Mongabay.co.id

Mengapa Hanya Sedikit Jenis Capung di Jabodetabek Saat Ini?

 

Bagi kaum urban yang tinggal di Jabodetabek, kapan terakhir kamu melihat capung? Jika sulit mengingatnya, tidak apa-apa. Jika kamu bisa menemui capung setiap hari, kamu termasuk beruntung. Pasalnya, serangga yang memiliki mata menonjol seperti bola lampu ini memiliki peran sebagai bioindikator lingkungan yang baik. 

Serangga cantik dengan sayap tembus pandang seperti kain krep dan warna tubuh yang berwarna ini menjadi serangga yang kini sulit ditemui di wilayah urban yang tidak memiliki dukungan perairan yang baik, kata peneliti. Sebagai hewan predator, capung memiliki peranan penting dalam keseimbangan ekosistem. 

Baca: Melihat Perubahan Iklim Lewat Capung

Capung merupakan musuh alami yang dapat mengurangi populasi hama tanaman. Hewan ini akan memakan hama tanaman, seperti kutu, wereng bahkan nyamuk. Namun jika kondisi perairan di wilayah yang sudah tercemar, siklus hidupnya akan terganggu dan menyebabkan jumlah populasi menurun. Pasalnya, capung bertelur di dalam air dan menetas menjadi nimfa—serangga yang hidup dalam air. Kehidupan nimfa sangat sensitif terhadap kualitas air, akan sulit bertahan hidup di air yang tercemar.

Serangga yang digolongkan dalam ordo Odonata ini dalam salah satu fase hidupnya (nimfa) sangat bergantung pada ekosistem perairan seperti danau, kolam, sungai dan sebagainya. Odonata menjadi salah satu ordo dari kelas insekta yang sudah terancam punah akibat perubahan iklim dan lingkungan. Hal ini disebabkan siklus hidup capung yang bergantung pada kebersihan airnya. 

Ordo Odonata di Indonesia terdiri dari dua sub-ordo yaitu Anisoptera (capung sejati) dan zygoptera (capung jarum). Anisoptera memiliki bentuk tubuh yang cenderung berukuran lebih besar, kaku, dan kokoh. “Penilaian ini adalah salah satu dari banyak langkah penting yang akan dilakukan oleh para peneliti dalam beberapa tahun ke depan, seiring dengan upaya kami untuk lebih memahami pola evolusi jangka panjang dan dampak perubahan iklim saat ini,” ujar Radita, dkk dalam penelitian Studi Keanekaragaman Jenis Capung (Ordo Odonata) di Blok Legok Majalaya Resort Sarongge TN Gunung Gede Pangrango.

Capung sambar garis hitam. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

Baca: Capung: Si Jagoan Mungil Penjaga Air untuk Manusia

Ada beberapa penelitian yang dilakukan di beberapa titik Jabodetabek dalam 10 tahun terakhir. Penelitian ini juga bisa menjadi sebuah indikator kondisi lingkungan di wilayah tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Narti Fitriana (2016) menyebutkan bahwa keanekaragaman jenis capung di Situ Pamulang, Tangerang Selatan lebih banyak (15 jenis dan 279 individu) dibandingkan riset-riset serupa di Buperta Cibubur (9 jenis), Situ Gintung (6 jenis) dan Kebun Raya Bogor (10 jenis).

Semetara itu, penelitian yang dilakukan di wilayah taman kota di Jakarta yakni Taman Mini Indonesia hanya 5 jenis dengan 116 individu dan Ragunan hanya 4 jenis saja (58 individu). Meski begitu, indeks keanekaragaman hayatinya terbilang sabil untuk TMII dan cukup stabil untuk Ragunan. 

Hasil pengamatan di Situ Pamulang, jenis capung Brachythemis contaminate paling banyak ditemui. Fakta menarik dari riset ini adalah kandungan rata-rata oksigen terlarut adalah 10, dimana rekomendasi SNI (2001) hanya 3 sampai 6 saja. 

“Tingginya nilai oksigen terlarut di Situ Pamulang menjadi salah satu penyebab banyaknya jenis capung terdapat di perairan ini,” ujar Narti dalam penelitiannya. Kadar oksigen terlarut ini menjadi indikator baik untuk mendukung kehidupan organisme. 

Sekitar 10 km dari Situ Pamulang, penelitian juga dilakukan di Taman Kota 2 BSD. Penelitian ini melihat jenis dan fluktuasi capung dan membuktikan bahwa kondisi perairan yang berada di Taman Kota 2 BSD masih mendukung dalam perkembangan capung. Hal ini didukung dengan struktur vegetasi yang rapat dan dialiri sungai Cisadane. Berdasarkan pengamatan, terdapat 22 jenis capung yang ada di wilayah ini.  

Kepadatan dan keanekaragaman jenis capung itu dilihat dari banyak faktor, misalnya saja pada musim penghujan akan lebih banyak dibandingkan musim kemarau. Kawasan terbuka hijau juga disebutkan memiliki peranan penting bagi habitat keberadaan capung. 

Wilayah di sekitar perairan adalah tempat hidup yang baik bagi tumbuh kembang capung, capung juga menjadi indikator air yang baik bagi manusia. Foto: Aji WIhardandi

Jakarta dan kota-kota penyangganya memiliki tekanan dari alih fungsi lahan yang menyebabkan potensi keanekaragaman hayatinya juga semakin turun. Misalnya saja, dalam penelitian yang dilakukan Patty (2006) menyebutkan minimnya keanekaragaman jenis capung di wilayah ini disebabkan perluasan areal pemukiman, penyusutan air danau dan perluasan kawasan wisata di Situ Gintung yang menyebabkan keanekaragaman vegetasi yang berkurang. 

Dalam riset Shannon Mccauley, dkk. (2018) juga menyebutkan bahwa penelitian yang dilakukan menyebutkan terjadinya penurunan kelangsungan hidup nimfa dengan meningkatnya suhu. “Pemanasan suhu bumi yang mensimulasikan perubahan lingkungan ke depan dapat memengaruhi respons hewan yang terhadap kinerja individu dan dinamika populasi yang berpotensi pada kematian,” ujar Mccauley dalam risetnya.

Hal ini disebabkan efek langsung dari suhu pada larva yang sedang berkembang. Riset ini juga mengamati bahwa setiap spesies menunjukkan respon yang berbeda terhadap pemanasan suhu yang terjadi. Sehingga pada akhirnya akan menentukan spesies mana yang akan bertahan dalam konteks pemanasan suhu bumi dan mengalami penurunan kelangsungan hidup.

Capung jarum di Jatiluwih, Tabanan, Bali lebih peka terhadap perubahan iklim. Foto : Anton Muhajir

Baca: Meningkatnya Suhu Bumi Berdampak pada Capung Jantan

Dalam penilaian global pertama, capung saat ini sedang dalam masalah. Para ilmuan menemukan bahwa jumlah mereka menurun di seluruh dunia, sebagian besar oleh kerusakan lahan basah. Penelitian ini menemukan bahwa sekitar 16% dari 6.016 spesies capung, yang termasuk dalam ordo taksonomi Odonata, terancam punah. 

Bahkan dalam daftar merah spesies terancam punah IUCN, mengklasifikasikan 95 capung dan capung damselfies sangat terancam punah dan 282 rentan—tiga kategori ‘terancam’, dan 221 hampir terancam.  

“Penelitian ini sangat penting, terutama pada masa di mana kita melihat penurunan jumlah serangga yang dramatis, karena penelitian ini menetapkan data dasar untuk lebih dari 6.000 spesies,” kata Jessica L. Ware, kurator asosiasi zoologi invertebrata di American Museum of Natural History. 

Sayangnya, dalam penelitian ini para peneliti juga menyebutkan bahwa 29% dari spesies yang dinilai (1.730 spesies) memiliki kekurangan data. Tidak adanya informasi yang cukup untuk menetapkan status konservasi. Padahal, menurut IUCN, lebih dari seperempat serangga saat ini terancam punah. 

 

***

 

Exit mobile version