatan, aktivitas penambangan timah dapat mempengaruhi jumlah hasil tangkapan cumi-cumi. Sejumlah parameter kualitas perairan, seperti Pb [logam berat], telah melampaui baku mutu untuk biota laut [KepmenLH No 51 tahun 2004]. Sementara parameter TSS [zat padat tersuspensi], kecerahan dan DO [kadar oksigen terlarut dalam air] di lokasi penambangan timah lebih tinggi, dibandingkan lokasi bebas penambangan timah.

Baca: Melacak Nautilus di Perairan Gelasa

 

Terumbu karang di sekitar Pulau Gelasa menyimpan keanekragaman hayati, cumi-cumi salah satunya. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Harus dilindungi

Umumnya, hasil tangkapan cumi-cumi di perairan Bangka didominasi jenis cumi [Uroteuthis chinensis] dan sebagian kecil sotong [Sepioteuthis lessoniana]. Jenis Uroteuthis chinensis ditetapkan sebagai komoditas unggulan strategis bagi sektor perikanan dan kelautan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, karena memiliki kualitas terbaik untuk pasar ekspor.

Pada 2022 lalu, Sekretaris Badan Riset Sumber Daya Manusia, Kelautan dan Perikanan [BRSDMKP] KKP, Dr. Kusdiantoro, menyebutkan Bangka Belitung sebagai sentra produksi cumi-cumi di Indonesia, terbaik di pasar ekspor dunia.

“Tiga tahun kebelakang rata rata ekspor cumi naik sekitar 14,7 persen dengan nilai mencapai 330 juta USD. Namun sebaliknya, dari hasil kajian diketahui terdapat indikasi penurunan populasi cumi di perairan Babel,” ujarnya, dikutip dari situs resmi dkp.babelprov.go.id.

Menurut penelitian Kurniawan & Febrianto [2021], hasil  tangkapan maksimum atau potensi  lestari sumber daya cumi-cumi rentang 2012-2019 di Bangka Belitung belum mencapai overfishing.

Baca juga: Perairan Pulau Gelasa Sudah Semestinya Dilindungi

 

Perahu pemancing cumi di sekitar Pantai Tanjung Berikat, Kabupaten Bangka Tengah. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Menurut Muhammad Rizza Muftiadi, peneliti terumbu karang dari Universitas Bangka Belitung, secara umum, dalam satu kali bertelur cumi-cumi dapat menghasilkan banyak telur, sehingga anaknya banyak juga.

“Dengan kata lain, tanpa menyisihkan kontrol alat dan jumlah tangkap nelayan, menjaga terumbu karang sebagai habitat utama cumi-cumi adalah yang terbaik,” kata Rizza, yang tahun lalu ikut Ekspedisi Pulau Gelasa.

Disisi lain, kondisi terumbu karang di sekitar Perairan Pulau Gelasa yang tergolong baik [Adi et al., 2020] dan terbebas dari aktivitas penambangan, berpotensi menjadi habitat pemijahan [Spawning ground] cumi-cumi.  ­

“Karenanya, perairan ini harus dilindungi melalui berbagai skema konservasi. Terutama untuk melindungi ekosistem terumbu karang, sumber daya perikanan, hingga nilai budaya masyarakat lokal,” tegasnya.

 

Referensi:

Adi, W., Kamarullah, U., Dedi, D., Sanjaya, H., Ardyansah, R., Gunawan, R., Mahatir, M., Mustofa, K., Ramadhani, M. R., & Sartini, S. [2020]. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Pulau Gelasa Kabupaten Bangka Tengah. Akuatik: Jurnal Sumberdaya Perairan, 14 [2], 13–19.

Febrianto, A. (2014). Pengaruh Logam Berat Pb Limbah Aktivitas Penambangan Timah terhadap Kualitas Air Laut di Wilayah Penangkapan Cumi-cumi Kabupaten Bangka Selatan. Akuatik: Jurnal Sumberdaya Perairan, 8 [2], 24–33.

Kurniawan, K., & Febrianto, A. [2021]. Analisis Potensi dan Tingkat Pemanfaatan Cumi-cumi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan Model Bio-Ekonomi Perikanan. Jurnal Enggano, 6 [2], 384–403.

 

Exit mobile version