Mongabay.co.id

Benarkah Demi Kesehatan Laut, Pemanfaatan Sedimentasi Laut Dilakukan?

 

Penolakan bertubi-tubi datang dari banyak kalangan atas terbitnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Regulasi tersebut dinilai hanya akan memicu banyak dampak negatif yang merugikan banyak aspek kehidupan.

Selama hampir sepekan, semua kalangan seperti kompak untuk saling berpegangan tangan untuk berteriak bahwa PP 26/2023 adalah wujud kesalahan dan ketidakadilan yang diperlihatkan oleh Pemerintah Indonesia secara terang-terangan.

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan menanggapi bahwa peraturan tersebut dilatarbelakangi oleh pertimbangan eksploitatif dan berorientasi pada bisnis semata. Itu bertolak belakang dengan komitmen Menteri Kelautan dan Perikanan yang ingin menjadikan ekologi dan lingkungan sebagai panglima di laut.

Menurut dia, isu terbesar saat ini justru adalah tentang abrasi sebagai akibat dari perubahan iklim dan berdampak pada kehidupan masyarakat, serta merusak sarana dan prasarana milik masyarakat dan publik.

“Dengan regulasi ini maka dapat dipastikan abrasi akan semakin besar dan masif terjadi,” ungkap dia kepada Mongabay.

baca : Jokowi Buka Keran Ekspor Tambang Pasir Laut Setelah 20 Tahun Dilarang

 

Penambangan pasir laut di wilayah tangkap ikan nelayan di perairan Copong Kepulauan Spermonde, Makassar, Sulsel oleh Kapal Queens of The Netherlands milik PT Royal Boskalis mengakibatkan air keruh dan nelayan sulit mendapatkan ikan, terutama ikan Tenggiri. Foto : WALHI

 

Tentang pernyataan yang dipublikasikan Pemerintah bahwa pengendalian hasil sedimentasi di laut adalah upaya untuk mengurangi dampak proses sedimentasi di laut agar tidak menurunkan daya dukung dan daya tamping ekosistem pesisir dan laut, dia memiliki jawaban sendiri.

Kata dia, alam pada dasarnya sudah mengatur siklus secara berimbang, namun manusialah yang menyebabkan perubahan yang mengarah ke dampak negatif. Oleh karena itu, yang harus dikendalikan adalah bukan hasil sedimentasinya, melainkan penyebab sedimentasi tersebut, yakni aktivitas dari hulu, terutama kegiatan pembukaan lahan untuk tambang dan perkebunan.

Organisasi lingkungan besar, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) juga dengan tegas menolak pemberlakuan PP 26/2023 untuk banyak hal. Bahkan, bersama seluruh eksekutif daerah di berbagai provinsi, WALHI meminta Pemerintah untuk mencabut regulasi tersebut.

Manajer Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI Parid Ridwanuddin mencatat, penerbitan PP 26/2023 merupakan langkah mundur jauh ke belakang dalam konteks perlindungan dan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut Indonesia. Termasuk, perlindungan wilayah tangkap nelayan yang merupakan produsen pangan laut utama di Indonesia.

Seharusnya, Pemerintah Indonesia secara jeli dan detail bisa memperhatikan dan memetakan persoalan yang sebenarnya terjadi dan menjadi ancaman serius bagi masyarakat pesisir. Utamanya, karena saat ini sedang ada ancaman dampak buruk krisis iklim.

Sebut saja, ancaman tenggelam desa-desa di wilayah pesisir, termasuk tenggelamnya pulau-pulau kecil di Indonesia akibat kenaikan air laut. WALHI menyebut kalau tren di seluruh dunia saat ini adalah terjadinya fenomena kenaikan air laut dengan ketinggian rerata 0,8–1 meter.

baca juga : Tambang Pasir Laut Proyek MNP Telah Dihentikan, Dampaknya Masih Dirasakan Nelayan

 

Aktivitas penambangan pasir laut di Pulau Rupat, Bengkalis, Riau. Foto : independensi.com

 

Dalam berbagai kesempatan, WALHI telah menyampaikan informasi kepada masyarakat luas bahwa pada masa yang akan datang, sebanyak 115 pulau kecil di perairan dalam Indonesia, dan 83 pulau kecil terluar (terdepan) akan tenggelam akibat kenaikan air laut. Artinya, dengan adanya PP ini ancaman tenggelamnya desa-desa pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia akan semakin cepat.

Dengan banyak pertimbangan, WALHI mendesak agar Presiden RI untuk segera bertindak:

  1. Mencabut PP 26/2023 karena akan mempercepat, memperluas dan melanggengkan kerusakan di pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. PP tersebut akan memperburuk kehidupan masyarakat pesisir yang tinggal di hampir 13 ribu desa pesisir di Indonesia;
  2. Melaksanakan moratorium permanen terhadap seluruh proyek reklamasi pantai di Indonesia, serta seluruh proyek tambang pasir laut yang menjadi bagian dari proyek reklamasi pantai yang merusak ekosistem laut Indonesia;
  3. Mengevaluasi dan menghentikan beban industri besar di pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil yang memperparah kerusakan, di antara pertambangan timah dan nikel yang kini terus dikembangkan oleh pemerintah;
  4. Menyusun segera skema penyelamatan desa-desa pesisir dan pulau-pulau kecil yang tengah dan akan tenggelam; dan
  5. Segera menetapkan darurat iklim dan segera menyusun undang-undang keadilan iklim untuk melindungi masyarakat pesisir dari ancaman dampak buruk krisis iklim.

Parid Ridwanuddin menerangkan, substansi dari PP 26/2023 terasa sarat akan bias kepentingan bisnis. Beberapa pasal seperti pasal 9, 10, dan 20 menyebutkan secara tegas pemanfaatan untuk kegiatan bisnis di pesisir.

Itu berarti, PP diterbitkan untuk melayani kepentingan pengembangan proyek reklamasi di seluruh Indonesia, yang ditujukan untuk pembangunan kawasan-kawasan bisnis baru. Sampai dengan 2040, Pemerintah sudah merencanakan proyek reklamasi seluas 3,5–4 juta hektar.

Berdasarkan hitungan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 2021, dibutuhkan sebanyak 1.870.831.201 meter kubik (m3) untuk proyek reklamasi di sembilan wilayah. Di antaranya, reklamasi di Kabupaten Tuban, Jawa Timur dan reklamasi di Kabupaten Batubara, Sumatera Utara.

baca juga : Penambangan Pasir Laut di Spermonde Datang, Ikan Tenggiri Menghilang

 

Nelayan di Kepulauan Riau melaut di kawasan perairan Singapura. Perairan ini menjadi salah satu lokasi tambang pasir laut pada tahun 2002 lalu. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Sementara, terkait dengan ekspor pasir laut ke negara lain, negara yang akan sangat diuntungkan dengan PP 26/2023 adalah Singapura. Sejak kemerdekaannya pada 1965, Singapura telah memperluas daratannya lebih dari 20 persen hingga 2017.

Parid Ridwanuddin kemudian menukil catatan Reuters yang mengutip data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2019 yang menyebut kalau Negeri Singa sudah mengimpor 517 juta ton pasir dari negara-negara tetangga, seperti Indonesia dan Malaysia.

Saat ini, Pemerintah Singapura tengah merencanakan dan merancang fase ketiga dari mega proyek Pelabuhan Tuas, dengan pekerjaan reklamasi diharapkan akan selesai pada pertengahan 2030-an. Tak hanya Singapura, China juga akan sangat diuntungkan oleh ekspor pasir dari Indonesia dengan alasan serupa.

Penolakan lain juga datang dari Greenpeace Indonesia yang menilai bahwa penerbitan PP 26/2023 adalah bentuk pencucian hijau (greenwashing) yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Praktik tersebut adalah tipuan pemasaran melalui pencitraan palsu.

Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Afdillah menyebut apa yang dilakukan Pemerintah, adalah bermain kembali dengan narasi yang seakan mengedepankan pemulihan lingkungan dan berkelanjutan.

“Tapi, nyatanya malah menggelar karpet merah untuk kepentingan bisnis dan oligarki,” tegas dia.

Menurut dia, terbitnya PP 26/2023 dinilai berbahaya karena ada perizinan kembali untuk kegiatan pengerukan, pengisapan, dan ekspor pasir laut. Kegiatan tersebut dinilai hanya akan mempercepat proses tenggelam pulau-pulau kecil di sekitar wilayah tambang, karena mengubah kontur dasar laut yang berpengaruh pada pola arus dan gelombang laut.

“Ini kegiatan yang sudah lama dilarang, tepatnya sejak 2003,” tambah dia.

baca juga : Korupsi Proyek Reklamasi, Bisa Terjadi di Seluruh Indonesia

 

Nelayan di Labuhan Haji, Kabupaten Lombok Timur NTB berangkat melaut. Ribuan nelayan di Labuhan Haji terancam mata pencaharian karena rencana pengerukan pasir di perairan Lombok Timur untuk reklamasi Teluk Benoa Bali. Foto : Anton Muhajir

 

Kekhawatiran publik bahwa eksploitasi sedimentasi laut hanya akan menjadi tameng untuk kegiatan ekspor pasir laut bernilai ekonomi besar, didasarkan pada fakta bahwa PP 26/2023 membahas secara khusus dalam dua pasal tentang kegiatan ekspor pasir laut.

Dua pasal yang dimaksud, adalah pasal 9 dan 15. Kedua pasal tersebut menyebutkan bahwa pemanfaatan hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut dapat digunakan untuk ekspor, sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dengan fakta itu, Afdillah menyebut bahwa PP tersebut muncul hanya untuk menambah catatan buruk Pemerintah dalam upaya penanganan sektor kelautan dan perikanan. Dia menyebut kalau Pemerintah tidak mampu mengelola sumber daya laut dengan cerdas, dan justru mengambil jalan pintas untuk meningkatkan pendapatan negara meluli cara-cara ekstraktif seperti itu.

“Lebih parah lagi, kebijakan semacam ini bisa jadi diambil tanpa kajian yang matang serta mengabaikan aspek ekologis dan hak asasi manusia,” pungkas dia.

 

Narasi Keberlanjutan

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono saat memberi keterangan resmi kepada media, mengatakan kalau PP 26/2023 diterbitkan dengan tujuan agar kegiatan pengambilan sedimentasi laut bisa berfungsi baik untuk pemenuhan kebutuhan pasir laut untuk kegiatan reklamasi di Indonesia.

Namun, jika dalam praktiknya hasil dari pengambilan sedimentasi laut masih ada sisa lebih, maka itu akan digunakan untuk kebutuhan pasar ekspor. Hasil dari kegiatan ekspor tersebut akan masuk menjadi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor kelautan dan perikanan.

Dia mengeklaim, tata kelola sedimentasi laut akan mengutamakan kesehatan ekologi, serta kepentingan dan kedaulatan negara. Itu berarti, penerbitan PP 26/2023 dilakukan untuk kepentingan nasional. Utamanya, adalah untuk kegiatan reklamasi di berbagai daerah yang saat ini sudah dan akan berjalan.

“Penggunaan pasir laut untuk reklamasi juga menjadi lebih terukur karena harus berasal dari hasil sedimentasi, bukan yang dikeruk di sembarang lokasi,” ungkap dia.

baca : Reklamasi Pesisir Jadi Pilihan Rakyat atau Pemerintah?

 

Lahan eks tambang yang belum di reklamasi di Pulau Bangka, mungkin akan kembai dikeruk karena memiliki potensi LTJ. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Tanpa ada regulasi yang jelas, Sakti Wahyu Trenggono justru khawatir kalau kegiatan reklamasi akan berjalan tanpa haluan. Mengingat, kebutuhan pasir akan diambil secara sembarangan dari banyak tempat di Indonesia dan berujung pada ancaman kerusakan lingkungan.

Walaupun pengambil pasir berasal dari hasil sedimentasi, namun KKP bersama instansi Pemerintah terkait lain berjanji akan selektif mengeluarkan izin untuk kebutuhan reklamasi dan atau ekspor. Izin akan terbit jika ada rekomendasi dari tim kajian yang bertugas untuk meneliti hasil sedimentasi yang sudah diangkat ke darat.

Tim kajian yang dimaksud, adalah terdiri dari unsur Pemerintah, perguruan tinggi, sampai aktivis lingkungan yang diatur dalam Pasal 5 Bab Perencanaan pada PP 26/2023. Tim tersebut bertugas menyusun dokumen perencanaan yang berisi sebaran lokasi prioritas, jenis mineral, dan volume hasil sedimentasi di laut.

Kemudian, tim juga bertugas membuat prakiraan dampak sedimentasi terhadap lingkungan, upaya untuk pengendalian hasil sedimentasi di laut, rencana pemanfaatan hasil sedimentasi di laut, dan rencana rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut.

“Jadi kalau tim ini tidak mengizinkan untuk dilakukan pemanfaatan hasil sedimentasi ya tidak bisa, termasuk untuk ekspor itu,” ungkapnya.

Kata dia, tim kajian akan membuat pelaksanaan tata kelola hasil sedimentasi di laut menjadi tidak asal-asalan dan jauh dari kepentingan tertentu. Termasuk, apakah boleh atau tidak memanfaatkan hasil sedimentasi khususnya pasir laut, menjadi komoditas ekspor.

Pada kesempatan yang sama, Sakti Wahyu Trenggono juga menyebut salah satu alasan kenapa PP 26/2023 dibuat, adalah karena faktor keselamatan dan kesehatan laut. Dengan membiarkan sedimentasi terus menumpuk, maka alur pelayaran kapal bisa terganggu dan berdampak pada kegiatan ekonomi nasional.

Mengingat pentingnya PP tersebut, saat ini KKP tengah menyusun aturan turunan berupa Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan. Dari aturan tersebut, diharapkan tata kelola sedimentasi di laut bisa lebih detail dan teknis.

 

Aktivitas reklamasi pantai Kota Manado, tepat di sebelah Sekertariat Komunitas Nelayan FNPPM Kelurahan Malalayang, Kota Manado. Foto : Ilona Esterina/Mongabay Indonesia

 

Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Victor Gustaaf Manoppo sesuai penyampaian keterangan resmi, mengatakan kalau aturan detail tentang PNBP dari kegiatan sedimentasi laut masih belum ditentukan. Namun, dia berharap nilainya besar agar bisa berkontribusi pada ekonomi nasional.

Dia menegaskan, walau kegiatan pengelolaan sedimentasi di laut akan dilaksanakan di semua perairan di Indonesia, namun tetap ada pengecualian untuk wilayah-wilayah perairan tertentu yang sudah disepakati.

Ada empat perairan yang dilarang, yaitu:

  1. Daerah lingkungan kerja, daerah lingkungan kepentingan pelabuhan, dan terminal khusus yang telah dimuat dalam rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi;
  2. Wilayah izin usaha pertambangan dalam rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi;
  3. Alur pelayaran dalam rencana tata ruang dan /atau rencana zonasi; dan
  4. Zona inti kawasan konservasi, kecuali untuk kepentingan pengelolaan kawasan konservasi.

Sementara, pemanfaatan sedimentasi di laut mencakup pasir laut yang digunakan untuk reklamasi di dalam negeri, pembangunan infrastruktur Pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku usaha, dan/atau ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sebelum menerbitkan PP 26/2023, Sakti Wahyu Trenggono menyebut kalau prosesnya sudah melibatkan banyak pihak melalui konsultasi publik yang berjalan selama dua tahun. Namun, Victor Gustaaf Manoppo mengaku kalau dua tahun adalah waktu persiapan, bukan konsultasi publik.

Kepala Pusat Kajian Sumber daya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB University Yonvitner pada kesempatan berbeda menyebutkan kalau pihaknya tidak pernah mendapatkan komunikasi dari KKP terkait penyusunan naskah akademik PP 26/2023.

Selain itu, dia mengaku kalau narasi pemanfaatan pasir laut dibangun oleh KKP agar tidak terjebak dalam konflik komunikasi. Namun, pada tahun ini dia mengaku sudah membahas isu ekspor pasir laut sebagai kegiatan yang tidak menguntungkan.

Dia menyebutkan, dalam setiap area isapan yang menghasilkan 1 m3 itu hanya mampu maksimal memberikan sebanyak 5 persen untuk mengatasi dampak kerugian ekosistem akibat kegiatan pengisapan. Jadi, antara dampak kerugian dan manfaat dinilai sangat tidak sebanding.

“Bisa dibayangkan kerugian ekologis yang terjadi. Kalau sampai terjadi fluktuasi harga pasir laut, maka akan rugi akhirnya,” tegas dia.

 

Kapal pengangkut pasir sedang menyemprotkan pasir untuk megaproyek reklamasi Gurindam 12 di Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Foto : F Jailani/Batampos

 

Diketahui, kegiatan ekspor pasir laut sudah dilarang sejak Februari 2003 melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Industri dan Perdagangan, Menteri KP, dan Menteri Lingkungan Hidup. Larangan yang diterbitkan saat Megawati Soekarno Putri menjabat Presiden RI itu, dilakukan untuk mencegah kerusakan lingkungan berupa tenggelamnya pulau-pulau kecil di wilayah Kepulauan Riau akibat penambangan pasir laut.

Namun, karena hanya fokus melarang ekspor laut, kegiatan penambangan pasir laut masih terus terjadi sejak SKB diterbitkan 20 tahun lalu itu. Kegiatan masih berlangsung, karena untuk mendukung proyek strategis nasional, walau berbagai kerusakan alam dan kerugian sosial-ekonomi kemudian muncul.

Sebelum PP 26/2023, pada awal 2023 Pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT). Seperti PP 26/2023, pada PP 11/2023 juga Pemerintah mengeklaim bahwa itu adalah kebijakan untuk mengelola sumber daya laut secara berkelanjutan.

 

 

Exit mobile version