Mongabay.co.id

Banjir Bandang di Kawasan Industri Nikel Morowali, Krisis Iklim Makin Mengkhawatirkan

 

 

 

 

 

 

Kawasan industri PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng) kena terjang banjir bandang saat hujan lebat dari Selasa sore hingga Selasa malam (24/25/5/23).

Dalam video yang beredar di media sosial, air deras mengalir sampai aktivitas harus terhenti. Bahkan, ada satu pekerja terlihat terseret arus dan diselamatkan beberapa orang di sekitar jalan utama kawasan industri nikel itu. Di video lain, sejumlah karyawan yang masih mengenakan rompi dan helm perusahaan juga mengalami hal serupa. Ketinggian air mencapai pinggang orang dewasa.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng menilai, banjir yang terus terjadi di sekitar area IMIP dugaan kuat karena bentang alam yang dulu sebagai wilayah penyangga berubah menjadi kawasan industri nikel.

“Banjir berulang bukan hanya soal curah hujan tinggi, namun faktor paling krusial adalah, berubahnya bentang alam yang dulu wilayah penyangga, jadi kawasan industri. Alhasil, luapan air terus saja menggenangi dan mengalir ke wilayah hilir,” kata Muhammad Taufik, Koordinator Jatam Sulteng, dalam rilis kepada media 26 April lalu.

Banjir di kawasan industri pengolahan nikel di Morowali itu bukan hanya kali ini terjadi. Kurun tiga tahun terakhir, kawasan industri itu selalu banjir walaupun curah hujan sedang. Kehadiran perusahaan ekstraktif dari mengeruk hulu sampai perubahan bentang di hilir jadi faktor utama ketidakseimbangan ekologi. Resapan air berkurang, katanya,  hingga daya tahan tanah lemah karena lingkungan hidup rusak.

Data Global Forest Watch menyebut, dari 2002-2021, Sulteng kehilangan 370.000 hektar hutan primer basah, menyumbang 51% dari kehilangan tutupan pohon dalam periode sama. Periode 2001-2021, Sulteng kehilangan 745.000 hektar tutupan pohon, setara penurunan 13% tutupan pohon sejak 2000, dan setara 516 Mt emisi CO₂e.

Di Sulteng, ada empat wilayah teratas bertanggung jawab atas 60% dari semua kehilangan tutupan pohon antara 2001 dan 2021. Morowali jadi wilayah teratas kehilangan tutupan pohon paling banyak sebesar 149.000 hektar. Banggai, Tojo Una-una, Parigi Moutong, dan Poso merupakan tiga wilayah yang ikut mengalami kehilangan tutupan pohon setelah Morowali.

 

Baca juga: Fokus Liputan: Morowali di Bawah Cengkeraman Tambang Para Jenderal

 

 

Sisi lain, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Sulawesi Tengah (Sulteng) 2013-2033 masuk dalam kategori buruk. Sejak 2017, Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8/2013 itu akan revisi karena ada ketidaksesuaian antara pemanfaatan ruang di lapangan, dan rencana tata ruang wilayah yang tertuang dalam perda. Namun, katanya, revisi RTRW berjalan lambat hingga kini.

Dalam penelitian Auriga Nusantara dan Komisi Pemberantasan Korupsi (2020) ada sekitar 331 izin usaha pertambangan (IUP) dengan luas 1.382.711,43 hektar tersebar di 10 kabupaten/kota di Sulteng.

Morowali, katanya,  menduduki peringkat pertama yang memiliki IUP terbanyak yaitu 112 IUP dengan luas 315.456,10 hektar.

Jatam Sulteng mencatat, sekitar 16.000 hektar kawasan hutan di Sulteng jadi area izin pertambangan termasuk pertambangan nikel. Hal itu disinyalir jadi pemicu utama bencana banjir dan tanah longsor. Daerah penyangga dan resapan air, katanya,  sudah rusak.

Kondisi itu, kata Opik, sapaan akrabnya,  juga berpotensi merusak rumah bagi flora dan fauna di hutan Sulteng.

Data Informasi Bencana Indonesia (Dibi) BNPB menyebut, tahun 2002 sampai April 2023 ada 384 banjir di Sulteng. Tahun 2020, 2021 dan 2022,  merupakan tahun paling banyak banjir.  Dalam 2023, Sulteng sudah banjir 11 kali.

 

Baca juga: Banjir Bandang Kian Akrab Terjang Morowali, Mengapa?

Hamparan tanah luas ini dulu pepohonan sebelum digali tambang nikel, salah satu sagu yang menjadi sumber hidup warga. Namun, kini tinggal cerita….Foto: Christopel Paino/ Mongabay Indonesia

 

Tata kelola buruk

Banjir di area smelter IMIP jadi gambaran tata kelola pertambangan buruk di Sulteng. Hasil laporan koordinasi dan supervisi sektor pertambangan minerba KPK menyebut, pada 2014 ada 199 IUP berstatus non clean and clear (non-CNC) atau bermasalah dari 443 IUP di Sulteng.

Masalah yang ditemukan antara lain soal maladministrasi, tumpang tindih kewenangan, maupun tumpang tindih sama komoditas dan beda komoditas.

Dalam laporan itu juga ditemukan ada tunggakan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mencapai Rp111 miliar dari 353 IUP. Ada IUP tidak menyampaikan SPT pajak penghasilan, ada IUP tak transparan dalam pengalokasian dana jaminan reklamasi, ada IUP yang tak sampaikan data laporan produksi.

Persoalan itu, katanya,  memicu kerusakan lingkungan di Sulteng yang akhirnya berdampak ke masyarakat sekitar pertambangan.

Jatam Sulteng mendesak, pemerintah pusat maupun daerah, mengambil langkah untuk audit lingkungan, terkait daya tampung dan daya dukung lingkungan di kawasan industri IMIP.

Tujuan audit ini,  katanya, untuk menilai kepatuhan perusahaan terhadap peraturan perundangan-undangan dan persyaratan lain yang relevan.

“Audit lingkungan itu untuk melihat bagaimana kepatuhan perusahaan dalam memberikan jaminan keberlanjutan, hingga tidak ada lagi bencana banjir berulang di wilayah industri itu,” kata Opik.

Kalau audit dilakukan dengan benar dan komprehensif, katanya, bisa mengungkap penyebab banjir dan memberikan rekomendasi tindak lanjut.

Jatam Sulteng juga mendesak, pemerintah berani mengadopsi peraturan dan standar lingkungan lebih ketat guna memaksa perusahaan seperti IMIP lebih patuh ketentuan peraturan perundang-undangan berlaku.

“Kami juga mengingatkan pemerintah jangan selalu mengejar pendapatan dari sektor tambang tanpa memperdulikan keberlanjutan lingkungan.”

 

Sejak tambang nikel banyak beroperasi di  Morowali,  bencana banjir bandang pun datang bertubi. Ini kejadian 2015. Foto: Niswanto Rachman Fatutoko

 

Makin mengkhawatirkan

Andung Bayu Sekaranom, dosen Laboratorium Hidrologi dan Klimatologi Lingkungan, Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM) mengatakan,  fenomena cuaca ekstrem di Indonesia cenderung meningkat karena dampak perubahan iklim. Seperti frekuensi bencana banjir meningkat, kekeringan, dan masa musim hujan mundur.

Andung memprediksi,  rentang 20 tahun ke depan dampak perubahan iklim jauh lebih parah karena kenaikan suhu global lebih tinggi.

Negara tropis dan subtropis, katanya, selain mengalami peningkatan temperatur juga peningkatan curah hujan.

“Diprediksi banyak lembaga internasional bahwa suhu akan meningkat dan hawa panas di mana-mana di belahan bumi ini,” kata Andung dikutip dari laman resmi UGM.

Perubahan iklim, katanya,  bisa berpotensi jadi katalis perubahan cuaca ekstrem dalam jangka pendek, namun seringkali terkendala keterbatasan data untuk analisis.

Di tingkat masyarakat, katanya, persepsi dampak perubahan iklim ini dapat berbeda-beda karena faktor usia, lokasi tempat tinggal dan pendidikan hingga penting konfirmasi persepsi dengan data.

 

 

Dwikorita Karnawati, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) benarkan, fenomena perubahan iklim makin mengkhawatirkan dan memicu dampak lebih luas.

Kondisi ini, katanya,  terlihat dari berbagai peristiwa alam terkait iklim, dari suhu udara lebih panas, siklus hidrologi terganggu, sampai marak bencana hidrometeorologi di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia.

BMKG mencatat, pada 2016 tahun terpanas untuk Indonesia dengan nilai anomali sebesar 0.8 °C sepanjang periode pengamatan 1981-2020. Tahun 2020 menempati urutan kedua tahun terpanas dengan nilai anomali 0.7 °C, dengan 2019 berada di peringkat ketiga dengan nilai anomali 0.6 °C.

Laporan World Meteorological Organization (WMO) dalam State of the Climate 2022 awal 2023 menyebutkan, tahun 2022 menempati peringkat keenam tahun terpanas dunia.  Pada 2015-2022,  jadi delapan tahun terpanas dalam catatan WMO.

Awal Desember 2020,  juga menempatkan 2016 sebagai tahun terpanas peringkat pertama, dengan 2020 sedang on-the-track menuju salah satu dari tiga tahun terpanas yang pernah dicatat.

Kondisi terpanas itu dipicu tren pemanasan global yang diamplifikasi oleh kejadian anomali iklim El Nino.

Kondisi ini pula yang mengakibatkan lebih cepat salju abadi mencair di Puncak Jaya, Papua. Bila luasan salju abadi sekitar 200 km persegi, kini menyisakan 2 km persegi atau tinggal 1%. Salju dan es abadi di Puncak Jaya merupakan keunikan yang dimiliki Indonesia, mengingat nusantara beriklim tropis.

Menurut Dwikorita, karena perubahan iklim, kejadian-kejadian ekstrem lebih kerap terjadi, terutama kekeringan dan banjir. Kalau sebelumnya rentang waktu kejadian berkisar 50-100 tahun, kini makin pendek atau frekuensi makin sering terjadi dengan intensitas lebih tinggi atau durasi makin panjang.

Contoh nyata di Indonesia, katanya,  kemunculan siklon tropis Seroja yang mengakibatkan bencana banjir bandang dan longsor di Nusa Tenggara Timur (NTT) April 2021. “Padahal,  fenomena siklon bisa dikatakan sangat jarang terjadi terbentuk di wilayah tropis seperti Indonesia. Selama 10 tahun terakhir siklon tropis makin sering terjadi,” kata Dwikorita dikutip dari laman BMKG.

Terbaru, katanya, tanah longsor di Natuna mengakibatkan puluhan orang meninggal dunia. Kalau situasi terus berlanjut, maka Indonesia jauh lebih sering cuaca ekstrem dan bencana yang tidak hanya menimbulkan kerugian materiil juga korban jiwa.

 

Penampakan Kawasan Industri Nikel, PT IMIP, Foto: Milik PT IMIP

 

Pada 20 Maret lalu, Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC) merilis laporan mengenai situasi iklim terkini. Dalam laporan itu menyatakan,  krisis iklim dengan penyebab manusia (human-caused climate change) terjadi secara cepat dan meningkatkan intensitas dan frekuensi cuaca ekstrem di setiap wilayah dunia. Kondisi ini,  sebut laporan itu, antara lain menyebabkan gelombang panas makin intens, hujan lebat, kekeringan, hingga siklon tropis.

Laporan IPCC menyebut, suhu bumi akan meningkat 1,5°C pada tahun 2030 kalau tidak ada aksi iklim lebih nyata dan ambisius dari semua negara. Hal ini memicu potensi bencana alam lebih besar di tahun-tahun mendatang.

Menurut laporan ini, kenaikan suhu bumi akan memicu peningkatan intensitas dan frekuensi berbagai bencana hidrometeorologi berupa kekeringan ekstrem, hingga badai, tanah longsor dan banjir.

“Hal ini menandakan upaya yang dilakukan negara-negara belum cukup dan akan membawa dunia menuju bencana iklim lebih parah,” kata Adila Isfandiari, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.

Selama 2022, Indonesia mengalami 3.544 bencana, sekitar 90% bencana hidrometeorologi. Adapun menurut BMKG, tren bencana hidrometeorologi Indonesia mengalami peningkatan selama 40 tahun terakhir.

Bank Indonesia menganalisis, kerugian ekonomi karena cuaca ekstrem mencapai lebih dari Rp100 triliun per tahun.

Berdasarkan data terbaru Carbon Brief, sekitar 79% dari 405 kasus cuaca ekstrem makin parah karena dipengaruhi perubahan iklim karena ulah manusia.  Mulai dari penggunaan bahan bakar fosil masif, pembabatan hutan untuk pembangunan dan pertambangan, hingga pola hidup konsumtif.

Saat ini, kata Adila, kenaikan temperatur bumi mencapai 1.1°C dan menuju kenaikan temperatur global rata-rata 2.8°C pada 2100 berdasarkan komitmen negara-negara di dalam Nationally Determined Contributions (NDC). Angka ini, katanya,  hampir dua kali lipat dari target 1.5°C yang tertuang dalam Perjanjian Paris, merupakan batas aman bagi pemanasan global bumi.

Namun, target pengurangan gas rumah kaca Indonesia yang tertulis dalam Enhanced NDC–masih dinilai highly insufficient atau sangat tidak memadai, dan diprediksi akan membawa kenaikan temperatur hingga 4°C jika semua negara mengadopsi komitmen yang serupa.

Negara maju, katanya,  harus lebih ambisius membuat kebijakan pengurangan emisi agar target di NDC bisa tercapai.

Selain itu, lembaga finansial global pun perlu berkomitmen lebih tegas untuk tak lagi mendanai industri fosil, seperti batubara dan turunannya. Aksi iklim lebih ambisius juga mesti dilakukan Pemerintah Indonesia.

 

 

******

 

 

Exit mobile version